Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pernikahan, Perceraian dan Poligami

Poligami
Diskursus Hijab, Cerai dan Poligami dalam Islam Kerap Memicu Kontroversi


PERNIKAHAN, PERCERAIAN DAN POLIGAMI
Almaghfurlah KH. Hasyim Muzadi 

Tujuan perkawinan sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur'an, ada tiga macam:
 
Pertama, Sakinah (Ketenangan)
 
Ada beberapa istilah di dalam al-Qur'an yang kelihatannya hampir sama, namun sebenarnya berbeda. Sakinah itu ketenangan atau ketentraman, sedangkan thuma’ninah itu renungan. Dalam bahasa Jawa, sakinah itu tentrem (tentram; tenang), sedangkan thuma’ninah itu anteng (diam; tidak banyak tingkah). Tenang itu belum tentu anteng. Thuma’ninah (anteng) artinya ada pengendapan pikiran, sedangkan sakinah itu tentram dan tenang. Di dalam thuma’ninah ada unsur peresapan pemikiran dan renungan. Salah satu rukun shalat adalah anteng, bukan tentrem. Ada lagi istilah, mahabbah (senang). Senang dengan tentram itu berbeda. Senang terkadang membuat tentram, kadang tidak. Kalau kesenangan itu haq (benar), maka akan menjadi sakinah. Kalau kesenangan itu bercampur dengan nafsu, maka dia akan melahirkan gejolak atau kekacauan, baik dalam dirinya maupun keluarganya.
 
Kedua, Mawaddah
 
Mawaddah adalah cinta (katresnan) yang disertai tanggungjawab. Berbeda dengan mahabbah yang hanya cinta saja. Jadi, mawaddah adalah al-mahabbah wa al-dhiman (cinta dan tanggung jawab).
 
Ketiga, Rahmat
 
Rahmat itu ada berbagai macam jenis, antara lain: (a) Rahmat kehidupan (rahmat al-hayat atau rahmat dunyawiyyah). Misalnya: rezeki, ketenangan, ketentraman, keserasian, keturunan, silaturrahim, dan sebagainya. (b) Rahmat ketuhanan (rahmat uluhiyyah), yaitu rahmat dalam hubungan manusia dengan Allah SWT. Misalnya: Orang yang sudah menikah dianggap sempurna dari segi agama. (c) Rahmat ibadah (rahmat ’ubudiyah). Misalnya: Pahala shalat orang yang sudah berkeluarga lebih banyak daripada orang yang belum menikah (perjaka). Disebutkan di dalam Hadis bahwa pahala shalat orang yang sudah menikah itu berlipat 70 kali. Mengapa demikian? Karena orang yang masih joko (perjaka) tidak mendoakan anaknya, sedangkan orang yang sudah menikah mendoakan istri, anak keturunannya sebagaimana doa yang terdapat dalam Surat al-Furqan [25]: 74,
 
”Ya Tuhan kami, mohon anugerahkanlah kepada kami, istri-istri kami dan keturunan kami, sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami, imam bagi orang-orang yang bertakwa (Q.S. al-Furqan [25]: 74).
 
Dari sini saja sudah kelihatan perbedaan antara perjaka dengan orang yang sudah menikah. Ketenangan seorang suami juga membawa ketenangan pada yang lain. Suami sebagai pemimpin keluarga, teladan anak, dan lain-lain. Itu semua adalah rahmat.
 
Jadi, dalam pernikahan itu ada sakinah, mawaddah dan rahmat. Berikut saya sampaikan uraian tentang ketiganya secara lebih rinci.
 
Sakinah itu hidup tenang, tentram dan stabil. Stabil berarti tetap bertahan ketika ada goncangan, bukan berarti rumah tangga tanpa goncangan. Jadi, ketika menghadapi suatu goncangan, di sana ada pemecahannya. Tidak betul kalau orang yang sudah menikah disebut tentram, lalu tidak ada apa-apa; karena hidup ini tidak mungkin tidak ada apa-apa, pasti ada gelombangnya. Insya Allah, dengan keluarga yang tangguh, seseorang akan tetap stabil dalam menghadapi goncangan-goncangan itu.
 
