Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tata Cara Membaca al-Qur'an

TATA CARA MEMBACA AL-QUR’AN

Belajar Membaca al-Quran Sejak Dini
(foto: kumparan.com)


Ketahuilah bahwa membaca al-Qur’an itu terbagi menjadi empat bagian. Pertama, tahqiq. Kedua, tartil. Ketiga, tadwir. Keempat, hadar.

Pertama, Tahqiq. Tahqiq artinya bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu sesuai hakikatnya, tanpa berlebih atau berkurang. Tahqiq adalah istilah yang bermakna “memberi hak pada setiap huruf”. Tahqiq ini dinilai bagus dan disunahkan untuk dijadikan pegangan oleh para guru untuk mengajari para muridnya; tanpa melampaui batas serba lebih, seperti membaca berharakat pada huruf yang sukun (mati); memunculkan huruf karena berlebihan memberi harakat; mengulang-ulang huruf ra’; berlebihan membaca huruf nun dalam bacaan ghunnah.   

Kedua, Tartil. tartil adalah cara baca yang digunakan saat diturunkannya al-Qur’an. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an al-Karim: Dan Kami membaca al-Qur’an dengan tartil (Q.S. al-Furqan [25]: 32). Dan bacalah al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan (Q.S. al-Muzzammil [73]: 4). Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai)-nya (Q.S. al-Qiyamah [75]: 16). 

Sayyidina ‘Ali Karramallahu Wajhahu berkata: Tartil adalah membaca huruf sesuai tajwid dan memahami waqaf (tanda baca).

Ibn ‘Abbas RA berkata: Sungguh, membaca satu Surat dengan tartil, lebih saya sukai dibandingkan membaca seluruh al-Qur’an. (Al-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an: 70).

Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri RA yang berkata: Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian itu melihat al-Qur’an sebagai risalah dari Tuhan mereka; lalu mereka mentadabburi al-Qur’an pada malam hari dan mengamalkannya pada siang hari. (Al-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an: 44).

Ulama berkata: Tartil itu disunahkan untuk tadabbur dan selainnya. Para ulama berkata: Disunahkan tartil bagi orang ‘ajam (non-Arab) yang tidak memahami makna al-Qur’an, karena yang demikian itu lebih dekat pada pengagungan dan penghormatan (terhadap al-Qur’an), serta lebih berbekas dalam hati. (Al-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an: 71).

Sebagian ulama berkata: Sedikit yang tenang, lebih baik daripada banyak, tapi terburu-buru. (Dikatakan bahwa ini adalah pernyataan KH. Muhammad Arwani Amin dari Kudus).

Diriwayatkan dari Zaid ibn Tsabit RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah menyukai al-Qur’an dibaca sebagaimana diturunkan (H.R. Ibn Khuzaimah dalam Shahih-nya). Sedangkan Allah SWT memerintahkan tartil kepada Nabi SAW. Allah SWT berfirman: “Dan bacalah al-Qur’an dengan tartil” (Q.S. al-Muzzammil [73]: 4). Ibn ‘Abbas RA berkata: Perjelaslah bacaan (al-Qur’an) dengan jelas. Sedangkan Sayyidina ‘Ali Karramahullahu Wajhahu menafsirkan firman Allah SWT tersebut, bahwa sesungguhnya tartil adalah membaca huruf sesuai tajwid dan memahami waqaf (tanda baca). 

Mujahid berkata: (Tartil adalah) pelan-pelan dalam membaca al-Qur’an.

Sebagian pensyarah kitab al-Jazariyah berpendapat: Sesungguhnya tartil merupakan bagian dari tahqiq menurut mayoritas ulama. Setiap tahqiq adalah tartil, namun bukan sebaliknya. Sebagian ulama membedakan antara keduanya, bahwa sesungguhnya tahqiq untuk melatih lisan dan pembelajaran; sedangkan tartil untuk tadabbur, tafakkur dan istinbath (penggalian hukum).  

Ketiga, Tadwir. Tadwir adalah istilah yang digunakan untuk menyebut cara baca pertengahan, antara posisi tahqiq dan hadar. Ibn al-Jazari berkata dalam kitab al-Nasyr fi al-Qira’at al-‘Asyr: Tadwir adalah cara baca yang diriwayatkan dari kebanyakan imam, dari orang yang meriwayatkan batasan munfashil, namun tidak sampai pada batasan isyba’. Tadwir menjadi madzhab para ahli baca al-Qur’an dan dinilai shahih (berasal) dari seluruh imam. Tadwir adalah cara baca yang dipilih oleh kebanyakan orang yang menyampaikan riwayat bacaan (ahl al-ada’).

Keempat, Hadar. Hadar adalah istilah yang digunakan untuk cara baca yang memasukkan bacaan, mempercepat bacaan dan meringankan bacaan, dengan tetap menjaga hukum-hukum tajwid, seperti bacaan izhhar, idgham, pendek, panjang (madd), berhenti (waqaf), terus (washal), dan lain-lain, serta memperhatikan waqaf yang diperbolehkan.  

Ketahuilah bahwa tiada perbedaan pendapat di kalangan ahli baca al-Qur’an tentang kebolehan membaca al-Qur’an dengan setiap jenis atau empat cara baca di atas, akan tetapi harus sesuai tajwid.

Imam Malik RA ditanya tentang membaca cepat (hadar), lalu beliau menjawab: Di antara manusia itu ada orang yang ketika membaca cepat, maka lebih ringan baginya; dan ketika membaca tartil, justru dia salah (baca). Dalam hal ini, manusia sesuai dengan apa yang ringan baginya; dan yang demikian itu hukumnya luas. Al-Qadhi Abu al-Walid al-Thurthusyi berkata: Makna pernyataan ini adalah, disunahkan bagi setiap manusia untuk membaca al-Qur’an yang sesuai wataknya dan yang mudah baginya. Terkadang memaksakan selain itu, yaitu cara baca yang menyalahi wataknya, maka hal itu terasa berat baginya dan membuatnya terputus dari membaca (al-Qur’an) atau memperbanyak membaca al-Qur’an. Adapun orang yang posisinya setara antara dua hal, maka tartil adalah lebih utama. (Nihayah al-Qaul al-Mufid: 17-20 / Haq al-Tilawah: 63-64).

NB: Materi ini Merupakan Terjemahan Penulis terhadap Materi Kitab Fathul Mannan fi Fadha’il al-Qur’an karya Ustadz Masyhudi Masyhuri.