Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Relasi Islam, Politik, Negara dan NKRI



Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com


Islam dan Negara Indonesia
Relasi Harmonis Agama dan Negara


A.         Islam dan Politik

Kata politik berasal dari bahasa Yunani dan atau Latin politicos atau politicus yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota.

Menurut KBBI, politik adalah segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.

Dalam kamus bahasa Arab modern, kata politik biasa diterjemahkan dengan siyasah yang berasal dari akar kata sasa-yasusu yang berarti mengemudi, mengendalikan, mengatur dan sebagainya. Sedangkan dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu.1
       
Uraian al-Qur’an tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat yang berakar kata hukm. Kata hukm pada mulanya berarti “menghalangi atau melarang dalam rangka perbaikan”. Dari akar kata yang sama, terbentuk kata hikmah yang pada mulanya berarti kendali. 

Sementara ulama mengartikan bahwa hikmah adalah kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu masalah sehingga mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudarat.2
       
Seluruh umat muslim sepakat bahwa sumber hukum perundang-undangan yang mengatur kehidupan manusia di dunia ini adalah Allah SWT.

Banyak sekali ayat al-Qur’an yang menjelaskan otoritas mutlak Allah SWT sebagai sumber hukum yang mengatur kehidupan umat manusia, sebagaimana rangkaian tiga ayat dalam Surat al-Ma’idah berikut: 3

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (44)

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Q.S. al-Ma’idah [5]: 44)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (45)

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Q.S. al-Ma’idah [5]: 45)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (47)

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. al-Ma’idah [5]: 47).

Sedangkan manusia adalah wakil-wakil (khalifah) Allah dalam menyampaikan, menetapkan, memberlakukan hukum-Nya, memperhatikan dan mengawasi penerapannya, serta memahami kandungannya melalui wewenang melakukan ijtihad, baik terkait maksud dan tujuan; maupun ketentuan dan batasan yang harus menjadi koridor dalam mengambil langkah dan menjadi kerangka dalam menata kehidupan.

Adapun tugas dan kewajiban khalifah atau wakil adalah melaksanakan keinginan dan perintah pihak yang menjadikannya khalifah atau wakilnya. Oleh sebab itu, sumber hukum perundang-undangan dalam Islam adalah perpaduan antara sumber wahyu dari Allah SWT dan hasil ijtihad manusia, sebagaimana disinyalir Surat al-Nisa’ [4]: 59 4

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. al-Nisa’ [4]: 59).

Ayat ini mengisyaratkan bahwa sumber hukum perundang-undangan dalam Islam adalah: a) al-Qur’an; b) al-Sunnah; c) Ijtihad kolektif yang melibatkan pakar berbagai bidang, misalnya para pejabat pemerintah, ulama, panglima militer, pakar politik, sosial dan ekonomi; d) Ijtihad personal dari para ulama yang berstatus mujtahid.

Relevan dengan posisi manusia sebagai khalifah Allah, setidaknya ada dua istilah al-Qur’an yang berkenaan dengan kekuasaan politik yang diamanatkan kepada manusia. 

Pertama, istikhlaf (mengelola). Surat al-Baqarah [2]: 251 menjelaskan tentang kekuasaan politik Nabi Dawud AS:

فَهَزَمُوهُمْ بِإِذْنِ اللَّهِ وَقَتَلَ دَاوُودُ جَالُوتَ وَآَتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ (251)

Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Dawud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Dawud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. (Q.S. al-Baqarah [2]: 251)

Ayat ini menunjukkan bahwa Nabi Dawud AS memperoleh kekuasaan tertentu dalam mengelola satu wilayah. Dengan kata lain, kekuasaan politik.

Kekhalifahan dalam arti kekuasaan politik dipahami juga dari ayat-ayat yang menggunakan bentuk jamak khalifah, yaitu khulafa’. Misalnya Surat al-A’raf [7]: 69 dan 74, serta Surat al-Naml [27]: 62.

Lebih dari itu, Surat al-Baqarah [2]: 30 menginformasikan unsur kekhalifahan, yaitu: a) bumi atau wilayah; b) khalifah (yang diberi kekuasaan politik; mandataris); c) hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah; dan hubungan pemilik kekuasaan dengan pemberi kekuasaan, yaitu Allah SWT.

