Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Trend Pemikiran Fikih Kontemporer Perspektif Jasser Auda

Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com

Jasser Auda
Buku Terjemah Maqashid Syariah karya Jasser Auda

TINGKATAN OTORITAS DALIL FIKIH

Berikut ini spektrum otoritas dalil, mulai dari hujah hingga batil:

Spektrum Dalil
Spektrum Otoritas Dalil

Hujah bermakna otoritas dalil yang masuk akal dan pantas diakui kebenarannya, sehingga menjadi pijakan hukum.

Interpretasi apologis berarti ‘penjelasan-penjelasan yang masuk akal’ terhadap hukum-hukum tradisional yang sebelumnya dinilai berkontradiksi dengan ‘akal’ atau dengan ‘kebiasaan yang dapat diterima’, tanpa menuntut perubahan apapun terhadap hukum itu sendiri pada tataran praktis.

Interpretasi (mu’awwal) adalah penafsiran yang berbeda dengan penafsiran-penasiran biasa yang disajikan dalam riwayat-riwayat tafsir pada umumnya.

Dalil pendukung (isti’nâs) adalah otoritas dalil untuk ‘justifikasi tambahan’, bukan hujah mandiri.

Kritik minor (fîhi syai’) adalah otoritas dalil yang dikritik, namun tidak sepenuhnya ditolak, biasanya disebut dengan ungkapan “ada yang salah dengannya” (فِيْهِ شَيْئٌ).

Interpretasi radikal adalah penafsiran yang tidak bertentangan dengan kemungkinan makna-makna kata dalam kamus bahasa Arab, sesuai dengan apa yang diperkenankan oleh para fakih untuk penafsiran yang dapat diterima. Akan tetapi, makna-makna kata tersebut belum pernah digunakan atau biasanya terasa ganjil dalam penggunaan bahasa Arab pada umumnya, sehingga bertentangan dengan penafsiran yang diperkenankan para fakih. Tipe interpretasi ini menuntut perubahan (radikal) pada hukum-hukum Islam tradisional.

Batil adalah dalil yang tidak memiliki otoritas untuk dijadikan sebagai suatu pijakan hukum dalam semua keadaan.

SUMBER-SUMBER TERKINI FIKIH

Adapun spektrum sumber terkini hukum Islam adalah:

Spektrum Sumber
Spektrum Sumber Hukum Fikih

Gambar di atas mengilustrasikan spektrum sumber hukum Islam yang menghubungkan antara pengalaman manusia di satu pihak dan wahyu di pihak lain.

Ayat-ayat al-Qur'an berada di ujung kanan spektrum, meskipun penafsirannya tunduk pada pengalaman manusia, sebagaimana yang tampak jelas dari ilmu tafsir.

Sunnah bergerak mulai dari ‘murni membawa risalah kenabian’ hingga ‘murni keputusan-keputusan Nabi SAW sebagai manusia biasa’.

Kemaslahatan merepresentasikan kognisi manusia tentang Maqâshid Syarîʻah. Kemaslahatan tersebut tunduk pada ‘pandangan dunia’ dan agenda reformasi masing-masing fakih.

Hukum-hukum mazhab tradisional adalah pendapat-pendapat hukum (fatwa) yang diberikan oleh para ulama mazhab fikih dalam konteks geografis dan historis tertentu.

‘Norma rasional’ (rasionalitas) adalah ekspresi pengalaman manusia yang sebagiannya dibentuk oleh persepsi-persepsi populer tentang Islam. Akan tetapi, fitur umumnya adalah mengandalkan penalaran murni manusia dalam memandang suatu masalah, ketimbang mengandalkan sumber pengetahuan dari luar (wahyu misalnya).

Nilai-nilai dan hak-hak Modern merepresentasikan pengalaman manusia yang paling tinggi dalam memutuskan hukum. Beberapa cendekiawan Muslim terkini telah menyarankan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dan deklarasi-deklarasi internasional maupun nasional yang sejenis, sebagai sumber hukum ‘Islam’ yang dapat dibenarkan untuk saat ini.

