Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tiga Cara Taqarrub kepada Allah SWT

 
Mendekat kepada Allah
Kenikmatan Taqarrub tidak Dirasakan Orang yang Jauh dari Allah SWT

TIGA CARA TAQARRUB KEPADA ALLAH SWT

Almaghfurflah KH. Hasyim Muzadi


Ada tiga cara mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT.
 
Pertama, Memperkuat Tauhid (I'tisham)
 
Memperkuat gandolannya (ikatan) kepada Allah SWT. Kita berdoa memohon kepada Allah SWT agar diberi masa depan yang sebaik-baiknya, dengan cara memperbanyak ibadah dan membaca al-Qur’an, utamanya Surat al-Fath [48]: 1-5.
 
Berkenaan dengan kondisi Indonesia yang masih dalam lingkar musibah yang oleh orang Jawa (Kejawen) disebut cokro manggilingan (cokro adalah senjata Dewa Krisna yang berbentuk bulat dan ujungnya lancip). Hal itu sebenarnya termasuk kepercayaan, bukan akidah; akan tetapi kebetulan sesuai dengan siklus manusia yang naik-turun. Mengingat masyarakat Indonesia masih pada putaran gelombang penderitaan, maka doa tauhid untuk masa depan perlu dibarengi doa tolak balak yang diamalkan secara rutin.
 
Kedua, Memperbaiki Akhlak
 
Memperbaiki akhlak tidak cukup hanya dengan ibadah dan doa, melainkan harus disertai ketahanan terhadap godaan. Godaan zaman sekarang sangat berat, dan lebih berat daripada godaan zaman dulu. Saya dulu paling-paling digoda uang, jabatan, dan lain-lain. Sedangkan anak muda zaman sekarang digoda kesenangan sehari-hari. Istilahnya dalam agama, alat al-malahi. Alat berarti instrumen, dan malahi berarti yang melupakan atau memabukkan. Jadi, alat al-malahi adalah instrumen atau alat yang melupakan dan memabukkan.
 
Memabukkan berarti mengacaukan sistem ruhani. Sistem ruhani terdiri dari ruh, rasio, rasa dan nafsu yang harus berjalan secara sinergis dan saling kontrol. Kalau sistem ini kacau, maka ada potensi untuk berbuat rusak. Nah, potensi berbuat rusak itu bertemu dengan lingkungan yang rusak dan pergaulan bebas, tentu sangat berat dihadapi. Saya ini tahu anak-anak muda itu kalau di pondok pesantren kan alim-alim, tapi kalau sudah naik sepeda motor di jalan, suka gandengan dengan lawan jenis.
 
Belum lagi suasana bacaan dan pergaulan. Itu semua adalah instrumen pemabukan dan pelupaan. Jadi saya tahu, godaan itu memang berat. Oleh karenanya, anak-anak muda jangan sampai mempunyai uang yang terlalu banyak, karena lebihnya itu berpotensi untuk digunakan berbuat rusak. Anaknya orang-orang besar (kaya raya) yang mondok di sini (Pesma Al-Hikam) kan tidak kerasan (betah), karena duitnya banyak, sehingga dia bisa membeli kesenangan-kesenangan yang “merusak”.
 
Jadi, untuk ketahanan luar dan dalam terhadap godaan pribadi, maka harus sering membaca Surat al-Falaq dan al-Nas. Supaya dalam diri seseorang ada medan pengaruh penjagaan. Allah SWT berfirman dalam Surat al-Isra’ [17]: 45
 
Dan apabila kamu membaca al-Qur’an, niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup (Q.S. al-Isra’ [17]: 45).
 
Kalau kita membaca al-Qur’an, maka Allah SWT akan mengirimkan sekat atau demarkasi antara diri kita dengan lingkungan orang-orang kafir. Kafir di sini tidak hanya kafir keyakinan, tapi juga kafir terhadap peraturan Allah SWT. Kafir itu secara bahasa bermakna ingkar. Jadi, yang dimaksud “kafir” dalam ayat ini bermakna umum, yaitu meliputi pengaruh keyakinan, ideologi, kesenangan, alat al-malahi, dan sebagainya. Semua itu termasuk kekufuran pada bidangnya masing-masing.
 
