Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Merawat Persatuan Umat Islam

MERAWAT PERSATUAN UMAT ISLAM

Mari Memperkokoh Persatuan
(foto: darunnajah.com)

Dr. Rosidin, M.Pd.I
www.dialogilmu.com

Di tengah memanasnya situasi umat muslim saat ini, penting bagi umat muslim untuk menjernihkan hati dan menenangkan pikir, melalui tadabbur akhlak Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang dipaparkan Almaghfurlah KH. Ishomuddin Hadziq, cucu Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, dalam kitab beliau yang berjudul Irsyad al-Mu’minin ila Sirah Sayyidi al-Mursalin wa Man Tabi’ahu min al-Shahabah wa al-Tabi’in (Panduan Umat Muslim menuju Sirah Nabi Muhammad SAW dan Pengikut Beliau dari Kalangan Shahabat dan Tabi’in). Berikut ringkasan materi pada kitab tersebut, terkait akhlak lapang dada Nabi SAW dalam menghadapi orang yang berbuat buruk maupun berbuat baik kepada beliau:

Nabi SAW merupakan manusia yang paling lapang dada; tidak pernah membalas kejelekan dengan kejelekan; tidak pernah menyakiti orang lain, meskipun beliau disakiti; tidak pernah memusuhi orang lain; bahkan beliau senantiasa memaafkan orang yang berdosa maupun orang yang berbuat buruk kepada beliau; apalagi jika orang yang teledor tadi adalah orang yang tidak mengerti. Sember akhlak Nabi SAW ini adalah Surat al-A'raf [7]: 199 “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (Q.S. al-A’raf [7]: 199)

Akhlak terpuji ini tercitrakan dalam perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW. Beliau mengajak dan menganjurkan umatnya untuk berakhlak terpuji (lapang dada dan pemaaf) seperti itu. Nabi SAW tidak mudah tersulut api kemarahan, bahkan sifat lapang dadanya lebih dominan daripada sifat marahnya.

Sifat lapang dada Nabi SAW sudah begitu masyhur, sampai-sampai beliau mau memaafkan banyak orang yang pernah menyakiti hati beliau; merusak harga diri beliau; dan mengusir beliau. Antara lain: Ikrimah ibn Abi Jahal, Abu Sufyan ibn al-Harits dan Shafwan ibn Umayyah. Nabi SAW tidak menyakiti satu orang pun di antara mereka, melainkan memaafkan bahkan memberi harta rampasan perang Hawazin kepada mereka demi melunakkan hati mereka. Pada hari kemerdekaan Khaibar, ada seorang wanita Yahudi memberi masakan kikil kambing yang dicampur racun kepada Nabi SAW; beliau mengunyah sepotong daging, kemudian membuangnya setelah mengetahui bahwa daging itu beracun. Basyar ibn al-Barra' RA juga ikut makan daging kambing tersebut dan meninggal dunia seketika itu juga. Selanjutnya Rasulullah SAW berbekam (untuk menghilangkan sisa racun), lalu mencari wanita tadi untuk ditanyai sebab (alasannya) berbuat demikian itu. Wanita itu menjawab: Seandainya dia (Nabi SAW) adalah seorang Nabi, maka racun itu tidak akan membahayakannya; sedangkan jika dia adalah seorang pendusta, maka Allah telah memberi kegembiraan kepada kita (dengan kematiannya). Lalu Nabi SAW memaafkan wanita itu. Demikianlah gambaran dari puncak sikap lapang dada dan pemaaf beliau, kendati beliau mampu untuk membalas perlakuan buruk orang lain.  

Jika ada seseorang berbuat baik kepada Nabi SAW, maka beliau akan memberi balasan yang lebih baik kepada orang tersebut. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Jabir RA pergi bersama Rasulullah SAW dengan menaiki unta milik Jabir RA. Nabi SAW berkata: Juallah untamu kepadaku. Jabir RA berkata: Demi ayah dan ibuku; unta ini aku berikan kepada Anda, wahai Rasulullah. Rasulullah SAW bersabda: Tidak. Juallah untamu kepadaku. Kemudian Jabir RA menjual untanya kepada Rasulullah SAW; dan beliau memerintahkan Bilal untuk membayarnya. Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda kepada Jabir RA: Bawalah uang (hasil penjualan untamu) beserta untamu sekaligus; semoga Allah memberi barakah kepadamu pada keduanya. Jadi, Rasulullah SAW telah membalas perkataan Jabir RA – yaitu: unta ini aku berikan kepada Anda –, dengan cara memberikan uang pembelian (unta) sekaligus untanya; bahkan ditambah dengan doa keberkahan.