KATEGORISASI KECENDERUNGAN PEMIKIRAN FIKIH

Berbekal klasifikasi tingkatan otoritas dalil dan sumber terkini hukum Islam di atas, Jasser Auda mengajukan kecenderungan baru pemikiran pakar hukum Islam, sebagaimana ilustrasi grafis di bawah ini:

Pemikiran
Kecenderungan Pemikiran Fikih Kontemporer

Gambar di atas menyajikan klasifikasi dua dimensi yang mengilustrasikan berbagai sumber hukum Islam (dimensi pertama) versus berbagai macam tingkatan otoritas terkini yang diberikan pada sumber-sumber tersebut (dimensi ke dua). Dalam ruang dua-dimensi tersebut, Jasser Auda mengidentifikasi tiga ‘kecenderungan’ pokok dari berbagai macam teori hukum Islam kontemporer, yaitu tradisionalisme, modernisme, dan posmodernisme.

‘Kecenderungan’ itu tidak harus merepresentasikan mazhab tertentu dengan teori tertentu secara eksklusif; demikian juga tidak harus merepresentasikan para cendekiawan tertentu, karena para cendekiawan sering berpindah-pindah posisi dan bergerak antara ‘kencenderungan-kecenderungan’ tersebut sepanjang waktu dan dipengaruhi oleh persoalan fikih yang dihadapi.

Titik-titik pertemuan antara area-area ini menjelaskan persamaan posisi dan argumen yang dapat dilihat antara para cendekiawan yang berasal dari kecenderungan-kecenderungan yang sesungguhnya berbeda. Misalnya, tradisionalis dan posmodernis menggunakan argumen-argumen yang mirip, yaitu ‘anti-kepusatan Eropa’, ‘anti-rasionalitas’, ‘anti-ketujuan’.

Pertama, Kecenderungan Tradisionalisme mencakup empat aliran cabang:

Tradisionalis
Kecenderungan Pemikiran Tradisionalisme Fikih

Tradisionalisme Bermazhab (Scholastic Traditionalism) berpegang pada pendapat-pendapat salah satu mazhab fikih klasik (misalnya: Syafi'i, Maliki, Hanafi, Hambali, Syiah atau Ibadhi) sebagai ‘Nas atau referensi utama’ mengenai isu yang dihadapi.

Neo-Tradisionalisme Bermazhab (Scholastic Neo-Traditionalism) terbuka terhadap lebih dari satu mazhab fikih sebagai referensi hukum yang sah. Keterbukaan yang paling tinggi adalah terbuka terhadap seluruh mazhab fikih yang ada, bahkan terhadap pendapat para Sahabat dan para ulama pra-mazhab. Keterbukaan yang lebih rendah adalah menerima pendapat-pendapat hanya di dalam lingkaran empat mazhab Sunni (di samping Ibadi) atau mazhab-mazhab Syiah.

Neo-Literalisme berhubungan dengan mazhab Zhahiri (literalis) yang sudah punah. Perbedaan antara Literalis kuno (mazhab Zhahiri versi Ibn Hazm) dengan mazhab Neo-Literalis adalah Literalis kuno terbuka pada koleksi hadis yang luas, sedangkan Literalis kontemporer (Neo-Literalis) bergantung pada koleksi  Hadis satu mazhab fikih (misalnya, mazhab Hanbali versi Wahabi, atau koleksi hadis Syiah).

Teori-Teori Berbasis Ideologi bertemu dengan Posmodernisme dalam mengkritik ‘rasionalitas’ modern dan nilai-nilai sentralitas Eropa yang dianggap bias dan penuh kontradiksi internal. Argumen utama aliran ini adalah ‘pemerintahan, legislasi dan kedaulatan’ sebagai ‘hak Allah SWT semata’, dan tidak diberikan kepada masyarakat berdasarkan perjanjian atau hak apa pun. Elan dasar sub-aliran ini adalah ‘anti-Barat.

