Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keanekaragaman Manusia dalam al-Qur'an

Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com

Istilah Manusia dalam al-Qur'an
Bukti Keanekaragaman Manusia

Dalam usaha mempelajari hakikat manusia, diperlukan pemikiran yang filosofis, karena manusia adalah subyek sekaligus objek pendidikan. Bahkan hampir semua disiplin ilmu pengetahuan berusaha menyelidiki dan mengerti hakikat manusia1, hanya saja hingga kini misteri hakikat manusia masih belum terungkap secara komprehensif.

Carrel menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang kompleks, sehingga tidak mudah untuk mendapatkan satu gambaran untuknya. Shihab menyatakan, untuk mengetahui hakikat manusia, dibutuhkan pengetahuan dari pencipta yang Maha Mengetahui melalui wahyu-wahyu-Nya.2

Pendapat di atas mengantarkan pada pentingnya kajian tematik tentang manusia dalam al-Qur’an. Al-Qur’an menggunakan istilah yang beragam dalam menjelaskan manusia. Beragamnya istilah di sini sesuai dengan sisi dan aspek manusia yang sedang menjadi fokus pembicaraan. Al-Qur’an memberikan penjelasan tentang manusia dengan istilah: al-Basyar, al-Insan, al-Nas dan Bani Adam.3
       
Penjelasan tentang manusia ini penulis awali dengan kajian terhadap terma-terma dalam al-Qur’an yang mengacu pada manusia secara umum. Di sini penulis akan membahas enam terma kunci, yaitu al-Insan, al-Nas, al-Basyar, Bani Adam, ‘Abd Allah dan Khalifah Allah:

1.            al-Insan

Kata al-Insan ada 65 kata; sedangkan kata Ins ada 18.4  Secara etimologis, al-Insan berasal dari kata al-Unsu yang berarti jinak, harmonis, dan tampak; lawan kata dari firar dan wahshah (buas). 5

Menurut Asy’ari, jika dilihat dari asal kata anasa dalam pengertian melihat, mengetahui dan meminta izin; berarti term al-Insan mengandung pengertian kemampuan penalaran manusia. Dengan penalarannya, manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihat, mengetahui apa yang benar dan apa yang salah serta mendorong untuk meminta izin menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. 

Jika dilihat dari akar kata nasiya yang berarti lupa, maka term al-Insan berkaitan dengan kesadaran diri. Manusia lupa terhadap suatu hal disebabkan ia kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut. 

Sedangkan jika dilihat dari akar kata al-Uns yang artinya jinak, maka term al-Insan berkaitan dengan adanya kesadaran penalaran. Manusia pada dasarnya jinak, dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada. Manusia memiliki kemampuan adaptasi yang cukup tinggi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial maupun alamiah. 

Manusia menghargai tata aturan etik, sopan santun dan sebagai makhluk yang berbudaya, ia tidak liar, baik secara sosial maupun alamiah. 6
       
Baharuddin menyimpulkan bahwa kata al-Ins dipakai oleh al-Qur’an dalam kaitannya dengan berbagai potensi manusia, antara lain sebagai hamba Allah yang selalu berbuat baik; namun juga potensial menjadi pembangkang. 7 

Inilah yang mengantarkan pada dua kutub manusia, yaitu ahsan taqwim dan asfal al-safilin. Semua manusia diciptakan dari debu tanah dan Ruh Ilahi; apabila daya tarik debu mengalahkan Ruh Ilahi, maka manusia akan jatuh tersungkur ke tempat yang serendah-rendahnya, bahkan lebih rendah dari binatang; sebaliknya, bila Ruh Ilahi yang memenangkan tarik-menarik itu, maka manusia akan menjadi seperti malaikat.8
       
Kata al-Insan dan serumpunnya digunakan oleh al-Qur’an untuk menyatakan manusia dalam kegiatan yang amat luas. Dalam konteks pendidikan, al-Insan berarti manusia yang menerima pelajaran dari Allah SWT tentang apa yang tidak diketahuinya [al-‘Alaq [96]: 1-3]: dan manusia yang mempunyai keterikatan dengan moral atau sopan santun [al-‘Ankabut [29]: 8; Luqman [31]: 14].

