Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Islam dan Politik dalam Perspektif al-Qur'an

ISLAM DAN POLITIK: PERSPEKTIF AL-QUR'AN


 
Politik
Dialektika Agama dan Politik


Dr. Rosidin, M.Pd.I
www.dialogilmu.com 

Politik dalam Konteks al-Qur'an


Kata politik berasal dari bahasa Yunani dan atau Latin politicos atau politicus yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota. Menurut KBBI, politik adalah segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain. Dalam kamus bahasa Arab modern, kata politik biasa diterjemahkan dengan siyasah yang berasal dari akar kata sasa-yasusu yang berarti mengemudi, mengendalikan, mengatur dan sebagainya. Sedangkan dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu. [1]

Uraian al-Qur’an tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat yang berakar kata hukm. Kata hukm pada mulanya berarti “menghalangi atau melarang dalam rangka perbaikan”. Dari akar kata yang sama, terbentuk kata hikmah yang pada mulanya berarti kendali. Sementara ulama mengartikan bahwa hikmah adalah kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu masalah sehingga mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudarat. [2]

Seluruh umat muslim sepakat bahwa sumber hukum perundang-undangan yang mengatur kehidupan manusia di dunia ini adalah Allah SWT. Banyak sekali ayat al-Qur’an yang menjelaskan otoritas mutlak Allah SWT sebagai sumber hukum yang mengatur kehidupan umat manusia, sebagaimana rangkaian tiga ayat dalam Surat al-Ma’idah berikut: [3]  

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Q.S. al-Ma’idah [5]: 44)

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Q.S. al-Ma’idah [5]: 45)

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. al-Ma’idah [5]: 47).

Sedangkan manusia adalah wakil-wakil (khalifah) Allah dalam menyampaikan, menetapkan dan memberlakukan hukum-Nya, memperhatikan dan mengawasi penerapannya, serta memahami kandungannya melalui wewenang melakukan ijtihad, baik terkait maksud dan tujuan; maupun ketentuan dan batasan yang harus menjadi koridor dalam mengambil langkah dan menjadi kerangka dalam menata kehidupan. Adapun tugas dan kewajiban khalifah atau wakil adalah melaksanakan keinginan dan perintah pihak yang menjadikannya khalifah atau wakilnya. Oleh sebab itu, sumber hukum perundang-undangan dalam Islam adalah perpaduan antara sumber wahyu dari Allah SWT dan hasil ijtihad manusia, sebagaimana disinyalir Surat al-Nisa’ [4]: 59 [4]

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. al-Nisa’ [4]: 59).

Ayat ini mengisyaratkan bahwa sumber hukum perundang-undangan dalam Islam adalah: a) al-Qur’an; b) al-Sunnah; c) Ijtihad kolektif yang melibatkan pakar berbagai bidang, misalnya para pejabat pemerintah, ulama, panglima militer, pakar politik, sosial dan ekonomi; d) Ijtihad personal dari para ulama yang berstatus mujtahid. 

Posisi Khalifah

Relevan dengan posisi manusia sebagai khalifah Allah, setidaknya ada dua istilah al-Qur’an yang berkenaan dengan kekuasaan politik yang diamanatkan kepada manusia. 

Pertama, istikhlaf (mengelola). Surat al-Baqarah [2]: 251 menjelaskan tentang kekuasaan politik Nabi Dawud AS:

Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Dawud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Dawud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. (Q.S. al-Baqarah [2]: 251)

Ayat ini menunjukkan bahwa Nabi Dawud AS memperoleh kekuasaan tertentu dalam mengelola satu wilayah. Dengan kata lain, kekuasaan politik. Kekhalifahan dalam arti kekuasaan politik dipahami juga dari ayat-ayat yang menggunakan bentuk jamak khalifah, yaitu khulafa’. Misalnya Surat al-A’raf [7]: 69 dan 74, serta Surat al-Naml [27]: 62. 