Kedua, isti’mar (memakmurkan) yang berarti menugaskan manusia untuk mengolah bumi guna diambil manfaatnya. Dengan kata lain, pelimpahan kekuasaan politik. 5

Kekuasaan politik yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada manusia dilakukan melalui suatu ikatan perjanjian. Yaitu ikatan perjanjian antara sang penguasa politik (manusia) dengan pemberi kekuasaan politik (Allah SWT) yang disebut dengan ‘ahd; dan ikatan perjanjian antara sang penguasa dengan masyarakat yang disebut dengan bai’at.

Kedua perjanjian tersebut merupakan amanat yang harus ditunaikan. Oleh sebab itu, perintah taat kepada penguasa (Ulil Amri) didahului oleh perintah menunaikan amanat:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. al-Nisa’ [4]: 58-59)

Amanat yang dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, antara lain perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan atau umat muslim saja, melainkan mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. Berdampingan dengan amanat yang dibebankan kepada para penguasa, ayat tersebut juga menekankan kewajiban taat masyarakat terhadap mereka.6

Ketaatan terhadap penguasa (Ulil Amri) tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, tidak boleh taat kepada penguasa, jika perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Dalam hal ini dikenal kaidah yang sangat populer:

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang makhluk, dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Allah SWT).

Namun bila perintah Ulil Amri tidak mengakibatkan kemaksiatan, maka ia wajib ditaati, walaupun perintah tersebut tidak disetujui oleh yang diperintah:

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا اَحَبَّ اَوْ كَرِهَ، إلاَّ يُؤْمَرُ بِمَعْصِيَةٍ، فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمُ)

Seorang muslim wajib memperkenankan dan taat menyangkut apa saja (yang diperintahkan Ulil Amri); suka atau tidak suka; kecuali bila ia diperintahkan berbuat kemaksiatan, maka ketika itu tidak boleh memperkenankan, tidak juga taat. (H.R. Bukhari-Muslim).

Taat dalam bahasa al-Qur’an berarti “tunduk”, menerima secara tulus dan menemani. Ini berarti ketaatan dimaksud bukan sekedar melaksanakan apa yang diperintahkan, tetapi harus ikut berpartisipasi dalam upaya-upaya yang dilakukan penguasa politik guna mendukung usaha-usahanya. Dalam konteks ini, Nabi SAW bersabda:

اَلدِّيْنُ نَصِيْحَةٌ

Agama adalah nasihat.

Ketika para sahabat bertanya, “untuk siapa?”. Nabi SAW menjawab:

لأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ

Untuk para pemimpin kaum muslim dan khalayak ramai mereka.

“Nasihat” yang dimaksud Nabi SAW di sini adalah dukungan positif kepada mereka –termasuk kontrol sosial– demi suksesnya tugas-tugas yang mereka emban. 7
       
Menyangkut hubungan Islam dan politik, terdapat dua paradigma utama yang membentuk basis pendekatan normatif pada Islam politik.

Pertama, Pendekatan Legal-Eksklusif.

Pendekatan ini merujuk pada ide bahwa Islam bukan hanya sedekar agama, tetapi juga sistem hukum yang sempurna, ideologi universal, dan sistem pedoman hidup sempurna yang dapat memberi solusi bagi semua persoalan hidup. 

Para pendukung pendekatan ini secara kuat meyakini Islam sebagai totalitas utuh yang terkenal dengan istilah tiga “D”: Din (agama), Dunya (dunia) dan Dawlah (negara).

Akibatnya, paradigma ini disusun untuk aplikasi setiap aspek kehidupan, mulai dari soal keluarga, ekonomi hingga politik. Di dunia politik, paradigma ini mewajibkan muslim mendirikan Negara Islam.

Para pendukung paradigma ini menyatakan bahwa negara dan fungsinya merupakan bagian dari ajaran-ajaran Islam. Syariah ditafsirkan sebagai Hukum Suci, dan harus menjadi dasar negara berikut konstitusinya.

Paradigma ini mengandung arti bahwa kedaulatan politik bukan di tangan rakyat, melainkan di tangan Tuhan (Allah SWT). Konsekuensinya, paradigma eksklusif ini secara langsung mewajibkan setiap muslim untuk menjunjung syariah dalam keadaan apapun.

Dan bagi seorang muslim yang menginginkan pemisahan antara agama dan politik, atau menolak syariah, dituduh menolak spirit Islam. Terlebih, konsep-konsep politik modern dari sumber-sumber Barat dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.

Selain itu, paradigma ini juga menghimbau umat muslim agar merujuk “negara ideal” yang didirikan Nabi Muhammad SAW dan empat khalifah (Khulafa’ al-Rasyidin), dan mengharuskan muslim tidak menerapkan sistem politik Barat.

