Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keseimbangan Takdir dan Ikhtiar



Dr. Rosidin, M.Pd.I

http://www.dialogilmu.com

Ikhtiar
Manusia Berikhtiar, Allah Menakdirkan

سَوَابِقُ الْهِمَمِ لاَ تَخْرِقُ أَسْوَارَ الأَقْدَارِ

Suatu keinginan manusia, seberapapun kuatnya, takkan pernah menembus batasan-batasan takdir.

Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang

Kita mulai perjalanan spiritual kita kepada Allah Swt. dengan kalimat hikmah yang memandu kita untuk memiliki harapan tak terhingga pada rahmat Allah Swt. Kita seharusnya tidak pernah meragukan harapan kita kepada Allah Swt. hanya karena kesalahan-kesalahan di masa lalu. Allah Swt. itu Maha Penyayang dan Maha Pengampun terhadap kesalahan apa pun, sepanjang terselenggara taubat yang sungguh-sungguh.

Terkadang ketika seseorang mengawali suatu perjalanan baru atau resolusi baru, maka orang tersebut penuh energi, aspirasi, dan antusiasme. Lalu dia berusaha untuk mengubah diri sendiri, keluarga, masyarakat, negara dan seluruh dunia dalam semalam! Manusia terkadang lupa dengan apa yang disebut oleh Ibn ‘Atha’illah, “Batasan-batasan takdir”. Ibn ‘Atha’illah berkata, “Suatu keinginan manusia, seberapapun kuatnya, tidak akan pernah menembus batasan-batasan takdir”. Apakah yang dimaksud kalimat hikmah ini?

Ini berarti meskipun kita memiliki keinginan dan tekad kuat untuk melakukan sesuatu, kita tidak dapat menerobos batasan-batasan takdir Allah Swt. Takdir-takdir Allah Swt. ini adalah Sunnatullah (hukum-hukum Allah Swt. yang berlaku universal di alam semesta) yang bersifat konsisten dan berlaku umum. Allah Swt. berfirman:

فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَحْوِيلًا

Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyim­ pangan bagi sunnah Allah itu. (QS Fathir [35]: 43).

Demikianlah alam semesta ini diciptakan secara alami.

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. (QS al-Qamar: 49).

Di antara Sunnatullah ini adalah kehidupan yang diciptakan oleh Allah Swt., didasarkan pada syarat-syarat tertentu yang mengantarkan pada hasil-hasil tertentu. Tidak seorang manusia pun, muslim maupun non-muslim, yang dapat menerobos batasan-batasan takdir dan meraih hasil-hasil tertentu tanpa mengikuti alat-alat, sebab-sebab, langkah-langkah, lingkungan-lingkungan dan hukum-hukum yang tepat.

Misalnya, Allah Swt. berfirman:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak­ diuji lagi? (QS al-‘Ankabut [29]: 2).

Ini adalah hukum cobaan atau ujian manusia dengan berbagai kesukaran dalam hidup ini. Siapa pun yang mengaku bahwa mereka percaya kepada Allah Swt. dan memiliki keimanan, maka Allah Swt. akan menguji mereka dengan sejumlah cobaan di bumi ini. Tidak ada seorang pun dapat menghindari ujian tersebut, seberapa pun besarnya keinginan atau tekad mereka. Ini adalah Sunnatullah.

Contoh lain adalah Sunnatullah perubahan. Di antara hukum ini adalah setiap proses perubahan apa pun membutuhkan waktu dan tahapan untuk berkembang. Waktu diciptakan oleh Allah Swt. bagi manusia agar setiap orang mengenali watak dan pentingnya waktu berdasarkan pengetahuan orang itu sendiri. Hanya Allah Swt. yang tidak dibatasi oleh waktu. Waktu tidak berlaku bagi Allah Swt.

Waktu hanyalah suatu realitas manusiawi, dan Allah Swt. menetapkan bahwa tujuan-tujuan membutuhkan waktu untuk meraihnya. Kita tidak dapat mengubah dunia atau bahkan mengubah diri sendiri dalam sekejap. Hal ini tidak akan pernah terjadi. Bisa jadi Anda berusaha untuk mempelajari al-Qur’an dengan hati secepat yang Anda mampu. Akan tetapi, sebaiknya Anda tidak menghafalkan al-Qur’an dalam waktu sepekan atau bahkan sebulan. Jikalau Anda menghafal seluruh al-Qur’an dalam sebulan, Anda akan melupakan seluruh hafalan tersebut dalam kurun sebulan atau bahkan kurang dari itu.

Kita harus membiarkan segala sesuatu berjalan sesuai dengan keniscayaan waktu masing-masing dan kita pasrah kepada hukum dan takdir Allah Swt. Faktanya, orang yang berusaha untuk membuat perubahan-perubahan mendadak pada diri mereka sendiri maupun pada lingkungan sekitar mereka, sering kali gagal dan banyak yang berputus asa!

