Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gaya Berbusana: Dari Cadar, Jilbab hingga Rok Mini

 
Aneka Jenis Hijab

GAYA BERBUSANA: DARI CADAR, JILBAB HINGGA ROK MINI


www.dialogilmu.com
 

Sejarah Awal Busana


Tersebutlah dalam falsafah Jawa, “Sandang, Pangan, Papan”. Pakaian disebut paling awal, sebagai tanda bahwa kebutuhan berpakaian, melebihi kebutuhan makan-minum dan bertempat-tinggal. Buktinya, manusia terlebih dulu menutupi tubuh dengan pakaian, sebelum memenuhi kebutuhan pangan dan papan. Pakaian merupakan ciri khas manusia yang membedakannya dengan binatang; mengingat manusia dan binatang sama-sama membutuhkan makanan dan tempat tinggal.
 
Pada saat Nabi Adam AS dan Sayyidah Hawa mencicipi buah khuldi, Allah SWT menghukum keduanya dengan cara menampakkan aurat mereka berdua. Lalu keduanya bergegas menutupi aurat dengan tumpukan dedaunan surga yang berlapis-lapis (Q.S. al-A’raf [7]: 22). Inilah “pakaian” pertama yang digunakan oleh manusia, yaitu dedaunan. 

Allah SWT memberi panduan tentang hakikat berpakaian melalui firman-Nya, “Hai anak Adam (umat manusia), sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik” (Q.S. al-A’raf [7]: 26). Ada tiga hakikat berpakaian dalam ayat ini. Pertama, pakaian wajib menutupi aurat. Misalnya, rok mini tidak pantas disebut pakaian, karena tidak menutupi aurat. Kedua, pakaian disunahkan indah dipandang. Misalnya, pakaian tidak kebesaran atau kekecilan; pakaian dicuci hingga bersih dan suci (Q.S. al-Muddatstsir [74]: 4). Ketiga, pakaian terbaik adalah pakaian yang sesuai dengan nilai-nilai ketakwaan. Misalnya, berpakaian layaknya ulama, perilakunya harus meneladani ulama, jangan malah menodai citra ulama.

Ketentuan Busana Penutup Aurat

Dengan demikian, standar pertama berpakaian adalah menutupi aurat. Menurut Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, secara bahasa, aurat berarti “kekurangan atau keburukan”. Secara istilah, aurat adalah “bagian tubuh yang wajib ditutupi dan haram dilihat”. Penutup aurat harus berupa pakaian yang menutupi kulit, sehingga pakaian transparan (tembus pandang) tidak tergolong penutup aurat.
 
Seluruh ulama sepakat bahwa kewajiban menutup aurat berlaku di dalam shalat maupun di luar shalat, sekalipun ketika sedang sendirian, apalagi di ruang publik. Kecuali ada kepentingan (hajat), seperti mandi, buang air, istinja’, dan sebagainya. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai batasan aurat.
 

Batas Aurat dalam Fikih

Dalam al-Taqrirat al-Sadidah, Syaikh Zain ibn Sumaith menjelaskan batas aurat menurut mazhab Syafi’i secara terperinci. 

Batas aurat laki-laki ada empat. Pertama, ketika sendirian, batas auratnya qubul (kemaluan) dan dubur (anus). Kedua, ketika shalat, bersama wanita mahram dan sesama laki-laki, batas auratnya antara pusar dan lutut; dengan catatan, pusar dan lutut harus ditutupi juga. Ketiga, ketika bersama wanita lain (bukan mahram), batas auratnya seluruh tubuh. Keempat, ketika bersama istrinya, tidak ada batas auratnya. 

Sedangkan batas aurat wanita ada lima. Pertama, ketika sendirian, bersama laki-laki mahram dan sesama wanita, batas auratnya antara pusar dan lutut. Kedua, ketika bersama wanita fasik dan kafir, batas auratnya bagian tubuh yang tidak terlihat saat bekerja. Adapun bagian tubuh yang terlihat saat bekerja adalah kepala, wajah, pundak, kedua tangan hingga lengan (bagian atas); dan kedua kaki hingga lutut. Seluruhnya tidak termasuk aurat. Ketiga, dalam shalat, batas auratnya seluruh badan, kecuali wajah dan telapak tangan. Keempat, ketika bersama laki-laki lain (bukan mahram), batas auratnya seluruh tubuh, termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang kuat (mu’tamad). Kelima, ketika bersama suaminya, tidak ada batas auratnya.
 
Hanya saja, batasan aurat berlaku efektif di dalam shalat; namun, belum efektif di luar shalat. Inilah kenyataan yang dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari di jalan, pasar, tempat kerja, tempat belajar, tempat wisata dan ruang publik lainnya. 

Tiga Model Gaya Berbusana

Secara garis besar, manusia terbagi menjadi tiga kelompok dalam hal gaya berbusana di ruang publik.
 

Menutup Seluruh Tubuh 

Pertama, menutupi seluruh tubuh. Umumnya dilakukan wanita dengan memakai cadar (niqab). Dalam al-Mawsu’ah Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah sebagaimana dilansir laman resmi NU (www.nu.or.id), mayoritas ulama fikih lintas mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat. Oleh sebab itu, wajah boleh ditutupi cadar; boleh juga terbuka tanpa cadar. 