Lebih jauh lagi, Harahap menarik pengertian bahwa kata al-Insan digunakan oleh al-Qur’an dalam kaitan dengan berbagai kegiatan manusia.9  Ayat lain yang relevan dengan dua ayat di atas adalah Surat al-Ahqaf [46]: 15.
       
Dalam pandangan lain, penggunaan kata al-Insan mengacu pada upaya mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi. Dari kreativitasnya itu, manusia dapat menghasilkan sejumlah kegiatan berupa pemikiran (ilmu pengetahuan), kesenian ataupun benda-benda ciptaan. Melalui kemampuan berinovasi, manusia mampu merekayasa temuan baru dalam berbagai bidang yang kemudian dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan. 10

2.          al-Nas

Kata al-Nas dalam al-Qur’an terulang sebanyak 241 kali dari 22 Ayat dan 53 Surat ditambah beberapa turunannya seperti unasi sebanyak 5 kali dari 5 ayat; kata anasi dan insiyya masing-masing sebanyak 1 kali. 

Al-Nas dalam al-Qur’an pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial, sesuai dengan kodratnya manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat (zoon politicon) [al-Hujurat: 13]. 11
       
Konsep al-Nas selalu merujuk pada peran manusia dalam kehidupan sosial. Manusia diarahkan agar menjadi warga sosial, yang pada akhirnya diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kehidupan bersama di masyarakat. Dengan demikian, konsep al-Nas mengacu kepada peran dan tanggung jawab manusia sebagai makhluk sosial dalam statusnya sebagai makhluk ciptaan Allah. 12    

3.          al-Basyar

Manusia disebut dengan al-Basyar, karena kulitnya tampak; berbeda dengan binatang yang kulitnya ditutupi oleh bulu. 13 

Al-Qur’an menggunakan kata al-Basyar untuk menjelaskan manusia sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan hanya sekali dalam bentuk mutsanna (dual). Seluruhnya mengacu pada sisi fisik manusia yang secara biologis memiliki persamaan di antara seluruh manusia. Jadi, al-Basyar berarti manusia dalam kehidupan sehari-hari sangat bergantung kepada kodrat alamiahnya, seperti makan, minum, berhubungan sex, dan sebagainya. 14

Harahap melakukan perbandingan antara manusia dalam konteks al-Basyar dengan al-Insan. Dalam pengertian al-Basyar, manusia tergantung sepenuhnya pada alam. Pertumbuhan dan perkembangan fisik manusia tergantung pada makanan dan minuman yang dikonsumsi. 

Sementara dalam pengertian al-Insan, pertumbuhan dan perkembangan manusia tergantung pada kebudayaan, termasuk pendidikan. Kematangan penalaran, kesadaran dan sikap hidupnya tergantung pada pendidikannya. 15

4.          Bani Adam

Kata Bani Adam disebutkan sebanyak 7 kali, masing-masing dalam 7 Ayat dan 7 Surat. Makna Bani Adam adalah makhluk yang memiliki kelebihan dan keistimewaan dibandingkan dengan makhluk lain. Keistimewaan itu meliputi fitrah keagamaan, peradaban, dan kemampuan memanfaatkan alam. 16
       
Dalam konteks ayat-ayat yang mengandung konsep Bani Adam, manusia diingatkan oleh Allah SWT agar tidak tergoda oleh syaitan [al-A‘raf [7]: 26-27], pencegahan dari makan dan minum secara berlebih-lebihan dan tata cara berpakaian yang pantas saat melaksanakan ibadah (al-A‘raf [7]: 31), ketaqwaannya (al-A‘raf [7]: 35), kesaksian manusia terhadap Tuhannya (al-A‘raf [7]: 172), dan peringatan agar manusia tidak diperdaya hingga menyembah setan (Yasin [36]: 60). 17