Para ulama Fikih menyatakan kaidah Fikih berikut ini:

مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ اَوَانِهِ، عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ

Seseorang yang menyegerakan sesuatu sebelum waktunya, akan terhalang dari sesuatu tersebut.

Dengan kata lain, jika seseorang mengabaikan fakta bahwa waktu dibutuhkan untuk perubahan signifikan apa pun di dunia ini, maka orang tersebut tidak hanya sekadar menunda perubahan yang diinginkan, bahkan kemungkinan besar dia akan kehilangan perubahan tersebut untuk selamanya.

Di antara batasan-batasan takdir yang harus diperhatikan oleh setiap muslim adalah apa yang disebut oleh para ulama sebagai “tugas-tugas waktu” (wajib al-waqt). Sepanjang kehidupan seseorang, ada tahap-tahap berbeda yang menuntut tugas-tugas dan tanggung jawab yang berbeda-beda pula. Misalnya, pada satu tahap, seseorang harus bekerja keras untuk mendapatkan uang agar dapat menikah. Hal ini mungkin membutuhkan banyak waktu dan usaha untuk sementara waktu.

Pada tahap lain, Anda mungkin harus merawat anak-anak kecil atau para orang tua yang sudah lanjut usia [jompo], dan mengurusi urusan-urusan mereka. Pada tahap akhir suatu kehidupan, ketika anak-anak sudah semakin dewasa dan mandiri, mungkin Anda sudah memiliki jaminan finansial, namun Anda harus bekerja keras untuk meraih suatu tujuan yang lebih tinggi, atau memenuhi tugas-tugas Anda dalam hal pelayanan publik, misalnya.

Pada tahap yang berbeda, tugas-tugas waktu bisa jadi melibatkan perjalanan untuk menuntut ilmu pengetahuan; atau bisa jadi—Na’uzhu Billah—harus istirahat panjang karena alasan kesehatan. Semua itu menyebabkan Anda tidak dapat menerobos batasan-batasan­ takdir. Ketika Anda sedang sakit, Anda tidak bisa beraktivitas sebagaimana ketika Anda sedang sehat; dan ketika Anda berusia 70 tahun, Anda tidak bisa beraktivitas sebagaimana ketika Anda berusia 40 tahun!

Ini adalah langkah penting di jalan Allah Swt.: selalu menaruh perhatian pada tugas-tugas waktu Anda sesuai dengan pemahaman Anda tentang hal itu. Percaya pada kebijaksanaan Allah Swt. dalam segala hal yang Dia berikan maupun Dia cabut; serta pasrah pada Sunnatullah dan batasan-batasan takdir.

Ini juga penting di jalan Allah Swt., setelah menyelesaikan tugas-tugas waktu atau beralih pada lembaran baru, seharusnya kita kembali kepada Allah Swt. dengan melakukan ibadah dan ketaatan. Nabi Saw. dipandu oleh al-Qur’an melalui ayat berikut:

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ (7) وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ (8)
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (QS al-Insyirah: 7-8).

Bahkan jika kita kembali kepada Allah Swt. dalam ketaatan, kita tetap harus melakukannya langkah demi langkah. Diriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda:

Sesungguhnya agama ini kokoh, maka berjalanlah di atas­nya langkah demi langkah.

Ini berarti bahwa memeluk agama dalam kehidupan sehari-hari seseorang harus dijalani secara bertahap. Anda tidak dapat mempelajari seluruh idealitas-idealitas dan aturan-aturan atau mempraktikkan semua itu dalam satu hari saja. Nabi Saw. melanjutkan sabda beliau:

Ini dikarenakan seorang musafir yang terlalu cepat dalam mengendarai binatang tunggangannya tidak akan sampai pada tujuannya; bahkan binatang tunggangannya tersebut akan mati.

Betapapun kuatnya tekad dan cita-cita Anda, tubuh Anda itu ibarat binatang tunggangan tersebut; dan Anda butuh untuk menerapkan hukum yang sama terhadapnya [yaitu tidak berlebihan dalam memforsir tubuh].

Kalimat hikmah mengajarkan kita untuk menemukan suatu keseimbangan antara khauf dan raja’; kalimat hikmah dalam bahasan ini juga mengajarkan kita untuk menemukan suatu keseimbangan antara keinginan kita dan takdir Ilahi; atau antara langkah-langkah yang ingin kita tingkatkan di jalan Allah Swt. dan “batasan-batasan takdir”, sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Ibn ‘Atha’illah. Dua aturan keseimbangan ini akan memperkenankan kita untuk maju pada langkah berikutnya dalam perjalanan spiritual kita ini.

Referensi:

Jasser Auda, Spiritual Journey: 28 Langkah Meraih Cinta Allah (Bandung: Mizani, 2014), h. 39-44.