Kalau seseorang menikah, maka senangnya itu kira-kira 6 (enam) bulan sebagai bulan madu. Ketika sudah ganti bulan ke-7 (tujuh), bulannya sudah tidak lagi semanis madu, mungkin sudah sepet (pahit). Pada saat istri mengandung saja, keadaan sudah repot. Istri memerlukan obat, ada juga istri yang rewel ketika mengandung, seperti mengidam. Terkadang ada istri yang ngidam tiap hari ingin ngambu kreweng (mencium bahu pecahan genting). Kalau istri saya ngidam, pasti masuk Rumah Sakit, karena tidak mau makan dan minum. Pada saat-saat itu, bulan madu sudah hilang, ganti menjadi bulan tanggung-jawab.
 
Ketika anaknya sudah terlahir, orangtua akan gembira; namun mengurus anak adalah tanggungjawab orang tua. Dari situasi naik-turun ini, tetap ada stabilitas. Mempunyai anak sebelum kawin, kemudian istrinya ngidam, berarti hal itu adalah kecelakaan, bukan tanggung jawab; sehingga di sana tidak mungkin ada sakinah. Oleh karena itu, Allah SWT memperingatkan bahwa hanya melalui perkawinan, akan muncul sakinah. Peringatannya, jika keluar dari jalur pernikahan, maka jangan harap ada sakinah. Nah, sakinah itu berarti stabilitas, termasuk ketika ada goncangan yang menerpa.
 
Mawaddah adalah cinta kasih dan tanggung jawab berkumpul jadi satu. Tanggung jawab apa?, Yaitu tanggung jawab terhadap hak-hak wanita (istri). Jika ada kecintaan dan tanggung jawab, maka Allah SWT akan memberikan rahmat di belakang perkawinan itu. Rahmat Allah SWT itu banyak sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Contoh rahmat kehidupan dalam pernikahan adalah: Semula berstatus orang lain, lalu menjadi besan, menantu, mertua, saudara ipar, dan lain-lain. Silsilah keturunan hanya berasal dari perkawinan. Dari situ muncul istilah mahram dan bukan mahram. Hukum waris juga ada setelah adanya keturunan. Oleh karena itu, perkawinan disebut dengan separuh agama (nishfuddin), karena separuh agama itu mulek (berkisar) di lingkungan perkawinan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya.
 
Rumah tangga harus dimodali dengan ketakwaan kepada Allah SWT. Dalam salah satu Hadis Nabi SAW disebutkan:
 
Kaum mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan orang yang terpilih di antara kamu semua adalah orang yang terpilih di dalam berakhlak (baik) kepada istrinya (H.R. al-Tirmidzi).
 
Berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW di atas, maka sikap baik di dalam keluarga harus dimulai dari pihak laki-laki (suami). Ada sebuah riwayat:
 
Penghargaan suami pada istri menunjukkan suami itu memiliki kepribadian yang sempurna (cukup). Dan penghinaan suami kepada istri menunjukkan bahwa kepribadian suami penuh cela dan cacat.
 
Perlu diselidiki dalam ilmu psikologi kebenaran pernyataan di atas, yaitu orang yang baik terhadap istrinya, berarti dia orang baik; dan jika dia menyia-nyiakan istrinya, berarti dia orang yang tidak baik. Dalam sebuah Hadis disebutkan:
 
Hanya laki-laki (suami) mulia, yang memuliakan wanita (istri) dan hanya laki-laki (suami) hina, yang menghinakan wanita (istri).
 
