Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tafsir Tematik: Perjalanan Hidup Manusia


Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com

 
Hidup Manusia
Ikhtiar Mengisi Perjalanan Hidup: Surga atau Neraka?
Pada kesempatan ini, penulis ingin membahas perjalanan hidup manusia berdasarkan tafsir al-Qur’an tematik (maudhu’i). Dalam al-Qur’an, perjalanan hidup manusia terkadang diistilahkan dengan redaksi سَعَي yang berarti “lari-lari kecil”. Menurut al-Ashfahani, kata سَعَي berarti “mengerjakan suatu perbuatan dengan sungguh-sungguh, baik perbuatan terpuji maupun tercela”.

Al-Qur’an menyebut kata سَعَي beserta derivasinya sebanyak 30 kali. Setelah menelaah seluruh ayat yang memuat terma سَعَي tersebut, penulis mencoba memformulasikan perjalanan hidup manusia dalam perspektif al-Qur’an.

Ayat pertama yang dikutip adalah Surat al-Lail [92]: 4

إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّى (4) الليل

Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda (Q.S. al-Lail [92]: 4)

Inilah bukti kemukjizatan al-Qur’an. Ayat di atas menyatakan bahwa perjalanan hidup manusia itu bermacam-macam, tidak ada yang sama persis antara satu orang dengan yang lain. Faktanya memang demikian.

Al-Mawardi menyebut bahwa perbedaan perjalanan hidup manusia terletak pada tiga segi:

Pertama, Perbedaan hasil yang akan diterima. Misalnya, sama-sama pedagang, namun pendapatannya berbeda-beda; sama-sama pelajar, namun prestasi belajarnya berbeda-beda.

Kedua, perbedaan jenis pekerjaan. Misalnya, ada guru, pejabat, petani, pengusaha, dan sebagainya.

Ketiga, perbedaan akhlak atau karakter. Misalnya, sama-sama pedagang dan sama-sama kaya, namun ada yang bersyukur dan ada yang kufur; ada yang bekerja dengan jujur, ada pula yang curang; demikian seterusnya.

Tampaknya, al-Qur’an lebih banyak menyorot perjalanan hidup manusia dari aspek perbedaan akhlak atau karakter. Misalnya ada orang yang suka melarang atau menghalang-halangi orang lain yang hendak melaksanakan ajaran Islam, seperti yang diisyaratkan dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 114.

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا

Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? (Q.S. al-Baqarah [2]: 114)

Tidak semua akhlak bersifat kasatmata (konkret) seperti contoh di atas, karena ada juga akhlak yang tidak kasatmata (abstrak), seperti contoh perilaku orang-orang munafik yang secara kasatmata terpuji, namun faktanya justru tercela.  Misalnya, kaum munafik itu secara lahiriah “muslim”, namun secara ruhaniah selalu memusuhi Islam, seperti diisyaratkan dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 204-205

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ (204) وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ (205) البقرة

Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan (Q.S. al-Baqarah [2]: 204-205).

Dalam kitab Asbab al-Nuzul karya al-Wahidi disebutkan bahwa ayat ini diturunkan terkait Akhnas ibn Syariq al-Tsaqafi yang menghadap kepada Rasulullah SAW di Madinah. Akhnas memproklamirkan keIslaman di hadapan Rasulullah SAW, sehingga beliau terkesan kepadanya. Akhnas berkata: “Sesungguhnya aku datang karena hendak (masuk) Islam. Dan Allah mengetahui bahwa aku ini jujur”. Setelah keluar dari kediaman Rasulullah SAW, Akhnas pulang. Di tengah perjalanan, dia melewati perkebunan dan peternakan milik umat muslim. Kemudian dia membakar perkebunan dan menyembelih peternakan tersebut. Lalu turunlah ayat di atas.

Di sisi lain, ada kelompok manusia yang perjalanan hidupnya penuh dengan nilai-nilai positif. Misalnya: Umat muslim yang bergegas melaksanakan ibadah begitu adzan berkumandang, terutama pada hari Jum’at; seperti yang diisyaratkan dalam Q.S. al-Jumu’ah [62]: 9-10

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (9) فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (10) الجمعة

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 9-10)

Ibnu ‘Asyur menafsiri ayat di atas sebagai berikut: “Penggunaan redaksi ‘dzikir kepada Allah’ di sini, bukan menggunakan redaksi ‘menuju shalat’ sebagaimana ‘ketika shalat sudah usai’, agar ayat tersebut mencakup dua hal sekaligus, yaitu khutbah  dan shalat (Jum’at)”.

Demikianlah perjalanan hidup manusia, ada yang berada pada kutub negatif (akhlak tercela) dan ada pula yang berada pada kutub positif (akhlak terpuji). Untuk itu, manusia dituntut untuk berikhtiar, memilih alternatif kehidupan yang terbaik, seperti yang diisyaratkan oleh Q.S. al-Balad [90]: 10

وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ (10) البلد

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (Q.S. al-Balad [90]: 10)

Ada empat penafsiran dalam Tafsir al-Mawardi yang relevan untuk dinyatakan di sini: a) Jalan kebaikan dan keburukan [pendapat ‘Ali dan al-Hasan]; b) Jalan petunjuk dan kesesatan [Ibn ‘Abbas]; c) Jalan kebahagiaan dan kesengsaraan [Mujahid]; d) Surga dan neraka.

Secara wajar, setiap muslim tentu akan memilih jalan kebaikan, petunjuk, kebahagiaan dan surga. Semua ini baru dapat diraih apabila seorang muslim memprioritaskan kehidupan ukhrawi dibandingkan kehidupan duniawi, dengan cara menjalani hidup dipenuhi nilai-nilai keimanan. Inilah perjalanan hidup terbaik yang layak untuk dirayakan, seperti diisyaratkan Q.S. al-Isra’ [17]: 19  
وَمَنْ أَرَادَ الْآَخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا (19) الإسراء
Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik (Q.S. al-Isra’ [17]: 19).

Apalagi perjalanan hidup seperti itulah yang berpeluang besar menghadirkan kegembiraan dan kebahagiaan sepenuh jiwa (ridha) di akhirat kelak, seperti diisyaratkan oleh Q.S. al-Ghasyiyah [88]: 8-10
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاعِمَةٌ (8) لِسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ (9) فِي جَنَّةٍ عَالِيَةٍ (10)  الغاشية

Banyak muka pada hari itu berseri-seri, merasa senang karena usahanya, dalam surga yang tinggi (Q.S. al-Ghasyiyyah [88]: 8-10).

Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Singosari, 5 Desember 2017