Jika kita membaca al-Qur’an, maka masih lumayan, karena ada sekat atau ada benteng terhadap pengaruh negatif. Benteng ini kuat-kuatan dengan godaan yang ada, apakah kuat bentengnya ataukah kuat godaannya?. Tapi, selemah-lemahnya benteng, tentu masih lebih baik daripada tidak ada benteng sama sekali. Tidak ada benteng atau netral itu lebih baik daripada sengaja memanggil godaan. Arek-arek (anak-anak muda) itu ada kalanya mendambakan godaan. Yo opo kok suwe gak ono sms (gimana ini, kok lama tidak ada sms masuk). Artinya, orang yang seperti ini tidak membentengi diri, justru sedang menarik godaan masuk ke dalam dirinya. Padahal, dengan dibentengi saja, bisa jebol karena luapan dari kiri-kanan yang sangat besar.
 
Dengan adanya benteng diri, berarti ada saringan-saringan (filter). Ibaratnya, sekalipun mobil itu larat (“remnya blong”), tapi tidak sampai masuk jurang, paling-paling nabrak ringan dan pengemudinya mengalami luka-luka. Oleh karenanya, kalau kita memiliki kesadaran terhadap godaan ini, maka cepat-cepat membaca Surat al-Falaq dan al-Nas (al-Mu’awidzatain). Tetapi ada juga yang tidak mau membaca kedua surat ini, karena “takut” godaan tidak datang kepadanya. Inilah dimensi kedua, penjagaan akhlak.
 
Ketiga, Tawassul bi al-A'mal
 
Tawassul bi al-A'mal adalah memohon sesuatu lewat atau via amal shalih. Beramallah yang baik-baik. Misalnya, ketika ada program santunan dan pinjaman kepada orang miskin dan pedagang melijo, seharusnya anak-anak muda ikut bersemangat membantu, karena termasuk amal shalih. Perbuatan menghentikan tetesan air mata orang miskin merupakan amal yang agung dan menjadi investasi bagi anak-anak muda. Namun, pahalanya tidak tumbuh seketika, karena namanya saja investasi. Hari ini anak-anak muda yang ikut menolong fakir miskin dan mencarikan keringanan hidup bagi mereka yang terancam kelaparan dan pengangguran; manfaatnya akan kembali kepada anak-anak muda tersebut pada siklus kehidupan yang sesungguhnya, yaitu setelah menikah.
 
Hidup anak-anak muda itu tergolong muqaddimah (pendahuluan), baru kalau sudah kawin, mempunyai anak dan rumah sendiri, itulah real life atau hidup senyata-nyatanya. Sekarang ini masih belum, karena duit anak-anak muda masih dikirim oleh orangtua. Ketika pada realitas hidup nanti, seluruh investasi amal shalih yang dilakukan anak-anak muda, akan kembali lagi, sebelum hari akhirat, karena di akhirat nanti ada sendiri totalan untuk investasi tersebut.
 
Orang yang menolong orang miskin, diharamkan oleh Allah SWT menjadi orang miskin sebagaimana orang-orang yang ditolong. Orang yang menghentikan kezhaliman seseorang kepada orang lain, maka dia diharamkan oleh Allah SWT, menerima kezhaliman dari orang lain. Jadi, kalau ada orang dizhalimi, hentikan kezhaliman itu, maka kita akan hidup tanpa dizhalimi. Itulah yang disebut tawassul bi al-a'mal.
 
Doa tidak selalu melalui lisan, meskipun memang dimulai dari lisan. Doa dari lisan itu disambung dengan rasa, kontemplasi, dan dibuktikan dengan amal. Oleh karenanya, amal itu sebetulnya bagian dari doa yang konkret. Sebagaimana doa adalah amal yang bersifat batiniah, maka amal adalah doa yang bersifat lahiriah.
 
Pegang tiga hal di atas –yaitu: al-i'tisham atau al-tawakkal bi Allah (berpegang teguh kepada Allah SWT); al-muraqabah (menjaga diri) dan beramal shalih– di tengah-tengah godaan dan bencana yang melanda. Semoga Allah SWT memberi perlindungan khusus kepada mereka yang melakukan tiga hal di atas.
 
Dalam Surat al-Anfal [8]: 25 dinyatakan,
 
Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya (Q.S. al-Anfal [8]: 25).
 
Kalau bencana sudah datang, maka orang yang shalih-pun bisa terkena imbasnya, kecuali yang istitsna' (exception; pengecualian). Semoga kita ini termasuk golongan exception demi menolong orang shalih yang terkena bencana.
 
Hal ini menjadi sangat perlu, karena bencana zhahir, berupa bencana alam, dan bencana bathin, berupa stres sosial, belum ada tanda-tanda berhenti, malah ada kecenderungan menaik. Nah pada titik puncak itulah, nanti mulai ada decline (penurunan). Kalau kita sekarang ini belum sampai pada puncak. Ini artinya, akan ada fenomena-fenomena lain yang lebih berat dari apa yang sudah terjadi sekarang ini.
 
