Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sumber Ilmu Ilahi versus Insani


 Dr. Rosidin, M.Pd.I

http://www.dialogilmu.com


Wahyu versus Ijtihad
Relasi al-Qur'an, al-Sunnah dan Ijtihad

Sumber pendidikan Islam terbagi menjadi dua, Ilahi (syar’iyyah) dan insani (‘aqliyyah). Sumber Ilahi berupa al-Qur’an dan Hadis, sedangkan sumber insani berupa ijtihad.

Sumber Ilahi adalah cerminan dimensi normatif ajaran Islam yang bersifat statis (tsawabit), sehingga tidak lekang oleh perubahan ruang dan waktu. Misalnya al-Qur’an memerintahkan untuk membaca (Q.S. al-‘Alaq [96]: 1). Ini adalah kewajiban yang berlaku bagi umat muslim di mana pun dan kapan pun.

Di sisi lain, sumber insani adalah cerminan dimensi historis ajaran Islam yang bersifat dinamis (mutaghayyirat), sehingga berubah-ubah seiring pergeseran ruang dan waktu. Misalnya teknik membaca selalu mengalami transformasi sepanjang sejarah, sehingga seseorang dapat membaca dengan teknik skimming (membaca cepat untuk memperoleh gambaran umum; semisal membaca bab dan sub-bab), scanning (membaca cepat untuk memperoleh informasi tertentu; semisal mencari terjemahan suatu kata dalam kamus), selecting (membaca teks sesuai kebutuhan; semisal membaca teks berdasarkan indeks) hingga skipping (membaca dengan mengabaikan bagian yang tidak penting atau sudah dimengerti).

Signifikansi al-Qur’an sebagai sumber primer pendidikan Islam setidaknya terletak pada tiga peran pokok.

Pertama, peran “yudikatif” al-Qur’an yang memberikan status sah-batalnya atau baik-buruknya suatu teori atau praktik pendidikan. Artinya, jika selaras dengan al-Qur’an, maka hukumnya sah dan dinilai baik, sehingga dapat diterima. Sebaliknya, jika bertentangan dengan al-Qur’an, maka hukumnya batal dan dinilai buruk, sehingga harus ditolak.

Kedua, peran “legislatif” al-Qur’an yang memberikan aturan “perundang-undangan” yang bersifat universal, untuk kemudian dijabarkan dalam aturan-aturan yang lebih spesifik. Misalnya al-Qur’an menetapkan bahwa orangtua bertanggung-jawab atas pendidikan keluarganya (Q.S. al-Tahrim [66]: 6]. Adapun detail pelaksanaan tanggung-jawab tersebut dapat dilihat pada “aturan-aturan” lain, seperti Hadis maupun hasil ijtihad para pakar pendidikan Islam.

Ketiga, peran “eksekutif” al-Qur’an yang menuntut agar nilai-nilai al-Qur’an diimplementasikan dalam pendidikan Islam. Misalnya prinsip tauhid, keadilan, toleransi, kasih-sayang, baik-benar-indah, dan sebagainya.

Signifikansi Hadis sebagai sumber sekunder pendidikan Islam juga dapat dilihat dari tiga peran pokok.

Pertama, panduan “teoretis”. Hadis memperkaya khazanah teori pendidikan Islam melalui jalur Ta’kid, yaitu mengokohkan isi al-Qur’an, semisal menegaskan pentingnya menuntut ilmu; Tabyin, yaitu menjelaskan isi al-Qur’an, semisal memaparkan berbagai macam etika menuntut ilmu; Ta’sis, yaitu menginformasikan sesuatu yang baru, yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an, semisal pendidikan khusus kaum wanita.

Kedua, panduan “praktis”. Hadis memberikan panduan praktis yang dapat diterapkan dalam pendidikan Islam, baik secara langsung –misalnya metode kisah, metafora, nasihat, al-targhib wa al-tarhib hingga keteladanan (uswah) yang biasa ditampilkan oleh Nabi SAW ketika mendidik para shahabat– maupun tidak langsung –misalnya terdapat sejumlah materi pendidikan yang diajarkan oleh Nabi SAW, yang perlu untuk dijelaskan atau dikontekstualisasikan terlebih dahulu–.