Oleh sebab itu, muslim secara kuat direkomendasikan untuk bergabung dalam perjuangan politik mewujudkan Islam sebagai basis negara dan syariah sebagai dasar konstitusinya.

Kedua, Pendekatan Substantif-Inklusif.

Pendekatan ini merujuk pada pandangan bahwa Islam tidak merumuskan konsep teoretis apapun tentang politik.

Para penganjur paradigma ini meyakini al-Qur’an mengandung informasi perihal pedoman moral bagi kehidupan manusia, tapi tidak memberikan secara detail cara pelaksanaannya.

Mereka mengemukakan tidak ada satu pun teks al-Qur’an yang menyuruh muslim mendirikan Negara Islam. Al-Qur’an hanya memuat petunjuk etik dan moral untuk mengatur politik, termasuk cara meraih keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi dan lain-lain.

Asumsi paradigma ini adalah misi Rasulullah SAW bukan untuk mendirikan kerajaan maupun negara, melainkan sama dengan misi para nabi lainnya, yaitu mendakwahkan nilai-nilai dan kebaikan Islam sebagai misi utama. Jadi, misi Nabi SAW tidak seharusnya dipahami dalam makna membangun atau memerintah negara. 

Akan tetapi, ini bukan menolak fakta bahwa lingkungan historis saat ini telah mengharuskan Nabi SAW dan keempat khalifah (Khulafa’ al-Rasyidin) bertindak secara politis atau melaksanakan fungsi-fungsi politik dalam masyarakat tanpa negara (stateless) itu. Kenyataan tersebut bukan berarti Islam sebagai agama terikat atau tergantung pada negara.

Pandangan substantif-inklusif menyatakan bahwa syariat tidak terikat atau ditentukan negara. Menurut al-Asymawi, bahkan al-Qur’an sendiri menegaskan syariah adalah sumber orientasi etika dan tidak menawarkan landasan untuk bentuk negara apapun.

Dengan demikian, Islam memberi kesempatan dan kebebasan kepada para pemeluknya untuk merumuskan dan mengembangkan sistem politik berdasarkan pilihan mereka sendiri. Konsep-konsep dan sistem-sistem politik, terlepas datang dari mana pun, secara asasiah diterima dan dipakai, asalkan selaras dengan etika dan spirit Islam.

Kedua paradigma ini telah eksis dan menyebar secara berangsur-angsur di dunia muslim –termasuk Indonesia– selama berabad-abad. Para pendukung masing-masing paradigma telah terlibat dalam debat publik sejak dulu hingga sekarang ini; tanpa pernah berkesudahan. 8

B.         Islam dan Negara

Berkenaan dengan kehidupan bernegara, al-Qur’an dalam batas-batas tertentu, tidak memberikan penjelasan. Al-Qur’an hanya menyebutkan tata nilai. Demikian pula al-Sunnah. Misalnya: Nabi SAW tidak menetapkan peraturan secara rinci mengenai prosedur pergantian kepemimpinan umat dan kualifikasi pemimpin umat. 9
       
Berikut ini beberapa dalil yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan Fiqh Siyasah (Fikih Politik) dalam Islam. 10  

Pertama, Dasar al-Qur’an

a) Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat (Q.S. al-Mu’minun [23]: 52; al-Anfal [8]: 46);

b) Kemestian bermusyawarah dalam rangka  menyelesaikan dan menyelenggarakan masalah yang bersifat ijtihadiyah, baik urusan ekonomi, politik, sosial, budaya dan sebagainya (Q.S. al-Syura [42]: 38; Ali ‘Imran [3]: 159);

c) Kemestian menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil (Q.S. al-Nisa’ [4]: 58);

d) Kemestian menaati Allah SWT dan Rasulullah SAW, dan Uli al-Amr (pemegang urusan) (Q.S. al-Nisa’: 59);

e) Kemestian mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam (Q.S. al-Hujurat [49]: 9);

f) Kemestian mempertahankan kedaulatan negara dan larangan melakukan agresi dan invasi (Q.S. al-Baqarah [2]: 190);

g) Kemestian mementingkan perdamaian daripada permusuhan (Q.S. al-Anfal [8]: 61);

h) Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan (Q.S. al-Anfal [8]: 60);

i) Keharusan menepati janji (Q.S. al-Nahl [16]: 91);

j) Keharusan mengutamakan perdamaian bangsa-bangsa (Q.S. al-Hujurat [49]: 13);

k) Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat (Q.S. al-Hasyr [59]: 7);

l) Keharusan mengikuti prinsip-prinsip pelaksanaan hukum: Menyedikitkan beban, berangsur-angsur, tidak menyulitkan dan luwes.