Perhatikan! kalau orang terkena gempa bumi, longsor, badai, kebakaran, dan lain-lain, kemudian mereka langsung meninggal dunia, maka beban keluarga yang ditinggal akan cepat sembuh karena mereka sudah wafat. Apalagi yang mau dipikirkan? Oleh karena itu, keluarga korban lebih gampang pasrah. Seperti yang terjadi di Sleman, di Bantul, di Aceh, dan sebagainya. Karena keluarganya sudah meninggal dunia, maka mau bagaimana lagi?. Mungkin mereka mengalami stres dua bulan, namun karena dituntut oleh kebutuhan, maka keluarga korban itu harus bangkit dan bekerja. Apa boleh buat, semua sudah meninggal. Jadi, pasrahnya hati keluarga korban lebih cepat.
 
Lain halnya dengan bencana yang tidak mengambil nyawa, tapi mengambil harta dan kehidupan orang itu, sedangkan dia sendiri masih hidup. Seperti korban lumpur Lapindo. Dalam bencana lumpur ini, yang diambil adalah seluruh harta benda mereka, tapi mereka dibiarkan hidup. Selama mereka dibiarkan hidup, tidak ada tangan-tangan yang menolong untuk memperkuat hidup mereka. Beban mereka dua hingga empat kali lipat daripada langsung ditinggal mati oleh keluarganya. Sekitar 30% dari korban lumpur Lapindo yang tinggal di penampungan, telah mengalami depresi. Prosentase 30% itu banyak, karena jumlah korban di penampungan tersebut mencapai 6.000 KK. Pikiran mereka sudah tidak stabil.
 
Jadi, ada depresi sosial pada korban lumpur di atas, baik pada tingkat terendah, tingkat sedang, maupun tingkat tinggi. Depresi tingkat rendah berarti orang yang terkena bencana masih bisa menyesuaikan diri bahwa itu adalah musibah, sehingga dia masih tetap wiridan. Meskipun dia stres, tapi masih ada penawarnya. Depresi tingkat sedang adalah mereka yang terhempas dengan tekanan batin ini dan berusaha menahan diri semaksimal mungkin, namun dia sudah mulai goyang. Jalan pikirannya sudah kacau, ide-idenya sudah tidak cerdas, dan sudah mulai seperti rumput kering yang gampang terbakar (dry society atau masyarakat yang kering), sehingga gampang marah, gampang membunuh, gampang bertindak anarkis, dan sebagainya. Sedangan depresi pada tingkat berat adalah dia betul-betul sudah gila.
 
Di Sidoarjo, saya dapat catatan bahwa sudah ada 42 orang yang gendeng bareng atau sempel berjama'ah (gila bersama). Potensi 42 orang ini akan bertambah terus, yaitu dari peningkatan orang yang depresi tingkat rendah menuju ke tingkat sedang; dan dari tingkat sedang menuju ke depresi tingkat berat. Mereka itu luar biasa kesedihannya, sementara pemerintahnya berputar-putar terus. Katanya, penduduk di empat desa di Porong sudah dikasih ganti rugi sekitar 20%, itupun dipilih rumah yang sudah bersertifikat. Artinya, ganti rugi itu tidak sampai sepertiga penduduk di empat desa itu. Padahal 20% itu tidak cukup untuk biaya hidup ataupun membangun kehidupan yang baru. Mereka harus menunggu dua tahun lagi untuk menerima ganti rugi. Alasan Lapindo, mereka sudah diberi uang untuk kontrak rumah sebanyak 5 juta untuk dua tahun. Padahal uang 5 juta sudah tidak mungkin bisa digunakan untuk dua tahun, karena uang itu sudah habis digunakan biaya hidup, karena mereka menganggur. Maka yang ada adalah penantian selama 2 tahun, sehingga yang terjadi adalah dari stres menuju gila. Bisa nggak kita membayangkan betapa beratnya cobaan Allah SWT yang seperti ini.
 
