Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Relasi dan Rekonsiliasi Pendidikan Islam dengan Pendidikan Barat


Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com

Pendidikan Barat
Perbandingan Pendidikan Islam dan Pendidikan Barat

*) Artikel ini sudah dimuat dalam Evaluasi: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam. STAI Ma’had Aly Al-Hikam Malang. Volume 1. Nomor 2. September 2017. ISSN 2580-3387. hlm. 235-247.

PENDAHULUAN

Mengacu pada daftar yang dilansir http://www.mbctimes.com/, 20 negara yang memiliki sistem pendidikan terbaik pada tahun 2015/2016 adalah: 1) Korea Selatan; 2) Jepang; 3) Singapura; 4) Hong Kong; 5) Finlandia; 6) Inggris Raya (UK); 7) Kanada; 8) Belanda; 9) Irlandia; 10) Polandia; 11) Denmark; 12) Jerman; 13) Rusia; 14) Amerika Serikat; 15) Australia; 16) Selandia Baru; 17) Israel; 18) Belgia; 19) Republik Ceko; 20) Swiss 1.

Demikian halnya dengan daftar perguruan tinggi terbaik edisi tahun 2015/2016 yang dilansir berbagai media online seperti http://www.webometrics, mayoritas masih didominasi oleh negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat (Harvard University [1], Stanford University [2], Massachusetts Institute of Technology [3]), Inggris (University of Oxford [13], University of Cambridge [14]) dan Kanada (University of Toronto [16]) 2.

Terlepas dari bias media, sungguh miris jika menengok laporan ini, karena tidak ada satu pun negara mayoritas muslim yang masuk di dalamnya. Data ini menunjukkan dominasi sistem pendidikan Barat terhadap pendidikan Islam.

Adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa pendidikan Barat telah memberi pengaruh signifikan terhadap berbagai dimensi pendidikan Islam.

Misalnya: Input peserta didik diklasifikasikan melalui tes IQ yang dikembangkan psikolog Perancis, Alferd Binet tahun 1905. Metode Binet dalam menghitung angka IQ adalah usia mental seseorang dibagi dengan usia kronologis, lalu dikalikan dengan 100. Rumusnya adalah: IQ = MA/CA x 100 di mana MA adalah Mental Age, sedangkan MC adalah Chronological Age 3.

Atau trend yang lebih mutakhir adalah tes Kecerdasan Majemuk yang dikenal dengan Multiple Intelligences Research (MIR). MIR adalah instrumen riset yang dapat memberikan deskripsi tentang kecenderungan kecerdasan seseorang. Dari hasil analisis MIR, dapat disimpulkan gaya belajar terbaik bagi seseorang. MIR ini mengacu pada Kecerdasan Majemuk (Multiple Inteligences) yang digagas psikolog Amerika Serikat, Howard Gardner 4.

Metode pembelajaran berbasis siswa aktif mayoritas didasarkan pada teori yang digagas ilmuwan Barat, seperti Quantum Teaching oleh Bobbi DePorter dkk. Quantum Teaching diciptakan berdasarkan berbagai teori pendidikan, seperti Accelerated Learning (Luzanov), Multiple Intelligence (Gardner), Neuro-Linguistik Programming (Ginder dan Bandler), Experiential Learning (Hahn), Socratic Inquiry, Cooperative Learning (Johnson and Johnson) dan Elemen of Effective Instruction (Hunter). Jadi, Quantum Teaching telah merangkaikan yang paling baik dari yang terbaik, sehingga menjadi sebuah paket multisensori, multikecerdasan dan kompatibel dengan otak yang pada akhirnya akan melejitkan kemampuan guru untuk mengilhami dan kemampuan murid untuk berprestasi 5.

Demikian halnya dengan model-model pembelajaran kooperatif seperti STAD (Student Teams Achievement Division) yang dikembangkan Robert Slavin dan Jigsaw oleh Elliot Aronson; model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) yang dikembangkan Robert M. Gagne; Contextual Teaching and Learning (CTL) yang digagas Elaine B. Johnson; dan lain sebagainya 6.