5.           ‘Abd Allah

Dimensi lain yang dimiliki manusia dalam al-Qur’an adalah sebagai ‘Abd Allah yang harus selalu beribadah kepada-Nya (al-Dzariyat [51]: 56]. Pengertian ibadah erat kaitannya dengan proses pendidikan, sebagai upaya pengembangan fitrah manusia dengan setinggi-tingginya. 18

Dalam konteks konsep ‘Abd Allah ini, manusia harus tunduk dan taat kepada Allah SWT. Sehingga apapun aktivitas yang dilakukan manusia, baik yang menyangkut hubungan antar sesama manusia maupun antar sesama makhluk, harus atas dasar adanya ridha Allah SWT. 19

6.          Khalifah Allah

Ayat al-Qur’an yang sering menjadi argumen terkait dengan posisi manusia sebagai khalifah adalah Surat al-Baqarah [2]: 30. 

Setelah mengkaji konsep khalifah dalam al-Qur’an melalui metode tematik, Baqir al-Sadr menyatakan bahwa kekhalifahan mengandung tiga unsur yang saling kait-mengkait [Manusia; Alam raya; hubungan antara manusia dengan alam dan segala isinya, termasuk manusia], lalu ditambah unsur keempat yang berada di luar, namun amat menentukan arti khalifah, yaitu Allah SWT. 20 

Hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dengan yang ditaklukkan, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah (Ibrahim [14]: 32; al-Zukhruf [43]: 13).
       
Dengan demikian, kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyu-wahyu-Nya. 21
       
Menurut Jalaluddin, Allah SWT telah menciptakan tatanan kehidupan yang harmonis [al-Rahman [55]: 9] menyediakan kebutuhan hidup manusia yang beraneka ragam; maka dalam statusnya sebagai khalifah, manusia dituntut untuk menjaga dan melestarikan keharmonisan tatanan tadi. 22

Catatan Kaki


Catatan Kaki

1. Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), 131-132.

2. Kesulitan menyingkap hakikat manusia ini dilatar-belakangi oleh tiga faktor berikut: Pertama, Pembahasan tentang manusia terlambat diadakan, bahkan pada masa renaissance pun, para ahli masih terfokus pada penyelidikan alam materi. Kedua, ciri khas akal manusia yang cenderung memikirkan hal-hal yang tidak kompleks. Ketiga, multi-kompleksnya masalah manusia. (M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1999), 68.)

3. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 159-160.

4. Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqy, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim (Kairo: Dar al-Hadith, 2007), 115-116.

5. Samih ‘Atif al-Zayn, Mu‘jam Tafsir Mufradat Alfazh al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-Lubnany, 2001), 76.

6. Hakim Muda Harahap, Rahasia al-Qur’an: Menguak Alam Semesta, Manusia, Malaikat dan Keruntuhan Alam (Depok: Darul Hikmah, 2007), 82-83.

7. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, 70-74.

8. M. Quraish Shihab, Lentera al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2008), 102-103.

9. Hakim Muda Harahap, Rahasia al-Qur’an, 82-88.

10.Muhammad Samsul Ulum & Triyo Supriyatno, Tarbiyah Qur’aniyah (Malang: UIN-Malang Press, 2006), 3-6.

11. Ibid., 8.

12. Jalaluddin, Teologi Pendidikan (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), 25.

13. Samih ‘Atif al-Zayn, Mu‘jam Tafsir Mufradat Alfazh al-Qur’an, 111-112.

14. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, 65-69.

15 Hakim Muda Harahap, Rahasia al-Qur’an, 88.

16 Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, 88-90.

17. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, 26.

18. Muhammad Samsul Ulum & Triyo Supriyatno, Tarbiyah Qur’aniyah, 17.

19. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, 30.

20. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, 138-139.

21. Ibid.,139.

22. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, 32.


Referensi:
Rosidin. Konsep Andragogi dalam al-Qur’an: Sentuhan Islami pada Teori dan Praktik Pendidikan Orang Dewasa. Malang: Litera Ulul Albab. 2013. 71-76