Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teacher Oriented versus Student Oriented


Pada zaman dulu, guru bagaikan seorang sage yang menjadi satu-satunya sumber ilmu pengetahuan, sehingga posisinya begitu dominan dalam pembelajaran. Inilah yang disebut teacher oriented. Metode ceramah, kisah, nasihat (mau’izhah), al-targhib wa al-tarhib dan keteladanan (uswah) menjadi saluran transfer ilmu dari guru kepada murid. Semua senang, tidak ada yang protes. Pada zaman sekarang, posisi guru bergeser menjadi seorang fasilitator yang berperan bagaikan pelatih yang memberikan instruksi, kemudian aktivitas berikutnya diserahkan kepada murid untuk menerjemahkan instruksi tersebut, sehingga peran murid menjadi dominan. Inilah yang disebut student oriented. Metode resitasi (hafalan), diskusi kelompok, eksperimen, demonstrasi, presentasi hingga penulisan karya ilmiah menjadi saluran belajar yang memberi kesempatan murid untuk mengaktualisasi-kan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Baik teacher oriented maupun student oriented sama-sama diterapkan dalam dunia pendidikan Islam.

Catatan yang perlu diperhatikan terkait penerapan pendekatan teacher oriented antara lain: Pertama, keluasan dan kedalaman ilmu pengetahuan guru. Kendati guru sudah tidak menjadi satu-satunya sumber ilmu pengetahuan, namun guru masih dipercaya sebagai sumber belajar yang terandalkan, terutama dalam konteks konfirmasi (tashhih) keilmuan. Misalnya, ketika murid kebingungan dengan beragam pendapat ulama Fikih terkait hukum jabat tangan antar lawan jenis yang berstatus non-mahram, guru mampu menjelaskan duduk permasalahan dan argumentasi para ulama Fikih tersebut, lalu menginformasikan pendapat yang dinilai paling unggul. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan ketika guru memiliki ilmu yang luas dan dalam. Kedua, kreativitas guru. Seburuk apapun metode pembelajaran, apabila guru memiliki tingkat kreativitas yang tinggi dalam membawakannya, maka metode tersebut akan menarik bagi para murid. Misalnya, ceramah disebut-sebut sebagai metode yang membosankan, namun jika ceramah disajikan dengan suara yang tegas, penjelasan yang lugas, diselingi humor layaknya stand-up comedy dalam porsi yang pas serta didukung tampilan slide atau video melalui proyektor, tentu akan menarik minat para murid. Ketiga, memberi ruang bagi interupsi murid. Pada saat guru menjelaskan materi pelajaran melalui pendekatan student centered, sebaiknya guru memperkenankan interupsi murid. Misalnya, guru memberikan kesempatan kepada murid untuk bertanya di tengah penjelasan yang disampaikan. Tidak harus menunggu sampai seluruh materi pelajaran selesai dijelaskan, cukup menunggu hingga satu sub-materi selesai dijelaskan. Sekiranya guru bermaksud menjelaskan lima sub-materi, dia dapat berhenti setiap kali selesai menjelaskan satu sub-materi, untuk memberi peluang murid bertanya. Dengan demikian, metodenya bersifat interaktif, yaitu melibatkan guru dan murid, dengan dominasi tetap dipegang guru.

Catatan yang perlu diperhatikan terkait penerapan pendekatan student-oriented antara lain: Pertama, adanya kesiapan belajar murid. Tanpa kesiapan belajar murid, pendekatan student-oriented akan mandul. Bagaikan anak-anak yang belum pernah dilatih sepakbola, lalu langsung disuruh bermain sepakbola. Misalnya, ketika para murid dinilai belum memiliki informasi yang memadai tentang materi pelajaran, metode diskusi kelompok perlu dihindari, karena hanya akan sia-sia saja. Agar para murid memiliki kesiapan belajar, guru perlu membekali mereka dengan menjelaskan materi pelajaran terlebih dahulu, lalu memberi kesempatan bagi penerapan metode diskusi kelompok. Kedua, adanya “rule of games” (aturan permainan). Mengingat para murid memiliki karakteristik yang bervariasi, tidak jarang pendekatan student-centered didominasi oleh para murid yang aktif. Jika tidak diberi aturan permainan, tentu pembelajaran akan bersifat diskriminatif, yaitu hanya melayani sejumlah murid yang aktif. Padahal dalam setiap kelas hampir pasti terdapat sejumlah siswa yang berkarakter pasif. Melalui aturan permainan, pendekatan student-centered dapat dinikmati oleh para murid yang aktif maupun pasif. Misalnya, siswa yang aktif hanya dibatasi memberi pertanyaan dan jawaban sebanyak tiga kali dalam satu sesi pembelajaran, kemudian guru menunjuk siswa yang tergolong pasif untuk mengajukan pertanyaan atau menjawab pertanyaan dalam setiap sesi pembelajaran. Ketiga, mempertimbangkan keaneka-ragaman karakteristik individual peserta didik. Misalnya, ketika memberikan tugas hafalan ayat al-Qur’an atau Hadis, guru membuka lebar kreativitas murid dalam mengerjakan tugas tersebut. Murid boleh menghafalkan ayat al-Qur’an semata, ayat al-Qur’an beserta terjemahan per ayat, ayat al-Qur’an beserta terjemahan kata per kata, bahkan ayat al-Qur’an beserta tafsirnya. Dengan variasi seperti ini, para murid memiliki kesempatan untuk mengukur tingkat kemampuannya masing-masing, tanpa terbebani layaknya ketika memperoleh tugas yang bersifat homogen.

Akhir-akhir ini, pendekatan student-centered lebih diminati di dunia pendidikan, setidaknya dilatar-belakangi oleh tiga hal. Pertama, porsi belajar yang besar bagi murid. Pembelajaran adalah proses mengajar yang dilakukan guru dengan menghadirkan suasana belajar yang kondusif bagi murid, sehingga subyek utama belajar adalah murid. Semakin besar porsi murid untuk belajar, semakin menarik pula suatu pembelajaran. Pembelajaran itu ibarat proses melahirkan, guru berperan sebagai bidan, sedangkan murid berperan sebagai ibu yang hendak melahirkan. Kendati bidan memiliki peran atas keberhasilan persalinan, namun peran besar tetap berada pada pihak ibu yang harus berjuang lebih keras. Kedua, adanya keterlibatan. Di antara bentuk penghargaan terhadap harga diri (self-esteem) murid adalah melibatkannya dalam pembelajaran. Bagaimanapun, komunikasi satu arah suatu saat akan menimbulkan kejemuan –sebagaimana orang yang menonton film, jika membosankan atau durasinya terlalu lama, tentu akan membuat orang tertidur, atau minimal tidak dapat berkonsentrasi–. Sebaliknya, komunikasi dua arah berpeluang besar menciptakan antusiasme –sebagaimana orang yang bermain drama teater, meskipun perannya sedikit, dia tetap berkonsentrasi dan tidak akan tertidur, karena merasa dilibatkan–. Ketiga, ada peluang berinteraksi dengan sesama murid. Tentu kenikmatan tersendiri bagi murid untuk saling berinteraksi dengan sesama murid, dibandingkan berinteraksi dengan guru, dikarenakan hubungan antar murid umumnya lebih kental dan erat, dibandingkan hubungan murid dengan gurunya. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Rosidin
http://www.dialogilmu.com