Kedua, Dasar al-Sunnah

a) Keharusan mengangkat pemimpin: Rasulullah SAW bersabda: “Apabila tidak orang keluar untuk bepergian, maka hendaknya salah seorang di antara mereka menjadi pemimpin mereka” (H.R. Abu Dawud);

b) Kemestian pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinan-nya. Nabi SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (Muttafaq ‘Alaih);

c) Kemestian menjadikan kecintaan dalam persaudaraan sebagai dasar hubungan antara pemimpin. Nabi SAW bersabda: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah pemimpin yang mencintai kamu dan kamu mencintai mereka; mendoakan kamu dan kamu mendoakan mereka; sedangkan seburuk-buruk pemimpin adalah pemimpin yang kamu benci dan mereka membenci kamu; kamu melaknati mereka dan mereka melaknati kamu”. (H.R. Muslim);

d) Kemestian pemimpin berfungsi sebagai perisai, tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menyerang, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk berlindung. Nabi SAW bersabda: “Sesungguhya pemimpin itu ibarat perisai yang di baliknya digunakan untuk berperang dan berlindung”;  

e) Semestinya pemimpin untuk bersikap adil. Nabi SAW bersabda: “Ada tujuh golongan yang dinaungi Allah SWT di bawah naungan-Nya, pada hari kiamat yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Pertama, imam yang adil…” (Muttafaq ‘Alaih);

f) Keberhasilan Rasulullah SAW dalam memimpin, semisal mempersatukan antar golongan Muhajirin dan Anshar; melakukan perjanjian dengan kelompok non-muslim; melakukan kontak bersenjata dengan kelompok musyrikin; dan sebagainya.

Semua itu menunjukkan kemestian seorang pemimpin untuk senantiasa memperhatikan nilai-nilai uluhiyyah (ketuhanan) sekaligus realitas insaniyyah (kemanusiaan). Dengan demikian, keputusan yang dibuat akan bersifat arif-bijaksana.
       
Mengingat al-Qur’an dan Hadis hanya memberikan panduan tata nilai menyangkut negara, maka heran jika masih terjadi silang pendapat dalam memahami hubungan agama dan negara. 

Secara teoretis, kontroversi hubungan agama dan negara dapat dikelompokkan menjadi tiga paradigma.

Pertama, Paradigma integralistik. Yaitu paham yang beranggapan bahwa agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. 

Paradigma ini biasanya melahirkan konsep agama negara atau agama resmi; dan menjadikan agama resmi tersebut sebagai hukum positif. Contoh: Iran dengan Syiah-nya dan Arab Saudi dengan Wahabi-nya.

Kedua, Paradigma sekularistik. Yaitu paham yang beranggapan bahwa ada disparitas antara agama dan negara. 

Keduanya merupakan entitas yang berbeda dan memiliki wilayah garapan yang berbeda, sehingga keduanya harus dipisahkan dan satu sama lain tidak boleh melakukan intervensi.

Ketiga, Paradigma simbiotik. Yaitu paham yang beranggapan bahwa agama dan negara merupakan entitas yang berbeda, namun keduanya saling membutuhkan secara timbal-balik, yaitu agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama; sebaliknya, negara memerlukan agama untuk membantu dalam pembinaan moral, etika dan spiritualitas warga negaranya. 11
       
Secara praktis, dunia Islam dewasa ini dilihat dari pelaksanaan siyasah syar’iyyah, dapat dibagi menjadi tiga tipe.

Pertama, Negara yang melaksanakan hukum secara penuh (integralistik).

Kedua, Negara yang menolak hukum Islam secara penuh (sekuleristik).

Ketiga, Negara yang tidak menjadikan hukum Islam sebagai suatu kekuatan struktural (dalam sektor politik), tapi menempatkannya sebagai kekuatan kultural, atau mencari kompromi (simbiostik). 12 
       
Banyak pemikir politik dan aktivis muslim, terutama dari sayap fundamentalis, yang agaknya sudah mulai kelelahan dalam melakukan pencarian terhadap argumen-argumen tekstual Qur’anik yang menyatakan bahwa Islam memiliki konsep dan sistem kenegaraan tertentu.