Ketiga, panduan “metodologis”. Membludaknya muatan Hadis yang tersebar di berbagai Kitab Induk Hadis, terutama Kutub al-Tis’ah, dapat memberikan panduan metodologis bagi umat muslim dalam mengonstruksi teori dan praktik pendidikan Islam. Misalnya merumuskan teori psikologi pendidikan Islam berdasarkan telaah Kitab Shahih Bukhari-Muslim.  

Adapun signifikansi ijtihad sebagai sumber ketiga pendidikan Islam dapat dicermati pada lima fungsi.

Pertama, fungsi “interpretatif”. Al-Qur’an membutuhkan mufasir, sedangkan Hadis membutuhkan pensyarah. Keduanya berposisi sebagai “juru bicara” al-Qur’an dan Hadis, melalui mekanisme penerjemahan, penjelasan dan perluasan makna.  

Kedua, fungsi “dialektis”. Fungsi interpretatif membutuhkan fungsi dialektis yang dapat mendialogkan antar ayat al-Qur’an atau Hadis; antara ayat al-Qur’an dengan Hadis; atau antara ayat al-Qur’an dan Hadis yang berdimensi transendental dengan pendekatan rasional dan empiris yang berdimensi profan, sehingga menghasilkan teori dan praktik pendidikan Islam yang berdimensi ganda.

Ketiga, fungsi “kontekstualisasi”. Teori dan praktik pendidikan Islam yang berbasis al-Qur’an dan Hadis, masih banyak yang bersifat universal atau general (umum), sehingga membutuhkan proses kontekstualisasi agar relevan dengan konsteks aktual ruang dan waktu.

Keempat, fungsi “operasionalisasi”. Teori dan praktik pendidikan Islam yang sudah kontekstual, masih bersifat ideal, sehingga membutuhkan sentuhan ijtihad pakar agar dapat dioperasionalisasikan secara aktual.

Kelima, fungsi “(re)konstruksi”. Evaluasi terhadap operasionalisasi pendidikan Islam secara aktual, memberikan balikan (feedback) yang dapat ditindak-lanjuti dengan rekonstruksi di atas “pondasi” yang sama, maupun dengan konstruksi di atas “pondasi” yang berbeda dengan sebelumnya.
Paparan di depan mengisyaratkan bahwa relasi antara al-Qur’an, Hadis dan Ijtihad bersifat hierarkis. Jika al-Qur’an memberikan garis-garis besar yang bersifat universal, maka Hadis memberikan garis-garis rinci yang bersifat general, sedangkan Ijtihad mengontekstualisasikan garis-garis besar al-Qur’an dan garis-garis rinci al-Qur’an pada tataran aktual yang bersifat lokal.

Ibaratnya, al-Qur’an itu seperti UUD 1945; Hadis itu seperti perundang-undangan atau peraturan-peraturan pemerintah; sedangkan Ijtihad seperti operasionalisasi UUD 1945 dan perundang-undangan atau peraturan-peraturan pemerintah tersebut pada tataran aktual di tengah-tengah masyarakat.

Di sisi lain, al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber khas pendidikan Islam yang bersifat tertutup, tidak dapat dimasuki oleh hal-hal ‘asing’ di luar Islam; maka Ijtihad merupakan sumber pendidikan Islam yang bersifat terbuka, sehingga terbuka bagi kalangan umat muslim (insider) maupun non-muslim (outsider).

Oleh sebab itu, wajar jika teori dan praktik pendidikan Islam mengakomodasi hasil ijtihad pakar muslim –semisal  ibadah sebagai tujuan utama pendidikan Islam– maupun hasil ijtihad non-muslim –semisal penggunaan taksonomi Bloom (kognitif, afektif, psikomotorik) dalam evaluasi pendidikan Islam–. Dengan demikian, teori dan praktik pendidikan Islam bersifat eksklusif sekaligus inklusif.


Wallahu A’lam bi al-Shawab.