Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hari Ibu dalam Pandangan Islam


Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com

22 Desember
Tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu di Indonesia

Manusia dikenal sebagai homo festivus, yaitu makhluk yang menyukai perayaan, pesta, peringatan dan sebagainya. Oleh sebab itu, sejak zaman dahulu hingga saat ini kita mendapati di berbagai belahan bumi, umat manusia melakukan berbagai ritual, pesta, perayaan, peringatan, dan sebagainya. Di antara berbagai bentuk perayaan tersebut, ada yang positif dan ada yang negatif.

Sekarang sedang marak diperbincangkan Hari Ibu, mengingat tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu khusus di Indonesia. Sedangkan di negara lain berbeda harinya, semisal di Arab Saudi dan mayoritas negara-negara Timur Tengah dilangsungkan pada tanggal 21 Maret.

Dari segi definisi, Hari Ibu adalah hari peringatan atau perayaan terhadap peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan sosialnya.

Dari segi historis, Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera.

Secara filosofis, organisasi perempuan sendiri diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti Cut Nyak Dhien, Raden Ajeng Kartini, dan lain-lain.

Secara simbolik, Presiden Soekarno menetapkan melalui Dekrit Presiden bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini.

Bagaimana sikap kita sebagai seorang muslim terhadap peringatan Hari Ibu? Ternyata respon umat Islam terhadap peringatan Hari Ibu memunculkan dua kubu yang berseberangan, ada yang pro dan ada yang kontra. Bagi yang pro, umumnya mengacu pada “isi atau substansi” dari Hari Ibu; sedangkan bagi yang kontra, umumnya mengacu pada “bungkus atau tampilan luarnya“, yaitu tidak pernah dilakukan oleh para Salafush-Shalih.

Dalam menilai atau menghukumi sesuatu, kita perlu memahami terlebih dahulu pokok persoalannya. Peringatan Hari Ibu dalam istilah Ushul Fiqih termasuk bagian dari ‘Urf yang dalam bahasa Indonesia dapat disamakan dengan adat istiadat atau tradisi.

Imam Malik membagi ‘Urf menjadi dua, yaitu ‘Urf Shahih dan ‘Urf Fasid. ‘Urf Shahih berarti adat istiadat yang selaras dengan nilai-nilai Islam, misalnya tradisi halal bi halal; sedangkan ‘Urf Fasid adalah adat istiadat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, misalnya tradisi suap-menyuap. Pertanyaannya, apakah Hari Ibu termasuk ‘Urf Shahih ataukah ‘Urf Fasid?

Penulis berpendapat bahwa peringatan Hari Ibu termasuk ‘Urf Shahih, dengan catatan tidak ada aktivitas-aktivitas yang secara jelas bertentangan dengan ajaran Islam ketika merayakan Hari Ibu.

Argumen pertama, baik al-Qur’an maupun Hadits memberikan penghormatan yang tinggi terhadap sosok kedua orangtua, terutama ibu.

Al-Qur’an tiga kali menyebut ayat (وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا) “dan kami berwasiat kepada manusia agar berbuat ihsan kepada kedua orangtuanya” dan tiga kali menyebut redaksi larangan menyekutukan Allah SWT yang diikuti perintah berbakti kepada kedua orangtua (وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا) “beribadahlah kepada Allah dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun; dan kepada kedua orangtua, (berbuatlah) ihsan”.

Sedangkan Hadits memberikan petunjuk praktis tentang cara menghormati atau berbakti kepada kedua orangtua.

Misalnya, seorang laki-laki dari Bani Salamah bertanya: Wahai Rasulullah, apakah masih tersisa bagiku untuk berbakti kepada kedua orangtuaku, padahal keduanya sudah meninggal dunia?

Nabi SAW menjawab: “Tentu saja, mendoakan keduanya, memintakan ampunan, memenuhi janji-janjinya, menghormati teman-temannya dan menjalin silaturrahim dengan orang-orang yang memiliki hubungan dengan keduanya.

Semua dalil ini mengacu pada petunjuk bagaimana sikap seorang anak terhadap kedua orang tuanya, termasuk ibu.

Dari sini dapat dipahami bahwa aktivitas-aktivitas apapun yang dilakukan seseorang terhadap ibunya pada saat peringatan Hari Ibu, entah memberikan kado, meminta maaf, dan sebagainya; selama masih dalam pengertian ‘berbakti kepada ibu’, status hukumnya minimal boleh (mubah).

Jadi, titik tekannya dalam menilai peringatan Hari Ibu adalah pada aktivitas-aktivitas yang dilakukan seseorang dalam peringatan Hari Ibu, bukan pada peringatan Hari Ibu itu sendiri. Dengan kata lain, kita menilai “isi”-nya, bukan “bungkus”nya.  

Argumen kedua, setidaknya ada tiga Kaidah Fiqih yang dapat dijadikan landasan terhadap peringatan Hari Ibu.

Kaidah fiqih pertama: al-Umuru bi Maqashidiha "Segala sesuatu tergantung maksud atau niatnya” yang menunjukkan bahwa hukum segala sesuatu didasarkan pada niatnya, sedangkan niatan atau tujuan dari peringatan Hari Ibu adalah menghormati ibu, dan tidak ada yang salah dengan niatan atau tujuan ini dalam perspektif Islam.

Kaidah fiqih kedua: al-'Adatu al-Muhakkamah adat istiadat (dapat dijadikan) landasan hukum” memberikan argumentasi bahwa adat-istiadat yang tidak jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam, dapat dinilai sah menurut pandangan Islam.

Kaidah fiqih ketiga: al-Ashlu al-Ibahah hukum asal (segala sesuatu) adalah mubah” berarti hukum dasar dari segala sesuatu adalah mubah (boleh), selama tidak ada indikasi atau petunjuk yang mengarah pada pelanggaran terhadap ajaran Islam.

Simpulan yang dapat dipetik dari tulisan ini adalah peringatan Hari Ibu hukumnya mubah berdasarkan argumentasi al-Qur’an dan Hadits dengan didukung telaah Ushul Fiqih dan Kaidah Fiqih.

Namun demikian, peringatan Hari Ibu hanyalah “bungkus”, tugas kitalah untuk mengisi peringatan Hari Ibu dengan aktivitas-aktivitas yang positif dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kita semua berkewajiban untuk berbuat baik kepada seorang ibu, baik dalam kapasitas kita sebagai seorang anak maupun seorang suami.

Lebih dari itu, sudah pasti terpatri dalam benak kita bahwa kewajiban ini tidak hanya berlaku pada saat Hari Ibu, melainkan selama kita menyandang status sebagai seorang anak, kita tetap berkewajiban untuk berbuat baik kepada ibu.

Semoga kita semua diberikan Taufiq, Hidayah dan Inayah oleh Allah SWT agar dapat menjalankan tugas suci tersebut. Amin ya Rabbal ‘Alamin.

Wallahu A’lam bi al-Shawab.