Semua persoalan keluarga tidak boleh dibawa keluar ke masyarakat, karena hukumnya haram. Persoalan keluarga harus disimpan sendiri. Jangan sampai kita ngedel-ngedel (membongkar air) dan ngelek-ngelekno (menjelek-jelekkan) anak dan istri di hadapan masyarakat, termasuk kepada mertua sekalipun, kecuali hal itu diperlukan dalam penyelesaian masalah. Jadi, jangan gampang lapor, selesaikan sendiri di dalam keluarga. Jika tidak bisa, boleh lapor, tapi yang dilaporkan itu masalah, bukan musykilah. Masalah adalah apa yang perlu dipecahkan, sedangkan musykilah adalah ruwet-ruwet sing gak karuan (problematika pelik yang kacau balau) yang tidak perlu disampaikan. Hanya hal-hal yang perlu dipecahkan saja yang boleh disampaikan kepada orangtua atau mertua. Sedangkan kalau melaporkan (mengeluh) kepada orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah tersebut, hukumnya haram menurut Rasulullah SAW.
 
Biasanya arisan merupakan sumber infotainment, sedangkan infotainment itu isinya cuma ngerusak (merusak) saja. Cuma yang saya heran adalah mengapa silibriti (artis) itu kok senang ngguya-ngguyu koyo bedes (tertawa lepas seperti monyet), padahal keluarganya diudel-udel (diobrak-abrik) begitu, hanya karena sekedar mencari kemasyhuran. Padahal yang dibutuhkan dalam keluarga adalah keluhuran, bukan kemasyhuran.
 
Dalam sebuah Hadis Shahih Bukhari riwayat Abu Hurairah RA dinyatakan agar suami sering-sering menasihati para wanita dan nggak bisa sekali jadi. Mengapa?, Karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Tidak ada tulang rusuk yang lurus, pasti bengkok. Oleh karena itu, wanita tidak bisa dituntut terus terang seperti laki-laki, pasti ada menggak-menggok (berbelok-belok)-nya. Di situlah letak seninya. Jika wanita tidak mau, tidak mesti tidak mau; atau wanita itu seperti orang yang lari, tapi minta dikejar sebagaimana dalam film-film India. Jadi, yang dimaksud dengan ”tulang rusuk” adalah sesuatu yang tidak rasional, tapi indah.
 
Letak perbedaan wanita dengan diplomat adalah kalau diplomat itu bilang ”ya”, belum pasti bermakna ”ya”, karena diplomat itu biasanya menghindari kata-kata ”tidak”. Misalnya, ketika diplomat tidak setuju akan sesuatu, maka dia akan berkata: ”Nanti kita pikirkan”, padahal dia tidak memikirkan. Sedangkan kalau wanita itu bilang ”tidak”, itu belum pasti ”tidak”. Misalnya, kalau wanita marah-marah dan menyuruh kita pergi, kita jangan pergi, karena maksudnya adalah supaya kita tidak pergi. Anehnya di sini dan justru seninya terletak pada keanehan tersebut. Jadi, kata ”tulang rusuk” juga bisa dimaknai wanita itu lebih ingin ”mengukur” daripada ingin dituruti. Misalnya: Kalau kita diminta pergi ke rumah wanita, sebenarnya dia tidak ingin menemui kita, melainkan hanya untuk melihat reaksi kita.
 
Allah SWT menciptakan makhluk beraneka ragam. Wanita itu emosinya di atas rasio, mungkin dengan prosentase emosi 60% dan rasio 40 %, sedangkan laki-laki itu rasio 60% dan emosi 40%. Sehingga kalau mau kirim surat kepada wanita, harus disertai kata-kata yang menyenangkan emosinya, jangan seperti telegram (pesan singkat). Kalimat tersebut dibuat untuk menyentuh bagian emosi 60% kaum wanita, di samping bagian rasio. Dengan demikian, maka yang terjadi adalah al-mu’asyarah bi al-ma'ruf (tata pergaulan kekeluargaan menurut Islam).
 
Karena suami mempunyai tanggung jawab, maka dia juga mempunyai hak-hak atas istri. Antara lain: hak satu derajat di atas hak istri. Misalnya: Hak menjatuhkan talak (cerai). Hanya dengan tanggung-jawab suami yang hilang, istri boleh minta cerai melalui pengadilan dan semacamnya. Namun, proses menuju perceraian harus ada ishlah (upaya damai) di antara keduanya dan mendatangkan sesepuh (tokoh senior yang terhormat) kedua belah pihak. Jika tidak ”ketemu” solusinya, maka dilanjutkan ke pengadilan.
 