Hanya saja, ulama Hanafi berpendapat bahwa pada zaman sekarang, gadis-gadis dilarang membuka wajahnya di tengah kaum laki-laki; bukan karena aurat, melainkan untuk menghindari fitnah. Ulama Maliki hanya mewajibkan menutup wajah dan telapak tangan (dengan cadar), khusus bagi gadis yang berparas cantik atau masyarakatnya bejat. Dalam situasi normal, ulama Maliki menilai menutup wajah beserta kedua mata, tergolong tindakan berlebihan (ghuluw). Pendapat ulama Syafi’i yang kuat (mu’tamad) mengharuskan wanita menutupi seluruh tubuh, termasuk wajah dan telapak tangan. Namun, Syaikh al-Bajuri menyatakan tidak mengapa mengikuti pendapat kedua mazhab Syafi’i bahwa batas aurat wanita adalah selain wajah dan telapak tangan, mengingat banyak wanita beraktivitas di ruang publik, seperti jalan dan pasar. Syaratnya, aman dari fitnah dan tidak mengundang syahwat.
 
Untuk saat ini, fitnah bukan melulu terkait urusan seksual, melainkan juga citra negatif. Inilah yang tampaknya melatar-belakangi kebijakan pimpinan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta terkait pelarangan cadar di lingkungan kampus, yaitu sebagai langkah pencegahan radikalisme dalam kampus. Kebijakan yang sama juga ditetapkan pimpinan IAIN Bukittinggi, Sumatra Barat. Jadi, pimpinan kedua kampus tersebut menilai cadar memiliki citra negatif untuk saat ini, yaitu berhubungan dengan radikalisme (cikal bakal anti-nasionalisme dan terorisme). Namun, mereka harus bertanggung-jawab membuktikan secara nyata –semisal melalui penelitian ilmiah– bahwa orang yang memakai cadar berarti melakukan atau mendukung radikalisme. Jangan sampai seperti orang yang mengharamkan pohon cemara, hanya gara-gara identik dengan pohon natal.

Menutup Aurat secara Wajar

Kedua, menutupi aurat secara wajar. Misalnya, berjilbab yang menutupi seluruh tubuh, selain wajah dan telapak tangan. Tampaknya, inilah gaya berbusana muslimah yang paling cocok dengan situasi dan kondisi umat muslim Indonesia yang berciri-khas moderat (wasathan) dan menjunjung tinggi kearifan lokal (‘urf).
 

Mengumbar Aurat

Ketiga, tidak menutup aurat. Gaya berbusana ini sudah menjadi problem sejak zaman Jahiliyyah, yang disinggung oleh ayat, “dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah terdahulu” (Q.S. al-Ahzab [33]: 33). Rasulullah SAW memberi contoh orang yang tidak menutup aurat, “wanita yang berpakaian (kasiyat), namun telanjang (‘ariyat)” (H.R. Muslim). 

Termasuk kategori ini menurut Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim: (a) wanita yang membuka anggota tubuh untuk memperlihatkan kecantikan. Contoh masa kini, wanita yang berpakaian mini. (b) wanita yang berpakaian tipis, sehingga terlihat kulitnya. Contoh masa kini, wanita yang berpakaian transparan (tembus pandang) atau berpakaian ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya.
 
Saat ini, gaya berbusana yang tidak menutup aurat semakin marak, sehingga layak disebut “darurat aurat”. Setidaknya ada tiga sebab yang mendukung fenomena tersebut.  

Pertama, “kiblat” model berbusana (fashion) masa kini adalah negara-negara non-muslim yang tidak mengenal batasan aurat, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Italia, Jepang dan Korea Selatan. Banyak orang yang berbusana terbuka, hanya gara-gara mengikuti mode atau tren fashion, agar tidak disebut “katrok” atau “kampungan”. 

Kedua, arus informasi yang berbasis media sosial, umumnya digunakan untuk meraih popularitas (viral). Semakin banyak orang yang mendukung (like) dan membagikan (share) isi media sosial seseorang, membuat pemiliknya semakin cepat terkenal. Akhirnya banyak orang mengunggah (upload) foto dan video yang memperlihatkan auratnya sendiri maupun orang lain; terutama pornografi. Bukti terkini, 14 Maret 2018, diunggah sebuah tayangan anak kecil yang menonton video porno, tepat di samping ibunya!. Kasus ini pun langsung menjadi viral. Lihat, begitu mudah menjadi terkenal melalui jalur “buka aurat”. 

Ketiga, profesi. Begitu banyak artis yang rela membuka aurat, asalkan dibayar mahal, mencapai ratusan juta. Belum lagi profesi sebagai model, sekretaris, pramugari, customer service, bahkan pegawai mini market yang diminta berbusana yang terbuka auratnya.
 

Alternatif Solusi

Sebagai solusinya, umat muslim perlu dibina melalui pendidikan dan dakwah dengan sasaran: Pertama, mengubah “kiblat” gaya berbusana yang semula mengikuti mode dunia, menjadi mengikuti syariat Rasulullah SAW. Kedua, mengubah pola pikir, bahwa popularitas yang diperoleh dengan cara membuka aurat, akan menurunkan harkat dan martabatnya; lebih baik diperoleh dengan cara menutup aurat, semisal berhijab, yang justru menaikkan harkat dan martabatnya. Ketiga, perlunya musyawarah yang saling menguntungkan dengan pihak terkait, agar seseorang tetap dapat bekerja, tanpa harus membuka aurat. Sehingga rezeki yang diperoleh menjadi halal dan berkah.  

Wallahu A'lam bi al-Shawab.



Posting Komentar untuk "Gaya Berbusana: Dari Cadar, Jilbab hingga Rok Mini"