Sedangkan mengenai akhlak Nabi SAW terkait persatuan dan persaudaraan, berikut penulis sajikan nukilan materinya dalam kitab Irsyad al-Mu’minin:

Pada masa kecilnya, Rasulullah SAW menyukai para shahabat dan teman-teman beliau seperti halnya mencintai diri sendiri. Beliau tidak pernah bertengkar atau memukul mereka. Bahkan jika salah seorang dari mereka menyakiti beliau, beliau mau memaafkan dan tabah menahan kesakitan. Beliau senantiasa menjaga hak-hak mereka dan bergaul dengan mereka dengan sebaik-baiknya. Memberi arahan mereka kepada sesuatu yang membawa kemaslahatan bagi mereka dan mencegah mereka dari perkara yang tiada berguna. Nabi SAW tidak suka mendengar gunjingan maupun adu domba, bahkan beliau melarang hal itu dengan larangan keras, karena kedua perilaku itu merupakan sebagian dari sebab-sebab terputusnya hubungan persaudaraan. Jika ada seseorang berbicara tentang para shahabat beliau, sedangkan beliau tidak menyukai materi pembicaraannya, maka beliau segera berpaling. Perilaku terpuji ini senantiasa terpatri pada diri Nabi SAW dan berkembang lagi setelah Allah SWT mengutus beliau menjadi Rasul.

Contoh penjagaan Nabi SAW terhadap hak-hak para shahabat beliau adalah Hadits riwayat Ali ibn Abi Thalib RA bahwa Nabi SAW bersabda: Allah mengasihi Abu Bakar; dia telah menikahkan aku dengan puterinya; membawaku ke tempat hijrah; memerdekakan Bilal dengan menggunakan uangnya sendiri; tidak ada harta yang manfaatnya bagiku dalam Islam seperti manfaat yang diberikan oleh harta Abu Bakar. Abdullah ibn 'Amr ibn 'Ash RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: Sebaik-baik shahabat di sisi Allah adalah sebaik-baik mereka terhadap shahabatnya. Sebaik-baik tetangga adalah sebaik-baik mereka terhadap tetangganya.

Rasulullah SAW menyukai persaudaraan dan persatuan; membenci terputusnya persaudaraan dan perpecahan. Anas ibn Malik RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kalian saling memutuskan (tali silaturrahim); saling berpaling; saling membenci; dan saling iri hati. Jadilah kalian semua sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Orang muslim tidak halal mendiamkan (nyatru) saudaranya di atas tiga hari. Nabi SAW telah mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, sehingga persaudaraan di antara mereka melebihi persaudaraan melalui ikatan nasab. Rasulullah SAW telah mempersaudarakan antara Abu Bakar al-Shiddiq dengan Kharijah ibn Zuhair; Ja’far ibn Abi Thalib dengan Mu’adz ibn Jabbal; Umar ibn Khaththab dengan ‘Utban ibn Malik; Abdurrahman ibn ‘Auf dengan Sa’d ibn al-Rabi' RA. Bahkan Rasulullah SAW memutuskan bahwa mereka boleh saling mewarisi harta benda masing-masing, hingga turunlah ayat:  Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. (Q.S. al-Anfal [8]: 75). 

Kendati kebolehan saling mewarisi di antara para shahabat tadi dinasakh atau dihapus hukumnya; akan tetapi persaudaraan Islami tetap kokoh, sehingga penghapusan hukum saling mewarisi tersebut tidak merusak persaudaraan dan persatuan di antara mereka sedikitpun; bahkan kaum muslimin saat itu seperti anggota tubuh seseorang, jika salah satu anggota merasa sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakan sakit dan tidak bisa tidur.

Demikian nukilan penulis dari kitab Irsyad al-Mu’minin yang penting untuk ditelaah kembali dan diamalkan sepenuh hati oleh segenap umat muslim; mengingat akhir-akhir ini persatuan dan kesatuan umat muslim mendapatkan serangan bertubi-tubi. Harapannya, umat muslim tidak mudah terprovokasi, di tengah gencarnya arus informasi saat ini.