Hak untuk mencerai itu berada di tangan laki-laki (suami). Sekalipun demikian, Rasulullah SAW mengingatkan melalui Hadis dalam Sunan Abu Dawud: Perkara halal yang paling dimurkai oleh Allah adalah cerai (H.R. Abu Dawud).
 
Di sini, banyak orang di luar Islam yang mengkritik perceraian. Mengapa Islam membolehkan perceraian? Pertanyaan ini banyak dipertanyakan oleh agama-agama di luar Islam maupun oleh negara-negara di luar negara Islam. Menurut mereka, apakah memberikan hak cerai ini bukan sebuah kezhaliman?. Jawabannya adalah bahwa perceraian itu baru dimungkinkan terjadi pada saat emergency (darurat).
 
Tadi sudah disebutkan laki-laki (suami) mempunyai hak menjatuhkan talak, tapi sudah diberitahu bahwa takal itu dibenci oleh Allah SWT. Seorang istri pun kalau ingin cerai, harus melalui proses-proses yang berat.
 
Mengapa cerai masih dimungkinkan terjadi? Pertama, untuk menghindari perbuatan fakhsya' (keji; asusila). Kedua, untuk menghindari perbuatan munkar. Misalnya: Ketika seorang istri sudah tidak berfungsi, maka suami biasanya mau menikah lagi. Ketika dia mau nikah lagi, kemudian kok digandoli (dicegah), maka akhirnya dia bisa berbuat nakal. Jadi, sebenarnya perselingkuhan itu sangat dihindari oleh Islam. Beda dengan orang-orang Barat yang mengkritik cerai, tapi mereka berbuat selingkuh semaunya saja. Hal itu sudah menjadi budaya di mana-mana di negara Barat. Akhir-akhir ini banyak juga perceraian di kalangan mereka, terutama kalangan selebriti. Bintang-bintang film di sana juga sering kawin-cerai.
 
Memang ada agama yang tidak memperkenankan perceraian. Sedangkan di dalam Islam, perceraian adalah alternatif terakhir, kalau sudah tidak ada jalan lain. Perceraian ini sama halnya dengan poligami. Poligami juga mendapat banyak kritikan dari orang luar. Padahal poligami dalam Islam itu bukan ketentuan, melainkan alternatif (pilihan) semata. Bukan orang Islam disuruh untuk poligami, karena yang diperintahkan adalah menikah dengan satu istri. Baru kalau ada faktor-faktor lain, seseorang diperkenankan untuk menikah lagi (poligami). Itu pun untuk menghindari hubungan yang tidak sah. Di dalam Islam, hubungan tidak sah itu termasuk penghinaan, sedangkan orang Barat menganggap hubungan tidak sah sebagai kebebasan. Di sini ada perbedaan pengukuran.
 
Selain alasan di atas, kita tidak tahu Allah SWT menciptaan berapa laki-laki dan wanita di suatu negeri. Misalnya: Di Jawa Timur ini wanitanya lebih banyak daripada laki-laki; di Prancis, jumlah laki-laki lebih banyak daripada wanita; sedangkan di Mesir, jumlah laki-laki dan wanita relatif sama. Kalau jumlah laki-laki yang banyak, maka laki-laki sulit untuk kawin lagi. Kalau jumlah laki-laki dan wanita sama, maka bisa menikah dengan satu orang saja sudah Alhamdulillah. Sedangkan kalau jumlah wanita lebih banyak daripada laki-laki, maka wanita-wanita yang ”tersisa” itu mau diapakan?. Misalnya: Jumlah laki-laki sebanyak 1.000 orang, sedangkan jumlah wanita sebanyak 1300, lalu poligami dilarang keras, maka wanita sebanyak 300 orang itu posisinya di mana?. Sebagai wanita yang harus terhormat dan sebagai wanita yang harus mendapatkan suami yang bertanggung jawab terhadap keturunan dan kehidupan, bukan dengan jalan maksiat; maka dalam kondisi seperti itu lah, alternatif (poligami) itu menjadi penting.
 