Evaluasi pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam juga masih didasarkan pada taksonomi Benjamin S. Bloom, yaitu domain kognitif, afektif dan psikomotorik. Menurut Bloom, 90% perbedaan prestasi belajar disebabkan tiga faktor utama.

Pertama, perilaku entri kognitif, yaitu kompetensi peserta didik ketika dihadapkan pada tugas belajar baru.

Kedua, perilaku entri afektif yang terkait motivasi belajar awal hingga optimal.

Ketiga, menyesuaikan pembelajaran yang berkaitan degan media dan waktu serta dorongan dan individualisasi 7

Pada praktiknya, penilaian yang dilakukan pendidik harus memuat keseimbangan ketiga domain tersebut. Penilaian aspek kognitif dilakukan setelah peserta didik mempelajari satu kompetensi dasar yang harus dicapai. Penilaian aspek afektif dilakukan selama berlangsungnya kegiatan belajar mengajar, baik di kelas maupun di luar kelas. Penilaian psikomotorik dilakukan selama berlangsungnya proses belajar-mengajar 8.  

Paparan di atas mengindikasikan bahwa pendidikan Barat telah berpengaruh signifikan terhadap pendidikan Islam, baik pada tahap pra, proses maupun pasca pembelajaran.

Di samping membawa pengaruh positif, pendidikan Barat juga membawa pengaruh negatif terhadap pendidikan Islam.  Inilah pandangan Mujamil Qomar yang menegaskan bahwa problem utama pendidikan Islam saat ini adalah problem epistemologi. Hal ini disebabkan filsafat pendidikan yang diberikan pada departemen kependidikan Islam sekarang ini, sepenuhnya filsafat pendidikan Barat, sehingga sistem pendidikan Islam kental oleh pengaruh pendidikan Barat. Sedangkan pendidikan Barat dibangun di atas filsafat pendidikan yang menggunakan pendekatan epistemologi yang banyak bertentangan dengan ajaran Islam, semisal anti-metafisika 9.

Misalnya: Filsafat pendidikan Barat yang bersifat Pragmatisme dan Materialisme berimplikasi pada tujuan pendidikan yang cenderung diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama dunia korporasi; sehingga mengantarkan keterampilan vokasional sebagai tujuan pokok pendidikan. Parameter kesuksesan lembaga pendidikan pun menjadi lebih dangkal, yaitu seberapa besar alumni yang berhasil diserap oleh dunia usaha. Orientasi vokasional yang berlebihan tersebut telah mengikis orientasi spiritualisme dalam pendidikan Islam. Dampaknya adalah krisis moral yang mengarah pada dehumanisasi.

Contoh konkretnya adalah fenomena “Indonesia Darurat Moral” yang digaungkan oleh para tokoh nasional, seperti Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva yang menyebut Indonesia saat ini tengah dilanda darurat moral lantaran maraknya kejahatan seksual yang sudah masuk ke berbagai generasi bangsa 10.

Dalam konteks rekonsiliasi antara pendidikan Barat dan pendidikan Islam, penulis tertarik untuk membangun “jembatan emas” antara aspek positif pendidikan Barat dengan aspek positif pendidikan Islam. Jembatan emas tersebut dibangun di atas pilar Maqashid Syariah. Maqashid Syariah adalah tujuan-tujuan agung Syariat Islam atau hikmah-hikmah yang diletakkan oleh Allah SWT dalam setiap hukum syariat Islam. Inti Maqashid Syariah adalah merealisasikan kemaslahatan umat manusia, di dunia maupun di akhirat; baik dengan cara mendatangkan manfaat maupun menampik mafsadat 11.

Inilah yang penulis maksudkan dengan redaksi ‘rekonfigurasi’ sepanjang bahasan dalam tulisan ini.

PEMBAHASAN

Maqashid Syariah sebagai Basis Rekonfigurasi

Maqashid Syariah sendiri telah mengalami banyak perubahan dari segi klasifikasi, tergantung dimensi yang dipandang oleh seorang fakih atau ulama. Klasifikasi klasik Maqashid meliputi 3 (tiga) jenjang keniscayaan: Dharuriyyat (Keniscayaan), Hajiyyat (Kebutuhan), dan Tahsiniyyat (Kemewahan).