Kedua, Modernisme. Diklasifikasikan lagi menjadi lima sub-aliran:

Modernisme
Kecenderungan Pemikiran Modernis Fikih

Reinterpretasi Reformis, yaitu aliran yang menggunakan pendekatan baru interpretasi, yang secara populer dikenal sebagai ‘mazhab tafsir kontekstual’ atau ‘mazhab tafsir tematik’.  Aliran ini membaca al-Qur'an sebagai suatu keseluruhan, mencari tema-tema umum melalui keseluruhan al-Qur'an, surah-surah al-Qur'an dan kelompok ayat-ayat al-Qur'an. Signifikansi reinterpretasi reformis adalah posisi-posisi dan paradigma-paradigma baru yang mereka produksi dalam isu-isu praktis sehari-hari, seperti isu-isu keluarga, ekonomi dan politik.

Reinterpretasi Apologis, perbedaan antara reinterpretasi reformis dengan apologis adalah bahwa reinterpretasi reformis memiliki tujuan untuk membuat perubahan-perubahan nyata dalam implementasi praktis hukum Islam, sedangkan reinterpretasi apologis sekadar menjustifikasi status quo tertentu, ‘Islam’ atau ‘non-Islam’.

Teori-teori Terarah oleh Maslahat, yaitu pendekatan yang berupaya untuk menghindari kelemahan-kelemahan apologis dengan membaca Nas dalam kaitannya dengan kemaslahatan yang dicapai, alih-alih kebijakan-kebijakan apriori tertentu yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Revisionisme Ushul yang berusaha merevisi ilmu Usul Fikih, karena mereka berkeyakinan bahwa ‘tidak ada perkembangan signifikan dalam hukum Islam yang dapat dilakukan tanpa pengembangan pada metodologi Usul Fikih’.

Reinterpretasi Terarah oleh Sains, mazhab baru yang memperkenalkan ‘interpretasi sains atas al-Qur'an dan Sunnah’. Dalam pendekatan ini, ‘rasionalitas’ dijelaskan dalam kaitannya dengan sains, dan al-Qur'an maupun Sunnah, direinterpretasikan agar selaras dengan penemuan-penemuan ilmiah terbaru. Sub aliran ini apologis sekaligus reformis pada saat bersamaan.


Ketiga, Posmodernisme. Diklasifikasikan menjadi lima sub aliran:

Post-Modernis
Kecenderungan Pemikiran Pos-Modernis Fikih

Pos-strukturalisme menargetkan al-Qur'an sebagai logosentris yang pantas di-desentralisasi. Tujuannya untuk ‘membebaskan manusia dari otoritas (ilahiah) atau (kedaulatan) Nas’.

Historisis menyatakan bahwa ide-ide kita tentang teks-teks, kultur-kultur dan kejadian-kejadian ditentukan oleh posisi dan fungsinya dalam konteks historis aslinya, dan oleh perkembangan historis selanjutnya.

Neo-Rasionalisme mengacu pada mazhab Muktazilah (rasionalis konvensional) sebagai referensi tradisional atas pandangan-pandangan mereka. Perbedaannya adalah Neo-Rasionalisme memberikan ‘nalar’ suatu kemampuan untuk menasakh Nas.

Studi Legal Kritis menargetkan pemikiran mazhab-mazhab tradisional dan tradisi-tradisi diskriminatif dalam dunia Islam, khususnya terhadap kaum wanita dan minoritas non-Muslim di masyarakat mayoritas Muslim.

Pos-Kolonialis mendukung suara-suara yang termarginalkan sebelumnya oleh kolonisasi Barat dan demi ‘menolak anggapan keunggulan kultural dan rasial Barat’.

Referensi
Materi ini disarikan dari:
Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, Terj. Rosidin dan ‘Ali ‘Abd el-Mun‘im (Bandung: Mizan, 2015), h. 210-250.