Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Etika Kerja Islami

Friday
Hari Jum'at Simbol Keseimbangan Ibadah dan Kerja


Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com


Tafsir Tarbawi Surat al-Jumu’ah [62]: 10               


فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (10)

Maka ketika telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah di bumi; dan carilah anugerah Allah; dan berdzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya, agar kalian beruntung (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 10).

Nilai-nilai Pendidikan:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ

Maka ketika telah ditunaikan shalat.

Pola pasif (mabni majhul; passive voice) dalam al-Qur’an mengisyaratkan makna “mudah”. Jadi, shalat itu “mudah”, sehingga seharusnya dianggap “ringan”, bukan “beban”.

Secara logis, waktu normal shalat beserta dzikir dan doa sekitar 15-30 menit. Tentu waktu yang sebentar, karena satu sinetron atau film saja ditayangkan selama waktu 60-120 menit; apalagi jika dibandingkan jam kerja yang mencapai 7-14 jam per hari.

فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ

Maka bertebaranlah di bumi.

Huruf fa’ (maka) mengisyaratkan jeda istirahat antara ibadah dengan kerja. Misalnya, setelah shalat Jum’at, istirahat sejenak dengan bercengkrama atau makan siang, lalu melanjutkan kerja.

Perlu diingat bahwa memperlambat diri dari shalat Jum’at, agar tidak berlama-lama mendengarkan khutbah Jum’at, sehingga baru hadir di masjid saat khutbah kedua atau malah iqamah, merupakan perbuatan tercela (makruh atau haram). Argumentasinya, Allah SWT memerintahkan umat muslim agar meninggalkan segala aktivitas ketika adzan shalat Jum’at berkumandang (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 9).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (9)

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu untuk dzikir kepada Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 9).

Sedangkan redaksi “bertebaranlah di bumi” mengisyaratkan tips kesuksesan kerja antara lain memaksimalkan keluasan bumi. Misalnya, konsep waralaba atau buka cabang di berbagai lokasi, berpeluang meningkatkan kesuksesan kerja.

وَابْتَغُوا
Dan carilah.

Kata ibtagha berasal dari kata bagha yang berarti “melampaui batas wajar”; sedangkan penggunaan wazan (timbangan kata) ifta’ala menunjukkan makna mubalaghah (sungguh-sungguh).

Jadi, kata ibtagha seolah-olah menyeru umat muslim agar mengeluarkan etos kerja dobel, sehingga keterampilan maupun prestasi kerjanya terus-menerus meningkat. Ibarat seorang lifter (atlet angkat besi) yang semula hanya mampu mengangkat barbel 50 kg; namun setelah mengeluarkan etos kerja dobel, keterampilan dan prestasinya bisa meningkat ke kelas 100 kg.

مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
Anugerah Allah.

Ada dua istilah al-Qur’an yang perlu dipahami. Pertama, rezeki Allah SWT (Q.S. al-‘Ankabut [29]: 17).

فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ

Maka mintalah rezeki itu di sisi Allah (Q.S. al-‘Ankabut [29]: 17).

Kedua, anugerah Allah SWT (Q.S. al-Muzzammil [73]: 20).

وَآَخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ

Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian anugerah Allah (Q.S. al-Muzzammil [73]: 20).

Penulis memahami bahwa rezeki merupakan “bawaan” sejak lahir (built-in), sedangkan anugerah merupakan “tambahan” pasca lahir (upgrade). Ibaratnya, smartphone diproduksi secara built-in berteknologi 3G (“rezeki”), namun dapat di-upgrade menjadi 4G (“anugerah”).

Kata “Allah” mengingatkan bahwa rezeki dan anugerah berasal dari Allah SWT, sehingga seharusnya diperoleh dan digunakan sesuai ajaran Allah SWT.

وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا
Dan berdzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya.

Dzikir sebanyak-banyaknya ibarat air yang terus-menerus menetes pada batu, sehingga dapat melobanginya. Dalam hal ini, yang terpenting bukan kualitas air, melainkan kuantitas air. Itulah mengapa, orang yang enggan berdzikir, disebut berhati batu (Q.S. al-Zumar [39]: 22);

فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ

Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya dari dzikir kepada Allah (Q.S. al-Zumar [39]: 22);

dan orang yang aktif berdzikir, hatinya bagaikan batu terpecah yang mengalirkan sumber air (Q.S. al-Baqarah [2]: 74),

ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْأَنْهَارُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاءُ

Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya (Q.S. al-Baqarah [2]: 74)

sehingga mudah menangis (Q.S. al-Ma’idah [5]: 83).

وَإِذَا سَمِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَى أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوا مِنَ الْحَقِّ

Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri) (Q.S. al-Ma’idah [5]: 83).

لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Agar kalian beruntung.

Arti asli tuflihun adalah membelah. Petani disebut fallah karena pekerjaannya membelah tanah untu ditanami. Orang beruntung (muflih) ibarat petani yang panen sesuai benih yang ditanam. Jadi, “beruntung” adalah menghasilkan sesuatu sesuai harapan. Misalnya, orang ujian berharap lulus, maka lulus berarti beruntung; orang kerja berharap kaya, maka kaya berarti beruntung.

Redaksi ayat ini dimulai ibadah (shalat) dan diakhiri ibadah (dzikir), sehingga mengisyaratkan bahwa pola hidup terbaik adalah mengawali dan mengakhiri kerja dengan ibadah. Ibadah ibarat doa memohon keselamatan sebelum memulai perjalanan; sedangkan kerja ibarat berkendara hingga tujuan; lalu berdoa lagi sebagai ungkapan rasa syukur karena sampai di tempat tujuan dengan selamat. Orang yang berpola hidup seperti inilah yang berpeluang mendapatkan “keberuntungan”.

Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Gunung Rejo, 9 Februari 2018


Posting Komentar untuk "Etika Kerja Islami"