Dharuriyyat (Keniscayaan)

Para ulama membagi keniscayaan menjadi 5 (lima): Hifzh al-Din (pelestarian agama), Hifzh al-Nafs (pelestarian jiwa-raga), Hifzh al-‘Aql (pelestarian akal), Hifzh al-Nasl (pelestarian keturunan) dan Hifzh al-Mal (pelestarian harta). Sebagian ulama menambah Hifzh al-‘Irdh (pelestarian kehormatan), untuk mengenapkan kelima Maqashid itu menjadi enam tujuan pokok atau keniscayaan: Melestarikan kelima (atau keenam) hal tersebut adalah kemestian, yang tidak bisa tidak ada, jika kehidupan manusia dikehendaki untuk berlangsung dan berkembang. Misalnya keberlangsungan hidup manusia akan terancam, apabila terjadi krisis ekonomi yang menyeluruh, oleh karenanya, Islam melarang sebab-musabab terjadinya krisis tersebut seperti monopoli, riba, korupsi dan kecurangan 12.

Selanjutnya pada era kontemporer ini, konsep Maqashid Syariah tersebut mengalami pergeseran, dari ‘penjagaan’ dan ‘perlindungan’ menuju ‘pengembangan’ dan ‘hak-hak asasi’. Pergeseran ini merupakan kontribusi Ibn ‘Asyur yang membuka pintu bagi para cendekiawan kontemporer untuk mengembangkan teori Maqashid dalam pelbagai cara baru. Orientasi pandangan yang baru itu bukanlah konsep perlindungan (hifzh) versi al-Ghazali, melainkan konsep ‘nilai’ dan ‘sistem’ versi Ibn ‘Asyur. Berikut ini penjelasan lebih detailnya 13:

Pertama, Hifzh al-Din (perlindungan agama). Dahulu bermakna ‘hukuman atas meninggalkan keyakinan yang benar’ versi al-‘Amiri. Namun, akhir-akhir ini bergeser menjadi ‘kebebasan kepercayaan’ (freedom of faiths) versi  Ibn ‘Asyur atau ‘kebebasan berkeyakinan’ dalam ungkapan kontemporer lain. Para penganjur pandangan ini sering mengutip ayat al-Qur'an: ‘tiada paksaan dalam agama’ sebagai prinsip fundamental, alih-alih memahaminya sebagaimana pandangan populer dan tidak akurat, yaitu menyerukan ‘hukuman bagi kemurtadan’ (hadd al-riddah).

Kedua, Hifzh al-Nafs (perlindungan jiwa raga) dan Hifzh al-‘Irdh (perlindungan kehormatan). Semula berkisar pada penjagaan jiwa-raga dan harga diri, namun akhir-akhir ini berangsur-angsur diganti oleh ‘perlindungan harkat dan martabat manusia’, bahkan ‘perlindungan hak-hak asasi manusia’.

Ketiga, Hifzh al-‘Aql (perlindungan akal). Jika selama ini masih terbatas pada larangan minum arak, sekarang berkembang menjadi ‘pengembangan pikiran ilmiah’, ‘perjalanan menuntut ilmu’, ‘melawan mentalitas taklid’, dan ‘mencegah mengalirnya tenaga ahli ke luar negeri’.

Keempat, Hifzh al-Nasl (perlindungan keturunan). Pada abad ke-20 para pakar Maqashid secara signifikan mengembangkan ‘perlindungan keturunan’ menjadi teori berorientasi keluarga, misalnya ‘peduli keluarga’.     

Kelima, Hifzh al-Mal (perlindungan harta). Jika semula bermakna ‘hukuman bagi pencurian’ versi al-‘Amiri dan ‘proteksi uang’ versi al-Juwaini, akhir-akhir ini berkembang menjadi istilah-istilah sosio-ekonomi yang familier, misalnya ‘bantuan sosial’, ‘pengembangan ekonomi’, ‘distribusi uang’, ‘masyarakat sejahtera’ dan ‘pengurangan perbedaan antar-kelas sosial-ekonomi’. Pengembangan ini memungkinkan penggunaan Maqashid untuk mendorong pengembangan ekonomi, yang sangat dibutuhkan di kebanyakan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.