Ini karena al-Qur’an memang tak pernah menjelaskan secara eksplisit-tersurat tentang pola pemerintahan seperti apa yang dikehendakinya. Tak jelas apakah sistem monarkhi, teokrasi atau demokrasi yang menjadi preferensi al-Qur’an perihal sistem politik. Al-Qur’an seakan hendak menyerahkan perkara satu ini kepada Nabi Muhammad SAW dan umat muslim. 13
       
Mengingat al-Qur’an tidak menjelaskan secara eksplisit-tersurat, maka muncul upaya akademis lanjutan untuk mencari akar-akar teologis-historis [ada “teks” negara Madinah dengan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negaranya.

Di Madinah, Nabi SAW berposisi sebagai kepala agama sekaligus pemimpin negara. Sebagai kepala negara, Nabi SAW memiliki kedudukan yang unik; karena kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif bersatu padu pada diri beliau.

Jadi, Nabi SAW menjadi pusat semua persoalan, dan masyarakat politik yang disusunnya kemudian menjadi labuhan perujukan umat muslim pasca wafatnya Nabi SAW.

Dengan kata lain, Nabi SAW telah dijadikan sebagai prototipe kepala negara yang harus diteladani dan negara Madinah yang dipancangkannya ditetapkan sebagai pusat rajutan dalam membangun negara. 14
       
Tak pelak muncul varian dalam komunitas muslim yang dengan gigih menginginkan diwujudkannya syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui pranata nagara, misalnya dalam bentuk perundang-undangan, peraturan pemerintah, dan lain-lain.

Masuk dalam varian ini adalah Rasyid Ridha (1865-1935), Sayyid Quthb (1906-1966), Abu A’la al-Maududi (1903-1979), Muhammad Asad, Khurshid Ahmad, Muhammad Husayn Fadhlallah, Hasan Turabi, dan lain-lain.

Bahkan para pemikir muslim yang mengusung agenda demokrasi pun merasa perlu untuk merujuk pada kepemimpinan politik Nabi SAW. Mereka menganggap bahwa negara Madinah merupakan model negara demokratis yang genuine dan Nabi SAW adalah tokoh demokrasi yang sejati dan otentik.

Tokoh-tokoh yang termasuk berhaluan ini antara lain: Fazlurrahman, Robert N. Bellah, M. Amin Rais dan Jalaluddin Rakhmat. Namun, antusiasme dan keterpesonaan para pemikir muslim terhadap teks Madinah sesungguhnya telah mengantarkan dirinya pada “tekstualisme baru”. Sehingga genre pemikiran yang terlalu mengidealisasikan kepemimpinan politik Nabi SAW di Madinah itu, mendapat tantangan keras dari pada penentangnya, seperti Ali Abdurraziq (1888-1966), Sa’id al-Asmawi dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). 

Bagi para penentang gagasan idealisasi Madinah ini, Nabi SAW dan Madinah bagaimanapun bukan tipe ideal yang dapat secara “sembrono” dipraktikkan dalam lokus kehidupan politik kenegaraan modern sekarang ini. Hal ini dikarenakan tantangan yang dihadapi oleh umat sekarang jauh lebih rumit dan kompleks daripada tantangan yang pernah dihadapi oleh Nabi SAW di Madinah. Apalagi bagi mereka, Nabi SAW hanyalah pemimpin agama, bukan pemimpin politik. 15
       
Sekilas, pluralitas pandangan tersebut menunjukkan kecanggungan umat muslim dalam memecahkan persoalan-persoalan pokok, seperti bagaimana mencari kaitan yang pas antara Islam dan politik; bagaimana memposisikan syariat Islam dalam konteks negara modern demokratis; bagaimana Islam mesti dipahami dan dipraktikkan. Lalu kecanggungan ini berdampak pada lahirnya berbagai jenis eksperimentasi politik.

Kita dapat melihat pemandangan politik yang ada di negara-negara muslim, seperti Sudah, Iran, Saudi Arabia, Taliban di Afghanistan dan Mesir. Negara-negara ini, dengan polanya sendiri-sendiri mengklaim telah berpegangan pada syariat Islam. Dalam pandangan mereka, syariat Islam seperti yang telah dipraktikkan Rasulullah SAW dan para shahabat merupakan landasan sistem pemerintahan yang terbaik bagi umat sekarang. 16  

Padahal bentuk negara di Timur Tengah tersebut bermacam-macam, ada yang Republik, Kerajaan, Emirat, Diktatoriat, dan lain-lain, namun semua menampilkan diri sebagai negara Islam. Jadi, dapat dikatakan bahwa Islam sebagai agama, bukan Islam sebagai bentuk negara, karena faktanya bentuk negara bermacam-macam, namun sama-sama mengaku negara Islam.