Lebih dari itu, Surat al-Baqarah [2]: 30 menginformasikan unsur kekhalifahan, yaitu: a) bumi atau wilayah; b) khalifah (yang diberi kekuasaan politik; mandataris); c) hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah; dan hubungan pemilik kekuasaan dengan pemberi kekuasaan, yaitu Allah SWT. 

Kedua, isti’mar (memakmurkan) yang berarti menugaskan manusia untuk mengolah bumi guna diambil manfaatnya. Dengan kata lain, pelimpahan kekuasaan politik. [5]

Kekuasaan politik yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada manusia dilakukan melalui suatu ikatan perjanjian. Yaitu ikatan perjanjian antara sang penguasa politik (manusia) dengan pemberi kekuasaan politik (Allah SWT) yang disebut dengan ‘ahd; dan ikatan perjanjian antara sang penguasa dengan masyarakat yang disebut dengan bai’at. Kedua perjanjian tersebut merupakan amanat yang harus ditunaikan. Oleh sebab itu, perintah taat kepada penguasa (Ulil Amri) didahului oleh perintah menunaikan amanat:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. al-Nisa’ [4]: 58-59)

Amanat yang dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, antara lain perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan atau umat muslim saja, melainkan mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. Berdampingan dengan amanat yang dibebankan kepada para penguasa, ayat tersebut juga menekankan kewajiban taat masyarakat terhadap mereka. [6]

Ketaatan terhadap penguasa (Ulil Amri) tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, tidak boleh taat kepada penguasa, jika perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah SWT dan Rasulullah SAW. Dalam hal ini dikenal kaidah yang sangat populer:

Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang makhluk, dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Allah SWT).

Namun bila perintah Ulil Amri tidak mengakibatkan kemaksiatan, maka ia wajib ditaati, walaupun perintah tersebut tidak disetujui oleh yang diperintah:

Seorang muslim wajib memperkenankan dan taat menyangkut apa saja (yang diperintahkan Ulil Amri); suka atau tidak suka; kecuali bila ia diperintahkan berbuat kemaksiatan, maka ketika itu tidak boleh memperkenankan, tidak juga taat. (H.R. Bukhari-Muslim).

Taat dalam bahasa al-Qur’an berarti “tunduk”, menerima secara tulus dan menemani. Ini berarti ketaatan dimaksud bukan sekedar melaksanakan apa yang diperintahkan, tetapi harus ikut berpartisipasi dalam upaya-upaya yang dilakukan penguasa politik guna mendukung usaha-usahanya. Dalam konteks ini, Nabi SAW bersabda: "Agama adalah nasihat". Ketika para sahabat bertanya, “untuk siapa?”. Nabi SAW menjawab: "Untuk para pemimpin kaum muslim dan khalayak ramai mereka". “Nasihat” yang dimaksud Nabi SAW di sini adalah dukungan positif kepada mereka –termasuk kontrol sosial– demi suksesnya tugas-tugas yang mereka emban. [7]
 

Relasi Islam dan Politik


Menyangkut hubungan Islam dan politik, terdapat dua paradigma utama yang membentuk basis pendekatan normatif pada Islam politik.
 
Pertama, Pendekatan Legal-Eksklusif. Pendekatan ini merujuk pada ide bahwa Islam bukan hanya sedekar agama, tetapi juga sistem hukum yang sempurna, ideologi universal, dan sistem pedoman hidup sempurna yang dapat memberi solusi bagi semua persoalan hidup. Para pendukung pendekatan ini secara kuat meyakini Islam sebagai totalitas utuh yang terkenal dengan istilah tiga “D”: Din (agama), Dunya (dunia) dan Dawlah (negara). Akibatnya, paradigma ini disusun untuk aplikasi setiap aspek kehidupan, mulai dari soal keluarga, ekonomi hingga politik. Di dunia politik, paradigma ini mewajibkan muslim mendirikan Negara Islam. Para pendukung paradigma ini menyatakan bahwa negara dan fungsinya merupakan bagian dari ajaran-ajaran Islam. Syariah ditafsirkan sebagai Hukum Suci, dan harus menjadi dasar negara berikut konstitusinya.
 