Hajiyyat (Kebutuhan)

Selanjutnya tujuan-tujuan yang termasuk golongan kebutuhan (al-Hajiyyat). Tujuan-tujuan dalam golongan ini merupakan kurang-niscaya bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Menikah, berdagang, dan sarana transportasi adalah contoh kebutuhan. Islam mendorong pengikutnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu dan mengaturnya. Ketidaksediaan kebutuhan-kebutuhan itu, khususnya pada tingkat individu, bukanlah soal hidup mati. Misalnya, jika sebagian manusia memutuskan untuk tidak menikah, atau jika sebagian di antaranya memutuskan untuk tidak berdagang, maka kehidupan manusia tidak akan terancam. Akan tetapi, apabila salah satu kebutuhan itu tidak tersedia bagi sebagian besar manusia, maka ia akan berpindah dari jenjang ‘kebutuhan’ ke ‘keniscayaan’. Dalam rangka inilah kita dapat memahami kaidah yang berbunyi: “Al-Hajah idza ‘ammat nazalat manzilat al-dhararah” (Sebuah kebutuhan jika menjadi umum, maka ia sudah pantas untuk didudukkan pada jenjang keniscayaan) 14.

Tahsiniyyat (Kemewahan)

Adapun al-Tahsiniyyat (kemewahan), yang memperindah kehidupan, seperti minyak wangi, pakaian yang menarik, rumah yang asri. Islam mendukung adanya hal-hal itu dan menganggapnya sebagai tanda kemurahan Allah (SWT) terhadap manusia dan rahmat-Nya yang tak terbatas. Akan tetapi, Islam tidak menghendaki agar mausia memberi perhatian terhadap golongan yang terakhir ini (al-Tahsinyyat) yang melebihi perhatiannya terhadap kedua golongan sebelumnya (al-Dharuriyyat dan al-Hajiyyat) 15.

Mengapa harus berbasis Maqashid Syariah? Sementara ini ada tiga argumentasi yang penulis ajukan. Pertama, Maqashid Syariah berkenaan dengan dimensi esoteris (batiniah; hikmah-maksud) Syariat Islam, sehingga lebih cair dan dinamis ketika bersinggungan dengan unsur-unsur yang secara eksoteris (lahiriah; legal-formal) tidak berlabel Islam. Dengan kata lain, ide-ide yang berbasis Maqashid Syariah itu bersifat luwes-dinamis, karena dapat menampung berbagai perkembangan terkini, asalkan mampu mengantarkan pada kemaslahatan alam semesta yang dicita-citakan Islam (rahmatan lil-‘alamin). Contoh: Meskipun teori Multiple Intelligences tidak tersurat dalam Syariat Islam, namun secara tersirat sudah sesuai dengan Maqashid Syariah pada kategori Hifzh al-‘Aql (pelestarian akal) yang bertujuan memelihara, memberdayakan dan mengembangkan kapasitas intelektual manusia.

Kedua, Maqashid Syariah mencakup totalitas kebutuhan hidup manusia yang umumnya dijadikan sebagai acuan tujuan pendidikan. Misalnya: Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan beriman, bertakwa dan berakhlak mulia terkandung dalam Hifzh al-Din; tujuan sehat dan bertanggung-jawab terkandung dalam Hifzh al-Nafs; tujuan berilmu, cakap dan kreatif terkandung dalam Hifzh al-‘Aql; tujuan menjadi warga negara yang demokratis terkandung dalam Hifzh al-Nasl; serta tujuan mandiri tercakup dalam Hifzh al-Mal.

Ketiga, Maqashid Syariah merepresentasikan dimensi Ilahi yang bersifat absolut-permanen dalam Syariat Islam (al-tsawabit), sekaligus dimensi Insani yang bersifat relatif-temporer dalam Syariat Islam (al-mutaghayyirat). Artinya, Maqashid Syariah harus selalu hadir dalam setiap elemen pendidikan Islam, namun manifestasinya selalu dinamis, sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Misalnya: Pendidikan Islam bertanggung-jawab mendidikkan kompetensi Hifzh al-Mal agar lulusan pendidikan Islam tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, bukan menjadi beban bagi orang lain. Manifestasi program pendidikannya bersifat dinamis, misalnya mendidikkan keterampilan vokasional yang dibutuhkan oleh masyarakat kontemporer yang identik dengan teknologi informasi.

