Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tanggungjawab Pendidikan atas Fenomena Hoax


Berita Palsu
Bijak dalam Menyikapi Hoax di Media Sosial

Dr. Rosidin, M.Pd.I
www.dialogilmu.com

Fenomena hoax (berita palsu) disinyalir pertama kali muncul di media sosial saat pemilihan gubernur tahun 2012; hal ini diperparah oleh rasa bangga masyarakat apabila menyebarkan informasi hoax (Jawapos.com).

Fenomena hoax seolah memutar kembali roda sejarah ketika sabda Rasulullah SAW dipalsukan dalam bentuk Hadis palsu (maudhu’) yang dilatar-belakangi oleh aneka motif, semisal membela kepentingan golongan (madzhab) dan mencari nafkah (Thahhan, ttt.: 76-77).

Respon sigap segera dilakukan oleh para ulama dengan menetapkan kriteria selektif penerimaan Hadis dalam bentuk kritik informan (sanad) dan informasi (matan) yang pada akhirnya memberangus “budaya” pemalsuan Hadis ketika itu. Pun demikian, maraknya informasi hoax yang beredar di berbagai media sosial menanti respon sigap para pakar, khususnya di bidang pendidikan.

Pendidikan bertanggung-jawab atas fenomena hoax setidaknya disebabkan oleh tiga faktor.

Pertama, informasi hoax adalah manifestasi sikap dusta (kadzib).

Kedua, informan hoax adalah orang yang tidak dapat dipercaya (khiyanah), karena telah menyembunyikan fakta yang sesungguhnya (kitman).

Ketiga, penyebar hoax adalah orang yang tidak kritis (baladah), karena tidak melakukan proses cek dan ricek (tabayun) terlebih dahulu.

Semua itu merupakan rangkaian akhlak tercela yang menjadi sasaran perbaikan pendidikan karakter yang menjadi tanggung-jawab pendidikan nasional, khususnya poin karakter kejujuran dan tanggung-jawab.

Ironisnya, empat karakter tercela tersebut justru mendapatkan lahan subur dalam praktik pendidikan di Indonesia.

Pertama, sikap dusta dapat dilihat pada budaya contek-menyontek di kalangan siswa demi meraih nilai yang memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal); sedangkan guru tidak jarang “terpaksa” memberikan nilai fiktif demi memenuhi KKM tersebut.

Kedua, sikap khiyanah dan kitman muncul bersamaan dengan rasa canggung untuk menampilkan diri apa adanya sesuai dengan identitas diri (self-identity), karena berisiko merendahkan citra atau harga diri (self-esteem), semisal lembaga pendidikan menyusun laporan yang terlihat begitu sempurna dan memperbaiki sarana-prasarana demi meraih predikat akreditasi A dari asesor; namun begitu akreditasi A diperoleh, fakta di lapangan justru menampilkan kualitas pendidikan yang berpredikat akreditasi B.

Ketiga, sikap baladah diawali oleh minimnya ruang bagi kritisisme di dunia pendidikan. Kerapkali guru secara otoriter memposisikan diri sebagai “satu-satunya” sumber ilmu atau menampilkan informasi yang bersifat mono-dimensi, sehingga tidak membuka ruang bagi kritisisme siswa. Seolah-olah tidak ada pandangan alternatif (second opinion), di luar apa yang diajarkan oleh guru. Akibatnya, para siswa terbiasa menerima informasi begitu saja, tanpa ada kritisisme dalam bentuk tabayun (cek dan ricek).   

Adapun bentuk tanggung-jawab pendidikan atas fenomena hoax dapat ditempuh melalui implementasi analisis empat langkah Blue Ocean Strategy (W. Chan Kim and Renée Mauborgnem, 2005: 29). Pertama, Hilangkan (Eliminate). Kedua, Kurangi (Reduce). Ketiga, Tingkatkan (Raise). Keempat, Ciptakan (Create).

Apa yang perlu dihilangkan adalah budaya dusta. Baik guru maupun siswa sama-sama berkomitmen untuk memberantas budaya dusta dan menerapkan interaksi edukatif yang penuh kejujuran. Semisal siswa mengerjakan PR, tugas maupun ujian secara jujur, sedangkan guru memberikan nilai yang jujur, bukan nilai fiktif.

Apa yang perlu dikurangi adalah rasa canggung untuk menampilkan diri apa adanya sesuai dengan identitas diri, kendati berisiko mengurangi citra atau harga diri. Sikap ini berkenaan dengan kebiasaan untuk menyajikan segala sesuatu apa adanya, bukan dibuat-buat semata untuk meningkatkan citra.

Apa yang perlu ditingkatkan adalah ruang kritisisme siswa. Ketika siswa diberikan ruang kritisisme yang memadai, maka siswa akan terlatih untuk mengajukan cek dan ricek atas informasi yang diperoleh dari guru.

Apa yang perlu diciptakan adalah informasi yang berbentuk multi-dimensi, tidak sekedar mono-dimensi. Dengan demikian, kebenaran informasi tidak bersifat tunggal, melainkan plural. Hal ini membuat siswa terbiasa menerima beragam informasi yang sama-sama memiliki potensi kebenaran, sehingga siswa dapat membandingkan antara berbagai informasi tersebut untuk menemukan informasi yang dinilai paling benar.

Hasil analisis blue ocean strategy di atas berimplikasi pada rekonstruksi empat dimensi pendidikan.

Pertama, Interaksi edukatif didasarkan pada kejujuran, sehingga kejujuran menjadi memori kolektif yang terinternalisasi pada diri siswa.

Kedua, Tujuan pendidikan lebih memprioritaskan identitas diri yang faktual, bukan harga diri yang fiktif, sehingga siswa terbiasa mengutamakan fakta dibandingkan citra.

Ketiga, Hubungan guru dan siswa pada posisi setara, sehingga memberi ruang kritisisme siswa yang menjadi cikal-bakal sikap cek dan ricek (tabayun).

Keempat, Materi pelajaran disusun multi-dimensi, sehingga siswa terbiasa menerima berbagai informasi yang sama-sama berpotensi mengandung kebenaran, agar tidak mudah terjebak pada “klaim kebenaran” satu informasi semata. Adapun output ideal dari rekonstruksi ini adalah generasi bangsa yang mengedepankan integritas diri, fokus pada fakta, selektif pada informasi dan inklusif menerima kebenaran.

Wallahu A’lam bi al-Shawab.   

Posting Komentar untuk "Tanggungjawab Pendidikan atas Fenomena Hoax"