Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tips Pernikahan Perspektif al-Qur'an

TIPS PERNIKAHAN QUR’ANI

Pernikahan sebagai Tangga Menuju Surga
(foto: umroh.com)

Tips pernikahan Qur’ani dalam tulisan ini didasarkan pada tafsir pendidikan (tafsir tarbawi) yang terkandung pada Surat al-Nisa’ [4]: 25. Fankihuuhunna bi idzni ahlihinna wa aatuuhunna ujuurahunna bil-ma’ruufi muhshanaatin ghaira musaafihaatin wa laa muttakhidzaati akhdaan; Karena itu, nikahilah mereka dengan seizin keluarga mereka, dan berilah mahar mereka dengan ma’ruf, sedang mereka wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya (Q.S. al-Nisa’ [4]: 25).

Pertama, Fankihuuhunna

Dalam bahasa Arab, kata nikah berarti penggabungan. Penggabungan identik dengan perpaduan antara dua hal yang berbeda, namun memiliki kecocokan satu sama lain. Misalnya, gembok dengan anak kunci. Oleh sebab itu, ikatan antara laki-laki dengan laki-laki (gay) atau wanita dengan wanita (lesbi), tidak wajar disebut pernikahan. Ini dari segi fisik-biologis.

Dari segi ruhani-psikologis, pernikahan seharusnya dibangun di atas pondasi yang kokoh dari aspek kecocokan. Untuk itu, Islam mengajarkan kriteria “kufu” (sederajat). Misalnya, dari segi agama, harus sama-sama Islam. Jangankan agama yang berbeda, aliran atau organisasi agama yang berbeda saja berpotensi menimbulkan polemik dalam rumah tangga, karena terdapat ketidak-cocokkan. Ambil contoh, istri berafiliasi dengan NU yang senang ziarah kubur, membaca Yasin untuk ahli kubur hingga membaca qunut saat shalat Shubuh, sedangkan suami berafiliasi dengan Muhammadiyah yang tidak mau melakukan itu semua. Tentu yang demikian ini berpotensi menimbulkan ketidak-cocokkan.

Demikian halnya, istri yang terbiasa naik taksi, karena tergolong konglomerat; tidak kufu saat menikahi suami yang terbiasa naik angkot, karena tergolong melarat. Jadi, drama-drama ala sinetron FTV yang begitu mudah memasangkan wanita kaya dengan laki-laki miskin dalam ikatan pernikahan, tidak mudah terjadi dalam realita yang sesungguhnya.

Kedua, Bi idzni ahlihinna 

Pernikahan itu seharusnya direstui oleh wali atau kedua orangtua. Izin orangtua itu sangat penting dalam konteks pernikahan, karena pernikahan bukanlah “lari jarak pendek”, melainkan “lari maraton”. Artinya, pernikahan bukan perjalanan dekat dan singkat, melainkan perjalanan jauh dan lama, sehingga pasti akan terjadi pasang-surut. Itulah mengapa Rasulullah SAW mengajarkan doa: Baarakallahu laka wa Baaraka ‘alaika, wa jama’a bainakumaa fii khairin; Semoga Allah memberikahimu (saat bahagia), dan Allah memberkahimu (saat sedih), serta menghimpun kalian berdua dalam kebaikan.

Paling tidak, peran orangtua sangat dibutuhkan saat kondisi rumah tangga dalam kondisi surut atau terpuruk; baik dari aspek finansial maupun emosional. Orangtua dapat menjadi tempat curhat terpercaya, bahkan tidak jarang memberi bantuan yang benar-benar solutif atas problem rumah tangga yang sedang dihadapi. Misalnya, membuatkan rumah tempat tinggal, sehingga si anak tidak harus menjadi “kontraktor”, alias kontrak rumah di sana-sini secara terus-menerus.

Salah satu penyebab tidak adanya izin orangtua adalah sikap egoisme. Orangtua dan anak sama-sama bersikap egois dalam memaksakan kehendaknya, sehingga tidak pernah menghasilkan titik temu. Alternatif solusinya, orangtua perlu menurunkan standar calon pasangan anak; sedangkan anak perlu menaikkan kriteria sesuai standar orangtuanya, sehingga keduanya bertemu pada satu titik. Ibarat seorang penjual yang rela menurunkan harga yang ditawarkan, sedangkan pembeli rela menaikkan harga tawarannya, sehingga kedua belah pihak sama-sama puas.