Tafsir Tarbawi sebagai Pendekatan Rekonfigurasi

Hanya saja, agar manifestasi Maqashid Syariah yang memadukan etos ilmiah pendidikan Barat dengan etika ilmiah pendidikan Islam tidak bergerak liar, semisal munculnya klaim-klaim apologetik terhadap implementasi pendidikan Barat dalam pendidikan Islam, maka penulis menambahkan satu filter lagi, yaitu Tafsir Tarbawi.

Tafsir Tarbawi adalah model penafsiran al-Qur’an dari sudut pandang kependidikan. Tafsir Tarbawi di sini mengacu pada hasil implementasi metode Tafsir Tarbawi tematik yang penulis gagas secara mandiri, dengan merakit berbagai ide para pakar al-Qur’an –terutama Abdul Hayy al-Farmawi, M. Quraish Shihab, Ibn ‘Asyur, al-Raghib al-Ashfahani dan ‘Abd al-Baqi– dan pendidikan Islam –terutama Sa’id Isma’il ‘Ali, Mujamil Qomar dan Muhaimin–.

Metode Tafsir Tarbawi tematik tersebut memuat tiga langkah pokok. Pertama, menentukan topik bahasan. Kedua, identifikasi ayat-ayat yang relevan dengan topik bahasan. Ketiga, analisis data yang melibatkan tiga teknik analisis, yaitu kebahasaan (lughawi), isi (tahlili) dan kependidikan (tarbawi).

Analisis kebahasaan bertujuan memahami makna linguistik dari suatu term dan derivasinya secara utuh, berdasarkan penggunaan term tersebut dalam seluruh isi al-Qur’an. Analisis isi bertujuan memahami makna suatu ayat berdasarkan tafsir yang relevan. Analisis kependidikan bertujuan memahami nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam suatu ayat dengan melibatkan sumber data primer maupun sekunder 16.

Untuk melakukan analisis Tafsir Tarbawi, penulis akan melibatkan hasil analisis Tafsir Lughawi maupun Tahlilii dan dipadu dengan sumber data sekunder yang relevan dengan topik bahasan, terutama literatur Filsafat Ilmu Pendidikan dan Ilmu Pendidikan Islam maupun Barat, serta literatur terkait Maqashid Syariah. Hasil dari tiga analisis menyajikan hasil final berupa produk Tafsir Tarbawi terkait tema yang sedang dibahas.

Analisis Metode Tafsir Tarbawi
       
Mengingat metode Tafsir Tarbawi yang digunakan dalam tulisan ini termasuk tafsir, sedangkan definisi tafsir adalah penjelasan tentang maksud firman-firman Allah SWT sesuai kemampuan manusia; maka setidaknya ada tiga hal yang penting untuk penulis garis bawahi dalam posisi sebagai penafsir:

Pertama, sang penafsir harus bersungguh-sungguh dan berulang-ulang berupaya untuk menemukan makna yang benar dan dapat dipertanggung-jawabkannya.

Kedua, sang penafsir tidak hanya bertugas menjelaskan makna yang dipahaminya, tetapi dia juga hendaknya berusaha menyelesaikan kemusykilan atau kesamaran makna lafazh atau kandungan kalimat ayat.

Ketiga, karena tafsir adalah hasil upaya manusia sesuai dengan kemampuan dan kecenderungannya, maka tidak dapat dihindari adanya peringkat-peringkat hasil karya penafsiran, baik dari segi kedalaman uraian atau kedangkalannya, keluasan atau kesempitannya, maupun corak penafsirannya. Masing-masing menimba dari al-Qur’an dan mempersembahkan apa yang ditimbanya. Walau berbeda-beda, tetapi tidak tertutup kemungkinan semuanya benar 17.