Dari sini dapat dipahami bahwa negara bukan masuk wilayah akidah, melainkan masuk kategori antum a’lamu bi umuri dunyakum (kalian lebih mengetahui urusan duniawi kalian), sehingga bentuk negara dapat diproses berdasarkan budaya suatu bangsa. 17
       
Di Indonesia, sekalipun Islam bukan merupakan dominasi pemenangan agama secara formal, tetapi ia merupakan salah satu sumber hukum bagi pembentukan hukum nasional. Dalam kurun waktu terakhir, secara material dan formal, pelaksanaan hukum perdata bagi umat muslim sudah diatur berdasarkan hukum Islam, yang diturunkan dari syariat hukum Islam. 18

C.         Islam dan NKRI

Untuk waktu yang cukup panjang, umat muslim Indonesia sering dikaitkan dengan isu-isu yang secara politik dan kebangsaan merugikan persatuan nasional. Hal ini hubungannya dengan pola pemikiran dan tingkah laku politik Islam masa lalu yang cenderung legalistik dan formalistik.

Sejak tahun 1970-an, telah terjadi usaha serius yang diprakarai oleh generasi intelektual dan aktivis muslim untuk melakukan pembaruan pemikiran dan praktik politik Islam, yaitu mengembangkan ide dan sikap politik yang lebih berorientasi pada isi (substansi) daripada bentuk. Tujuan gerakan ini adalah tercapainya masyarakat yang adil dan makmur.

Oleh sebab itu, umat muslim tidak lagi beroposisi negatif terhadap pemerintah. Mereka percaya bahwa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini mampu mengantarkan umat muslim kepada cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. 

Untuk itu, mereka tidak hanya setuju, melainkan juga memelopori penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal. Bahkan umat muslim –sebagaimana diwakili oleh K.H. Ahmad Shiddiq– menyerukan finalitas bentuk negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 19

Saat ini, kembali muncul fenomena baru yang menuntut terwujudnya negara Islam, sehingga model negara seperti NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dinilai batil. Pemahaman ini terilhami oleh konsep fiqih siyasah (fikih politik) yang membagi negara menjadi dar al-harb (negara non-muslim yang boleh diperangi) dan dar al-Islam (negara muslim); serta terinspirasi oleh lahirnya negara-negara Islam setelah kolonialisme tumbang, seperti Pakistan, Iran, Arab Saudi, dan lain-lain.

Pandangan ini tentu berbeda dengan para pendiri RI, di mana para ulama sepakat untuk mendirikan negara bangsa (nation state), bukan negara Islam. Sehingga statusnya bukan lagi dar al-harb atau dar al-Islam, melainkan dar al-salam (negara damai). Berikut ini beberapa argumentasi ulama terkait legalitas bentuk NKRI: 20  

Pertama, Mayoritas ulama melihat realitas negara yang mejemuk dan kemerdekaan RI merupakan hasil perjuangan bersama (dari berbagai umat beragama), maka mendirikan negara Islam adalah sebuah pemaksaan dan pengingkaran terhadap kesepakatan bersama.

Kedua, Para ulama merujuk pada perjanjian Hudaibiyah, di mana ketika itu kaum kafir (non-muslim) menghendaki agar Nabi SAW menanggalkan simbol teologisnya –yaitu sebagai Rasulullah SAW–, lalu beliau bersedia menanda-tangani perjanjian dengan tulisan “Muhammad ibn Abdillah”. Peristiwa ini dijadikan dasar oleh para ulama bahwa ketika masuk ranah publik, simbol-simbol teologis dapat ditanggalkan sebagaimana yang diteladankan oleh Nabi SAW.

Ketiga, Berdasarkan Hadis Nabi: “Agama adalah nasihat atau sumber nilai (اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ)” dan “Tidak ada institusionalisasi dalam Islam” (لاَ رَهْبَانِيَّةَ فِي الإِسْلاَمِ). Simpulan para ulama terhadap dua Hadis ini adalah Islam merupakan sumber nilai, bukan simbol. Oleh sebab itu, NKRI diyakini selaras dengan ajaran Islam.

Keempat, Ketika Nabi SAW mendirikan “Negara Madinah” tidak menamakannya dengan “Negara Islam”, melainkan “Madinah al-Munawwarah (Negeri yang tercerahkan).

Kelima, Pilar Islam ada tiga, yaitu rukun Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga pilar itu berdiri tegak di NKRI, sehingga pandangan yang menyatakan bahwa NKRI adalah batil merupakan pandangan yang tidak mendasar sama sekali.