Alasan lain poligami adalah adat istiadat suatu tempat itu tidak sama. Di Barat, menikah lebih dari satu orang dianggap kurang terhormat. Sedangkan di Madura, banyak wanita yang ingin dinikahi Kiai hanya karena ingin mempunyai anak yang nantinya dipanggil ”Gus”. Jadi, di Madura yang aktif justru kaum wanita.
 
Seperti contoh teman saya di Asembagus yang mempunyai 4 (empat) orang istri. Itu pun masih ada yang antri untuk menjadi istrinya. Begitu juga teman saya seorang Kiai di Mojokerto yang mempunyai 4 (empat) istri. Anehnya mereka berempat tinggal di dalam satu rumah dan hidup tenang dan rukun. Jadi, dalam satu rumah ada empat kamar yang ditempati oleh masing-masing istri.
 
Dalam menanggapi masalah poligami ini, saya lebih senang mengatakan sebagai keleluasan Islam untuk menampung seluruh keadaan di dunia yang berbagai macam, tapi tetap tidak melanggar syariat Nabi Muhammad SAW. Bagaimana yang di Barat, di Timur, Afrika Selatan, Indonesia?. Bagaimana negara yang laki-lakinya lebih banyak? Bagaimana negara yang wanitanya lebih banyak?, dan sebagainya. Dengan demikian, aturannya tidak kaku, justru menjadi kenyal untuk menampung berbagai macam keadaan tersebut. Sekalipun demikian, aturan tersebut tidak melanggar konsep sakinah, mawaddah dan rahmat. Mawaddah itu mengharuskan tanggung jawab. Orang yang tidak resmi menikah, tidak ada tanggung jawabnya. Jadi, di sini kita melihatnya sebagai Rahmatan lil 'Alamin (rahmat bagi semesta alam).
 
Kalau dilihat adat istiadat satu persatu, mungkin suatu adat istiadat cocok terhadap satu alternatif, namun belum cocok dengan alternatif yang lain. Tetapi kalau melihat pada adat di dunia secara keseluruhan, maka akan tiba pada kesimpulan tidak cukup hanya dengan satu alternatif saja.
 
Adapun hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, betapa pun hal tersebut telah menjadi adat istiadat sebuah masyarakat, adat itu tetap tidak boleh. Misalnya: Ketika saya pergi ke Lombok, di sana ada suku Sasak. Di daerah suku Sasak ini, ada adat perkawinan yang aneh. Jika seorang laki-laki ingin menunjukkan cintanya kepada wanta, maka sebelum kawin, wanita itu harus diculik terlebih dulu dan dibawa pergi jauh dan hidup bersama selama satu minggu. Kalau wanita tersebut sudah lungset (digauli), baru si laki-laki lapor kepada calon mertua. Lari ini dinilai sebagai tanda cinta. Sekalipun hal seperti ini merupakan bagian dari adat istiadat atau budaya, tidak usah diakomodasi dalam Islam. Yang diakomodasi adalah yang ada kecintaan dan tanggung jawab yang bersifat duniawi dan ukhrawi, baik kepada keturunannya, keluarganya maupun kepada Allah SWT.
 
Nah, bahwa dalam suatu perkawinan ada yang ditambah-tambahi, itu hukumnya boleh. Yang penting kan ada calon suami-istri, wali, akad dan saksi. Ini yang sifatnya yuridis formal. Misalnya: Di dalam adat perkawinan di Solo ada siraman, membawa keris, dan sebagainya. Begitu juga dengan adanya janur kuning, pisang yang berbuah supaya gampang mempunyai anak. Semua itu hanya variasi dan tidak masuk lingkup hukum, melainkan termasuk budaya. Berkenaan dengan budaya ini, ada sebuah kaidah fikih yang menyatakan bahwa sepanjang suatu budaya tidak nabrak (melanggar) syariat, maka silahkan kembalikan kepada adat budaya (’urf).



Posting Komentar untuk "Pernikahan, Perceraian dan Poligami"