Tafsir berbeda halnya dengan Ta’wil. Nasher Hamid Abu Zaid (1943-2010) menyatakan bahwa Ta’wil yang tidak berdasar Tafsir adalah Ta’wil yang tertolak lagi buruk, karena istinbath (penggalian hukum) tidak sekedar berdasarkan perkiraan, tidak juga memaksakan teks tunduk pada dorongan nafsu sang mufassir atau ideologinya, betapapun niatnya baik; tetapi istinbath harus berdasar hakikat teks dari satu sisi dan pengertian kebahasaan dari sisi lain, lalu setelah itu bisa saja beralih dari satu petunjuk makna yang dikandung teks menuju makna yang lebih dalam, tanpa melakukan loncatan yang bertentangan dengan teks  18.

Adapun argumentasi penulis menjadikan Tafsir Tarbawi sebagai pendekatan dalam tulisan ini, antara lain:

Pertama, menghindari repetisi. Sepanjang penelusuran penulis terhadap literatur Ilmu Pendidikan Islam, sering sekali mendapati banyak kesamaan di antara literatur yang tersedia. Agar tidak terjebak dalam pusaran repetisi, maka penulis berusaha untuk melakukan terobosan baru (fresh ijtihad) sesuai kompetensi dan spesialisasi penulis.

Kedua, memopulerkan kajian tafsir tarbawi tematik. Metode tafsir tematik dapat dinilai sebagai perkembangan “quantum” metode tafsir yang sebelumnya didominasi oleh metode Tafsir Tahlili. Dalam konteks ini, nama Abdul Hayy al-Farmawi layak dijadikan sebagai salah satu pionirnya. Adanya metode tafsir tematik seolah membuka jalan baru nan lebar bagi kalangan ilmuwan untuk berlomba-lomba mengkaji topik-topik tertentu berdasarkan telaah al-Qur’an secara komprehensif. Dari sini penulis berminat memanfaatkan kombinasi metode tafsir tematik dengan Ilmu Pendidikan Islam, sehingga menghasilkan produk Tafsir Tarbawi tematik yang relatif utuh.

Ketiga, menghasilkan produk Tafsir Tarbawi yang relatif utuh. Ada kesan bahwa produk tafsir tarbawi masih terpecah-pecah atau belum sistematis. Literatur Tafsir Tarbawi pada umumnya membahas ayat-ayat tertentu dari perspektif pendidikan Islam atau membahas topik-topik pendidikan Islam dengan melibatkan dalil-dalil al-Qur’an yang relevan.

Selain itu, hingga kini penulis pribadi belum menemukan literatur Ilmu Pendidikan Islam yang sungguh-sungguh menjadikan Tafsir Tarbawi sebagai pisau analisis secara sistematis. Oleh sebab itu, penulis berharap tulisan ini menjadi salah satu solusi atas problematika tersebut.

Contoh Model Rekonfigurasi

Pada dasarnya, tulisan ini diawali dari upaya rekonfigurasi filsafat ilmu pendidikan Islam. Melalui telaah filosofis terhadap dimensi ontologi, epistemologi dan aksiologi pendidikan Islam, maka hasil konkretnya adalah formulasi Ilmu Pendidikan Islam yang diramu dari empat komponen utama: Tafsir Tarbawi; Maqashid Syariah; Pendidikan Islam dan Pendidikan Barat.

Mengadopsi gagasan rekan penulis, yaitu Ali ‘Abdul Mun’im, penulis melakukan rekonfigurasi filsafat ilmu pendidikan Islam dalam tulisan ini melalui dua pendekatan, yaitu pemisahan (tamyiz) dan penyatuan (tauhid). Pemisahan dilakukan dengan cara memisahkan nilai-nilai non Islami, sedangkan penyatuan dilakukan dengan cara melakukan integrasi antara berbagai dimensi yang berserakan menjadi satu ikatan utuh yang bersifat ‘Islami’, yaitu selaras dengan Maqashid Syariah, kendati tidak berasal dari gagasan internal kaum muslimin.

Berikut ini adalah contoh rintisan rekonfigurasi filsafat ilmu pendidikan Islam yang ditujukan pada desain pembelajaran:

Pertama, tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran disebut standar kompetensi atau kompetensi dasar. Selama ini, standar kompetensi mengacu pada taksonomi Bloom, yaitu kognitif, efektif dan psikomotorik. Dalam konteks pendidikan Islam, seharusnya taksonomi Bloom tersebut tidak serta-merta diadopsi begitu saja ke dalam pendidikan Islam. Perlu ada “ijtihad kreatif” yang di satu sisi tetap memanfaatkan taksonomi Bloom tersebut, namun di sisi lain mampu memberikan nuansa Islami yang merefleksikan nilai-nilai ke-Islam-an.