Keenam, Dalam ajaran Islam, masuk surga atau negara ditentukan oleh tingkat ketakwaannya, bukan oleh berwarga-negara Islam atau tidak. 

Oleh sebab itu, para ulama merasa tidak harus mendirikan negara Islam; karena yang terpenting adalah bagaimana sebuah negara mendorong masyarakatnya agar menjadi bertakwa; sedangkan konstitusi Indonesia dinilai sudah mengakomodir karakter “takwa”, semisal sebagai prasyarat seorang pemimpin yang baik; bahkan termasuk tujuan pendidikan nasional NKRI.
       
Bagi Indonesia, Pancasila dan UUD 1945 masih menjadi rujukan, ‘tempat bertemu’ dan ‘rumah bersama’ bagi segenap unsur bangsa. Hal ini dikarenakan Pancasila dan UUD 1945 dinilai telah mengayomi segenap unsur bangsa, melindungi keragaman dan memelihara kesatuan NKRI.

Oleh sebab itu, setiap kali ancaman terhadap Pancasila muncul, maka elemen-elemen bangsa dan civil society dari berbagai kelompok agama terpanggil untuk membelanya.

Bagi dunia internasional, ketika mereka melihat Islam di Indonesia, maka prinsip yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945 senantiasa dijadikan kriteria. Dunia melihat Islam di Indonesia agar berbeda dengan ketika mereka melihat Islam di Timur Tengah. Di Timur Tengah, Islam dibawa ke dalam arena-arena konflik politik yang memicu berbagai kekerasan.

Sebaliknya di Indonesia, Islam dihayati dan diamalkan oleh pemeluknya dengan suasana rileks dan penuh senyum. Wanita muslim di Indonesia dinilai para pengamat Barat sebagai unik, karena mereka tidak mengenakan jilbab, tetapi mereka memelihara norma-norma agama dalam pergaulan sehari-hari. 21
       
Dengan Pancasila, Indonesia berpotensi menjadi model bagi bangsa muslim yang mampu memelihara pluralitas dan toleransi beragama, salah satu ciri masyarakat postmodern, yang sulit dibayangkan akan muncul di belahan dunia lain.

Oleh sebab itu, negara atau pemerintah tidak boleh membiarkan Pancasila dan Konstitusi (terutama UUD 1945) dirongrong oleh siapapun atas nama agama. Lebih-lebih dengan cara-cara kekerasan yang akhir-akhir ini sering ditempuh oleh kelompok-kelompok Islamis tertentu.

Kelompok-kelompok Islam garis keras yang jelas-jelas menabrak Pancasila dan UUD 1945, karena memperjuangkan negara Islam dalam bentuk penerapan syariat di tingkat negara maupun dalam bentuk penegakan khilafah Islamiyah yang bersifat transnasional, harus ditindak tegas oleh pemerintah.

Dengan kata lain, Pancasila dan Konstitusi harus diselamatkan dan dijaga bersama, karena itulah pertaruhan kita sebagai bangsa dan pertaruhan NKRI itu sendiri. Dengan Pancasila, Indonesia sering dipuji sebagai negara muslim terbesar yang moderat, toleran dan menghargai keragaman. 22
       
Apalagi Pancasila telah berhasil dipromosikan ke berbagai negara di belahan dunia, semisal oleh KH. Hasyim Muzadi, sebagai alternatif resolusi konflik yang terjadi di suatu negara, sebagaimana paparan di bawah ini: 23
       
Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila Pertama sebagai Resolusi Konflik Agama.

Meskipun semua agama mengajarkan keluhuran, kasih sayang dan perdamaian, namun realitanya seringkali terjadinya peperangan sepanjang sejarah umat manusia disebabkan oleh pertentangan antara umat beragama.

Nurcholis Madjid mencatat bahwa hampir separuh peperangan yang terjadi selama perjalanan sejarah umat manusia adalah disebabkan motivasi agama. Ini menunjukkan bahwa agama adalah faktor utama terjadinya konflik.

Oleh sebab itu, dengan Sila Pertama ini diharapkan menjadi titik temu dari berbagai keyakinan dan agama yang berbeda-beda, sebagai upaya untuk menghindari konflik bernuansa agama terus berlanjut.

Dengan Sila Pertama Pancasila, diharapkan para pemeluk agama menyadari bahwa semangat keberagamaan tidak menjadi pemisah apalagi pemicu konflik, melainkan justru menjadi perekat antar umat beragama.

Lebih dari itu, Sila Pertama Pancasila, diharapkan mampu mengarahkan pembinaan kehidupan beragama yang menampilkan nilai-nilai universal dari ajaran agama yang dianut. Misalnya mencintai perdamaian.

Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila Kedua sebagai Resolusi Konflik Politik dan Hukum.

Sila Kedua mengisyaratkan pentingnya keadilan hukum dan politik, karena ketidak-adilan hukum dan politik dapat menjadi pemicu konflik.

Oleh karena itu, sejak awal ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang berarti semua orang sama di mata hukum.

Dengan adanya penegakan hukum yang adil dan tidak diskriminatif, akan dapat meredam konflik, karena hak asasi masyarakat terlindungi.

Sedangkan keadilan politik berarti memberi peluang yang sama kepada semua masyarakat untuk memilih atau dipilih; tidak boleh ada diskriminasi, karena dapat menodai nilai-nilai kemanusiaan dan tergolong tindakan yang tidak beradab.

Ketiga, Persatuan Indonesia. Sila Ketiga sebagai Resolusi Konflik antar Suku. 

Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnis dan budaya khususnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, di mana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki; dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budaya orang tersebut.

Sikap etnosentrisme yang kaku inilah yang sangat berperan dalam terjadinya konflik antar suku. Hal ini dapat diselesaikan dengan membangun ikatan kebersamaan, satu nasib satu sepenanggungan, sesuai dengan Sila Ketiga Pancasila, sehingga konflik yang berbasis pada etnis dapat diminimalisasi. Presiden RI keempat, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengungkapkan: “Sebuah bangsa yang mampu bertenggang rasa terhadap perbedaan-perbedaan budaya, agama dan ideologi adalah bangsa yang besar”.

Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Sila Keempat sebagai Resolusi Konflik Kekuasaan atau Politik.

Sila Keempat Pancasila mengajarkan kepada masyarakat untuk mengedepankan musyawarah atau demokrasi yang diatur dengan mekanisme pemilu yang jujur, bebas dan adil.

Memang demokrasi tidaklah terlalu ideal, tetapi dengan sistem demokrasi yang merupakan cerminan dari musyawarah ini, konflik-konflik perebutan kekuasaan dapat diminimalisasi, karena potensi konflik berupa perebutan kekuasaan dapat diselesaikan dengan cara musyawarah yang beradab.

Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sila Kelima sebagai Resolusi Konflik Ekonomi.

Ekonomi dapat menjadi pemicu terjadinya konflik, seperti kelangkaan sumber daya serta sulitnya distribusi kemakmuran. Konflik yang dipicu perebutan sumber ekonomi bisa terjadi antara individu, kelompok bahkan antar negara.

Sila Kelima Pancasila memberi sinyal kuat pentingnya keadilan ekonomi untuk menekan terjadinya konflik.

Oleh sebab itu, negara harus hadir mengatur dan membuat regulasi yang memungkinkan sumber ekonomi tidak menjadi penyebab konflik.

Catatan Kaki:
1.   M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2014), h. 548.
2.    Ibid., h. 548-549.
3.   Wahbah az-Zuhaili, Fiqih al-Islami wa Adillatuhu [Jilid 8] (Penerjemah oleh Abdul Hayyie al-Kattani, dkk.) (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 267-268.
4.     Ibid., h. 267-269.
5.     M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 555-559.
6.     Ibid., h. 559-562.
7.     Ibid., h. 563-564.
8.   Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara (Bandung: Mizan, 2006), h. 754-758.
9.  A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah (Jakarta: Kencana, 2009), h. 2.
10.   Ibid., h. 2-9.
11.  Mukhlas Syarkun dan Moh. Arifin, Jembatan Islam-Barat: Dari Sunan Bonang ke Paman Sam (Yogyakarta: Penerbit PS, 2015), h. 200-201.
12.   A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 24-25.
13.  Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Menjadi Indonesia, h. 649.
14.   Ibid., h. 649-695.
15.   Ibid., h. 695-696.
16.   Ibid., h. 699-700.
17.   Mukhlas Syarkun dan Moh. Arifin, Jembatan Islam-Barat, h. 84.
18.   A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 24-25.
19.  Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Menjadi Indonesia, h. 633-634.
20.  Mukhlas Syarkun dan Moh. Arifin, Jembatan Islam-Barat, h. 84-87.
21.  Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Menjadi Indonesia, h. 654-655.
22.  Ibid., h. 655-656.
23.  Mukhlas Syarkun dan Moh. Arifin, Jembatan Islam-Barat, h. 204-209.

Referensi

Rosidin. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi: Ibadah dan Muamalah. Tangerang: Tira Smart. 2017. Halaman 290-306,