Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tafsir Tarbawi Surat al-Mujadilah [58]: 11

Tempat Belajar
Bergeser demi Orang Lain Saat di Majlis Ta'lim


Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (11)

Hai orang-orang beriman, apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. al-Mujadilah [58]: 11)

Asbab al-Nuzul

Pada hari Jum’at, Rasulullah SAW di shuffah yang ruangannya sempit. Ruangan sudah dipenuhi jamaah, termasuk kaum munafik. Lalu datanglah para shahabat peserta Perang Badar (Ahlu Badar). Karena telat, mereka terpaksa berdiri. Rasulullah SAW segera meminta orang-orang di samping beliau agar memberi tempat. Para shahabat pun menaatinya, namun kaum munafik menyindir hal itu. Lalu turunlah ayat ini.

Asbab al-Nuzul di atas mengajarkan setidaknya tiga hal. Pertama, semangat tinggi yang dimiliki para shahabat untuk berdekatan dengan “guru” mereka, yaitu Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, majlis ta’lim Rasulullah SAW selalu ramai dan penuh sesak oleh jamaah. Kedua, menghormati orang-orang yang memang berhak dihormati dan mengakui keistimewaan orang-orang yang memang istimewa. Misalnya, Ahlu Badar yang tercakup dalam pujian Allah SWT dalam Surat al-Hadid [57]: 10

لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى

Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Makkah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik (Q.S. al-Hadid [57]: 10).

Tafsir Surat al-Mujadilah [58]: 11

Demi efisiensi, seringkali Surat al-Mujadilah [58]: 11 hanya disampaikan bagian akhirnya tentang derajat orang beriman dan berilmu; padahal bagian awalnya justru merupakan indikator apakah seseorang pantas menyandang derajat tersebut atau tidak.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ
Hai orang-orang beriman, apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.

Indikator pertama, altruis (mengutamakan orang lain). Misalnya, rela bergeser demi memberi tempat untuk orang lain (tafassahu fi al-majalis). Arti asli fasaha adalah tempat yang luas; sehingga tafassahu bermakna ‘bergeser agar tempat menjadi luas, sehingga dapat diduduki orang lain’. Sebaliknya, jika tidak mau bergeser, berarti masih bersikap egois.

Dalam konteks lebih luas, orang beriman dan berilmu yang sejati, akan selalu berorientasi melayani masyarakat, bukan dilayani masyarakat. Jadi, siapapun yang orientasinya ingin dilayani masyarakat, berarti iman dan ilmunya masih rendah, sehingga derajatnya pun rendah. Rasulullah SAW bersabda:

الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى (رواه البخاري)

“Tangan di atas (memberi; melayani) itu lebih baik daripada tangan di bawah (menerima; dilayani)” (H.R. al-Bukhari).

وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا

Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah

Indikator kedua, proaktif dan produktif. Misalnya, jika diminta berdiri, segera bangkit berdiri (fan-syuzu). Arti asli nasyaza adalah “dataran tinggi”. Proaktif berarti responsif (cepat tanggap) terhadap setiap peluang amal shalih, semisal beribadah tepat waktu (on time) yang tergolong muqtashid, bahkan menunggu waktu (in time) yang tergolong sabiq (Q.S. Fathir [35]: 32).

وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ (32)

Dan di antara mereka ada yang pertengahan (muqtashid) dan d iantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan (sabiq) dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar (Q.S. Fathir [35]: 32).

Produktif berarti melakukan amal shalih yang bermutu secara kualitas dan berlimpah secara kuantitas (Q.S. al-Taubah [9]: 105).

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ

Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu (Q.S. al-Taubah [9]: 105).

يَرْفَعِ اللَّهُ

Niscaya Allah akan meninggikan.

Redaksi “akan meninggikan” menggunakan fi’il mudhari’, sehingga mengisyaratkan sebuah proses. Artinya, kenaikan derajat tidak bersifat instan (sekejap), melainkan berproses sepanjang waktu. Misalnya, Rasulullah SAW membutuhkan puluhan tahun untuk mengantarkan kejayaan Islam. Sedangkan redaksi “Allah” mengingatkan bahwa satu-satunya Dzat yang bisa meninggikan derajat seseorang adalah Allah SWT (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 26)

وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (26)

Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 26).

bukan kecerdasannya (Q.S. al-Qashash [28]: 78)

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا

Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? (Q.S. al-Qashash [28]: 78).

maupun kekayaannya (Q.S. al-Baqarah [2]: 247)

قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ

Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa” (Q.S. al-Baqarah [2]: 247).

الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ

Orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan.

Redaksi “beriman” mengisyaratkan bahwa iman sudah menaikkan derajat seseorang, setidaknya setingkat lebih tinggi daripada orang kafir. Redaksi “yang diberi ilmu” mengisyaratkan bahwa ilmu merupakan pemberian Allah SWT sesuai kehendak-Nya. Itulah mengapa, dua siswa yang duduknya berdampingan dan mengerahkan etos belajar yang sama, namun pemahaman ilmunya berbeda tingkat. Lebih dari itu, ilmu menaikkan derajat seseorang, setidaknya setingkat lebih tinggi daripada orang bodoh. Oleh sebab itu, jika seseorang beriman sekaligus berilmu, berarti derajatnya dinaikkan dua kali lipat.

دَرَجَاتٍ

Berderajat-derajat.

Arti asli “derajat” adalah tangga naik ke atas; sedangkan “darakat” adalah tangga turun ke bawah (Q.S. al-Nisa’ [4]: 145).

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ

Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka (Q.S. al-Nisa’ [4]: 145).

Jadi, kata “derajat” sudah mengisyaratkan tempat yang tinggi; sedangkan bentuk jamak (darajat) mengisyaratkan bahwa derajat yang diberikan Allah SWT itu bertingkat-tingkat.

وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Kata ta’malun (kamu kerjakan) mengisyaratkan bahwa nilai keimanan dan keilmuan seseorang diiukur dari amal yang dilakukan. Itulah mengapa, kata iman selalu diikuti kata amal shalih; sebagaimana kata ilmu selalu memuat teori dan praktik. Kata khabir berarti Maha Mengetahui hal-hal detail, baik yang tampak, yang rahasia, maupun yang terlupakan (Q.S. Thaha [20]: 7)

وَإِنْ تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى (7)

Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi (Q.S. Thaha [20]: 7).

Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Singosari, 7 Februari 2018



Posting Komentar untuk "Tafsir Tarbawi Surat al-Mujadilah [58]: 11"