Misalnya: Dalam khazanah Islam terdapat tiga istilah yang relevan dengan taksonomi Bloom, yaitu ilmu, amal dan akhlak. Ilmu tidak sekedar kognitif, karena dalam Islam, ilmu juga bersifat intuitif. Perbedaannya adalah domain kognitif hanya dapat dilatih melalui proses belajar berbasis otak, sedangkan ilmu dapat dilatih melalui proses belajar berbasis otak (kognisi) dan hati (intuisi). Hal ini beranjak dari pemahaman bahwa ilmu itu ada yang bersifat kasbi (hasil usaha insani) dan ladunni (hasil anugerah Ilahi). Ilmu kasbi diperoleh melalui belajar berbasis otak, sedangkan ilmu ladunni diperoleh melalui proses belajar berbasis hati, terutama melalui penyucian hati (tazkiyah al-qalb, riyadhah).

Domain afektif dalam pandangan Bloom berbeda dengan konsep akhlak dalam Islam. Afektif cenderung lebih dominan berhubungan dengan etika terhadap makhluk, sehingga bersifat anthrophosentris, sedangkan akhlak dalam pandangan Islam secara proporsional memadukan antara etika terhadap Allah SWT, sesama manusia dan alam semesta, sehingga bersifat theo-anthroposentris. Jadi, sesungguhnya jangkauan konsep akhlak dalam Islam melampaui ruang lingkup domain afektif yang digagas oleh Bloom.

Domain psikomotorik dalam taksonomi Bloom tidak sama dengan konsep amal dalam Islam. Psikomotorik hanya berhubungan dengan kompetensi keterampilan kerja (skill), sedangkan konsep amal bukan sekedar kompetensi keterampilan kerja, melainkan melibatkan pula etika kerja. Ringkasnya, domain psikomotorik dalam pandangan Bloom bersifat value-free (bebas nilai), sedangkan konsep amal dalam Islam bersifat value-bond (terikat nilai). Oleh sebab itu, dalam pendidikan Islam, domain psikomotorik hanya boleh diterapkan pada keterampilan-keterampilan yang termasuk kategori “amal shalih”.

Kedua, materi pembelajaran. Secara garis besar, materi pembelajaran dalam pendidikan Islam dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu rumpun ilmu PAI, IPA, IPS dan Bahasa (Humaniora). Problem utama yang mendera aspek materi pembelajaran adalah keterpisahan antara satu rumpun ilmu dengan rumpun ilmu lainnya. Tegasnya, “tidak ada tegur sapa” antar berbagai rumpun ilmu yang disebabkan perasaan “superior” yang menyelimuti masing-masing rumpun. Oleh sebab itu, rekonfigurasi pada materi pembelajaran dilakukan melalui integrasi antar berbagai rumpun ilmu.

Model integrasinya adalah menjadikan ajaran Islam sebagai titik temu. Artinya, segala rumpun ilmu diseleksi berdasarkan keselarasannya dengan inti ajaran Islam yang permanen (al-tsawabit), yaitu al-Qur’an dan Sunnah. 

Ketiga, metode pembelajaran. Seringkali didapati problem ketimpangan dalam hal metode pembelajaran. Misalnya metode pembelajaran terlalu bersifat teacher-centris atau student-centris. Model rekonfigurasi yang dilakukan adalah menyajikan metode pembelajaran yang proporsional, yaitu memadukan antara teacher-centris, individual-student centris dan collaborative-student centris. Dalam pendidikan Islam, seorang guru memiliki posisi yang terhormat dan peran yang signifikan. Oleh sebab itu, metode pembelajaran yang bersifat teacher-centris harus tetap diprioritaskan.

Metode pembelajaran yang bersifat student-centris perlu dipilah menjadi individual-student centris dan collaborative-student centris. Posisi pelajar sebagai makhluk individu diwadahi metode pembelajaran berbasis individual-student centris, sedangkan posisi pelajar sebagai makhluk sosial diwadahi metode pembelajaran berbasis collaborative-student centris.