Paradigma ini mengandung arti bahwa kedaulatan politik bukan di tangan rakyat, melainkan di tangan Tuhan (Allah SWT). Konsekuensinya, paradigma eksklusif ini secara langsung mewajibkan setiap muslim untuk menjunjung syariah dalam keadaan apapun. Dan bagi seorang muslim yang menginginkan pemisahan antara agama dan politik, atau menolak syariah, dituduh menolak spirit Islam. Terlebih, konsep-konsep politik modern dari sumber-sumber Barat dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Selain itu, paradigma ini juga menghimbau umat muslim agar merujuk “negara ideal” yang didirikan Nabi Muhammad SAW dan empat khalifah (Khulafa’ al-Rasyidin), dan mengharuskan muslim tidak menerapkan sistem politik Barat. Oleh sebab itu, muslim secara kuat direkomendasikan untuk bergabung dalam perjuangan politik mewujudkan Islam sebagai basis negara dan syariah sebagai dasar konstitusinya.
 
Kedua, Pendekatan Substantif-Inklusif. Pendekatan ini merujuk pada pandangan bahwa Islam tidak merumuskan konsep teoretis apapun tentang politik. Para penganjur paradigma ini meyakini al-Qur’an mengandung informasi perihal pedoman moral bagi kehidupan manusia, tapi tidak memberikan secara detail cara pelaksanaannya. Mereka mengemukakan tidak ada satu pun teks al-Qur’an yang menyuruh muslim mendirikan Negara Islam. Al-Qur’an hanya memuat petunjuk etik dan moral untuk mengatur politik, termasuk cara meraih keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi dan lain-lain. Asumsi paradigma ini adalah misi Rasulullah SAW bukan untuk mendirikan kerajaan maupun negara, melainkan sama dengan misi para nabi lainnya, yaitu mendakwahkan nilai-nilai dan kebaikan Islam sebagai misi utama.
 
Jadi, misi Nabi SAW tidak seharusnya dipahami dalam makna membangun atau memerintah negara. Akan tetapi, ini bukan menolak fakta bawah lingkungan historis saat ini telah mengharuskan Nabi SAW dan keempat khalifah (Khulafa’ al-Rasyidin) bertindak secara politis atau melaksanakan fungsi-fungsi politik dalam masyarakat tanpa negara (stateless) itu. Kenyataan tersebut bukan berarti Islam sebagai agama terikat atau tergantung pada negara. Pandangan substantif-inklusif menyatakan bahwa syariat tidak terikat atau ditentukan negara. Menurut al-Asymawi, bahkan al-Qur’an sendiri menegaskan syariah adalah sumber orientasi etika dan tidak menawarkan landasan untuk bentuk negara apapun.
 
Dengan demikian, Islam memberi kesempatan dan kebebasan kepada para pemeluknya untuk merumuskan dan mengembangkan sistem politik berdasarkan pilihan mereka sendiri. Konsep-konsep dan sistem-sistem politik, terlepas datang dari mana pun, secara asasiah diterima dan dipakai, asalkan selaras dengan etika dan spirit Islam. Kedua paradigma ini telah eksis dan menyebar secara berangsur-angsur di dunia muslim –termasuk Indonesia– selama berabad-abad. Para pendukung masing-masing paradigma telah terlibat dalam debat publik sejak dulu hingga sekarang ini; tanpa pernah berkesudahan. [8] 

________________________________________
[1] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2014), h. 548.
[2] Ibid., h. 548-549.
[3] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih al-Islami wa Adillatuhu [Jilid 8] (Penerjemah oleh Abdul Hayyie al-Kattani, dkk.) (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 267-268.
[4] Ibid., h. 267-269.
[5] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 555-559.
[6] Ibid., h. 559-562.
[7] Ibid., h. 563-564.
[8] Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara (Bandung: Mizan, 2006), h. 754-758.