Sementara penduduk yang di Tanggulangin sebanyak 6000 KK datang berbondong-bondong ke Jakarta untuk meminta keadilan. Mereka meminta ganti rugi secara cash and carry (tunai). Mereka di Jakarta tidak ketemu siapa-siapa, kecuali bertemu saya. Mereka menangis ketika bertemu saya. Artinya, bahwa bencana lumpur ini mengandung unsur kezhaliman. Selain mengandung unsur human error (kesalahan manusia) karena tambang, juga ada natural disaster (bencana alam netral). Bahkan, ada kezhaliman juga di dalam penanganannya. Dari tanda-tanda ini, maka murka Allah SWT akan naik. Saya tidak mendahului takdir Allah SWT dan tidak mendoakan hal itu terjadi. Tapi perkataan ini berdasarkan Hadis Rasulullah SAW yang artinya: “Kezhaliman di tengah penderitaan, akan menghadirkan murka Allah SWT”.
 
Oleh karena kurva-nya lagi naik, maka kita harus mempunyai ketahanan diri. Selain mengamalkan doa-doa yang telah saya berikan, kalau bisa –saya tidak mewajibkan, tapi mengharapkan– kita mulai belajar berpuasa senin-kamis. Pada bulan Rajab nanti, kita bisa berpuasa total, karena di sekitar bulan itu akan terjadi puncak kegoncangan yang dahsyat. Mudah-mudahan kita termasuk golongan yang diselamatkan oleh Allah SWT.
 
Semoga kita bisa ikut meringankan bencana itu, yaitu bertugas sebagai relawan yang bertanggung jawab terhadap manusia dan Allah SWT. Saya ini, hati saya sudah pas. Apapun yang terjadi, terserah Allah SWT, karena saya tidak mungkin tidak ke sana ke mari. Misalnya, malam ini di sini (Pesma Al-Hikam Malang), nanti di Kediri, besok nggak tahu ke mana lagi; malam masih memberi tanbihul ‘am (pengajian umum untuk santri dan dewan guru Pesma Al-Hikam), senin ke Jakarta, pagi menanda-tangani surat-surat, lalu ke Yogjakarta, kemudian ada acara di UGM atau Ngarso Dalem. Selasa, saya di Jambi, Rabu masuk Jakarta lagi, Kamis saya harus di Batam, sementara Jum’at saya harus di Malang. Ini semua adalah pekerjaan yang tidak mungkin saya tinggalkan.
 
Saya tidak bisa menghindari kereta, pesawat dan tidak bisa memilih waktu, karena jadwalnya sudah pas. Saya tadi malam ke Malang dari Yogjakarta naik Kereta Api. Saya naik Kereta Api dari Yogjakarta, terus ke Pasuruan menceramahi kiai-kiai yang “bertikai” mengenai Syiah. Artinya, bismillah, pokoknya saya menjalankan tugas dan mudah-mudahan diberi keselamatan di perjalanan. Saya sering tutut-tututan (berkejaran) dengan bencana. Hari ini, saya ada di Padang, Kalimantan Barat. Ketika saya kembali ke Jakarta, selisih satu hari, di Padang terjadi gempa, longsor, dan kebakaran karena petir. Saya juga tidak tahu jam-jam terjadinya bencana. Alhamdulillah, karena pas, maka di kendaraan mesti tidur dan saya jarang minum di pesawat, karena pramugari takut membangunkan.
 
Belum lagi, sekarang ini saya sudah dianggap menjadi saingan nasional dan internasional. Banyak orang merasa tersaingi, padahal saya tidak merasa menyaingi. Maka sindikat nasional mulai membayang-bayangi saya; ketika saya di Palestina, dibayangi oleh intelejen Israel; dan ketika di Syiria, dibayangi oleh CIA. Dalam kondisi ini, maka tiga hal di atas lah yang saya lakukan. Ini semuanya saya sampaikan karena ingin meyakinkan bahwa apa yang saya sampaikan, juga saya lakukan pada kelas yang berbeda, tapi pada esensi yang sama.
 
Akhirnya, kita kembali bahwa Allah SWT tidak akan membebani hamba-Nya melebihi kemampuannya. Maka berdoalah: “Ya Allah, semoga saya jangan Engkau beri beban yang melebihi ukuran yang saya kuat”.
 
Jadi, pengajian ini mengacu kepada al-Qur’an dan Hadis yang ditujukan untuk kita semua. Al-Qur’an tidak berubah-ubah, karena fenomena hidup itu sama saja, cuma kemasannya yang berbeda. Dari dulu ada yang sabar, pemarah, dan sebagainya. Fenomenanya sekitar itu saja. Oleh karena itu, fenomena tersebut harus disikapi dengan substansi yang sama dan tidak berubah, yaitu al-Qur’an. 



Posting Komentar untuk "Tiga Cara Taqarrub kepada Allah SWT"