Keempat, evaluasi pembelajaran. Selama ini evaluasi pembelajaran hanya ditujukan pada aspek pasca pembelajaran. Oleh sebab itu, rekonfigurasi dilakukan dengan menerapkan evaluasi pembelajaran yang ditujukan pada aspek pra, proses dan pasca pembelajaran.

Dalam hal ini, konsep muhasabah, muraqabah dan tafakkur dapat dijadikan sebagai model evaluasi pendidikan Islam. Muhasabah ditujukan pada aspek pasca pembelajaran, muraqabah ditujukan pada aspek proses pembelajaran dan tafakkur ditujukan pada aspek pra pembelajaran.


PENUTUP

Kontribusi keilmuan dari tulisan ini bagi manajemen pendidikan Islam dapat dilihat pada tiga aspek.

Pertama, Filsafat pendidikan. Manajemen pendidikan Islam perlu menerapkan pendekatan pemisahan (tamyiz) dan penyatuan (tauhid) ketika mengadopsi materi manajemen pendidikan Barat.

Kedua, Teori pendidikan. Manajemen pendidikan Islam dapat menggunakan fitur Maqashid Syariah dan Tafsir Tarbawi sebagai sumber yang kaya untuk memformulasikan teori-teori manajemen pendidikan Islam yang inovatif-kreatif, bukan sekedar mengadopsi teori-teori manajemen pendidikan Barat yang berpotensi melemahkan kreativitas pemikiran.

Ketiga, Desain pembelajaran. Tujuan, materi, metode dan evaluasi pembelajaran dapat memadukan unsur-unsur yang unggul dari pendidikan Islam maupun pendidikan Barat, agar menghasilkan prestasi belajar yang ideal. 

DAFTAR PUSTAKA

Auda, Jasser. al-Maqasid untuk Pemula. Penerjemah Ali ‘Abdelmon’im. Yogyakarta: UIN-Suka Press. 2012.

____________. Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah: Pendekatan Sistem. Penerjemah Rosidin dan Ali Moen’im. Bandung: Mizan. 2015.

Chatib, Munif. Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia. Bandung: Kaifa. 2015.

Nata, Abuddin. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana. 2009.

Palmer, Joy A. [ed.]. 50 Pemikir Paling Berpengaruh terhadap Dunia Pendidikan Modern: Biografi. Dedikasi dan Kontribusinya. Yogyakarta: Laksana. 2010.

Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga. 2006.

Rosidin. Metodologi Tafsir Tarbawi Jakarta: Amzah. 2015.

Rusman. Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers. 2013.

Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat. Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati. 2013.
al-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar al-Fikr. 2001.




Catatan Kaki


2] http://www.webometrics.info/en/world diakses 1 Juni 2016.

3] Munif Chatib, Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia (Bandung: Kaifa, 2015), h. 65-67.

4] Ibid., h. 91.

5] Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran (Jakarta: Kencana, 2009), h. 231-233.

6] Rusman, Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru (Jakarta: Rajawali Pers, 2013).

7] Joy A Palmer, [ed.], 50 Pemikir Paling Berpengaruh terhadap Dunia Pendidikan Modern: Biografi, Dedikasi dan Kontribusinya (Yogyakarta: Laksana, 2010), h. 149.

8] Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, h. 159.

9] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga. 2006), h. 211-212.


11] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami [Juz 2] (Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), h. 1045.

12] Jasser Auda, al-Maqasid untuk Pemula (Penerjemah Ali ‘Abdelmon’im) (Yogyakarta: UIN-Suka Press, 2012), h. 40-41.

13] Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah: Pendekatan Sistem (Penerjemah Rosidin dan Ali Moen’im). (Bandung: Mizan, 2015), 56-60.

14] Jasser Auda, al-Maqasid untuk Pemula, h. 41.

15] Ibid., h. 40-41.

16] Rosidin, Metodologi Tafsir Tarbawi (Jakarta: Amzah, 2015), h. 27-28.

17] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami al-Qur’an (Tangerang: Lentera Hati. 2013), h. 9-10.

18] Ibid., h. 223.