Ketiga, Wa aatuuhunna ujuurahunna bil-ma’rufi 

Mahar atau maskawin itu seharusnya bersifat fisik-material, karena ada ketentuan Fikih bahwa suami-istri yang bercerai, tanpa sempat berhubungan badan, maka mahar harus dibagi dua. Setengah untuk pihak istri dan setengah untuk pihak suami. Itulah mengapa, mahar itu jangan hanya berupa “hafalan atau mengajar al-Qur’an” yang bersifat non-fisik, apalagi maharnya hanya bacaan “Basmalah”. Kendati yang demikian itu hukumnya tetap diperbolehkan.

Di sisi lain, al-Qur’an menyebut mahar dengan istilah “shaduqaatihinna” (Q.S. al-Nisa’ [4]: 4) yang mengisyaratkan bahwa mahar merupakan bukti kesungguhan hati seorang calon suami untuk mempersunting calon istrinya. Lebih dari itu, mahar adalah simbol kesiapan calon suami untuk memberi nafkah lahir dan batin kepada calon istri saat berumah-tangga. Atas dasar itu, jika suami sudah tidak bertanggung-jawab memberi nafkah lahir dan batin kepada istri, sah-sah saja sang istri mengajukan gugatan cerai. 

Jadi, mahar bukanlah “harga” calon istri, karena istri bukanlah hak milik suami. Indikatornya, istri tidak boleh diperjual-belikan oleh suami layaknya barang dagangan. Seandainya istri itu hak milik suami, tentu sah-sah saja memperjual-belikannya. Demikian halnya, istri tidak boleh diperlakukan semena-mena oleh suami, apalagi hingga terjadi KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), seperti pemukulan hingga penyiksaan kepada istri.    

Keempat, Muhshanaatin

Muhshan berarti “keterjagaan harga diri (citra) seseorang yang dapat dilihat oleh orang lain”. Artinya, banyak orang yang mengakui bahwa wanita atau laki-laki yang akan menikah itu orang yang baik. Mirip seperti sebuah restoran. Semakin banyak orang yang memberi testimoni (persaksian) bahwa suatu restoran itu bagus dan terbukti dengan banyaknya pelanggan yang antri setiap hari; maka semakin jelas bahwa restoran itu memang berkualitas.

Dari sini Islam mengajarkan agar umat muslim selektif dalam memilih jodoh. Kriteria primernya adalah ketaatan beragama dan kedewasaan dalam berpikir, bersikap maupun bertindak. Di antara alasannya adalah rumah tangga itu dipenuhi dengan lika-liku yang hanya dapat diselesaikan, apabila suami dan istri sama-sama memiliki ketaatan beragama dan kedewasaan. Tanpa keduanya, rumah tangga rentan terhempas badai kehidupan.

Kelima, Ghaira Musaafihaatin wa Laa Muttakhidzati Akhdaan 

Musaafihaat berasal dari akar kata sifah yang berarti mengalirkan. Redaksi ini mengisyaratkan bahwa tujuan pernikahan bukanlah “tukar-menukar cairan” atau “mengalirkan cairan”. Jika motivasi seseorang menikah hanyalah memenuhi kebutuhan biologis, maka dia rentan sekali untuk melakukan perceraian, poligami hingga perselingkuhan; karena di otaknya hanya terbersit keinginan mengalirkan cairan (nafsu seksual). Termasuk kategori ini adalah orang yang melakukan perzinahan (prostitusi), karena hanya sekedar bertujuan mengalirkan cairan.  

Akhdaan merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut “teman dalam perbuatan tercela”. Jadi, redaksi ini mencakup banyak aspek: 
  • (a) menikah dengan seseorang yang diyakini dapat membantunya melakukan perbuatan tercela. Misalnya, pengedar narkoba menikahi bandar narkoba. Hubungan ini mirip kasus Abu Lahab dan istrinya yang saling bekerjasama dalam berbuat keburukan. 
  • (b) menjalin hubungan dengan lawan jenis, tanpa disertai ikatan pernikahan. Misalnya, berpacaran hingga kumpul kebo (berzina); 
  • (c) menjalin hubungan di luar ikatan pernikahan. Misalnya, berselingkuh hingga memiliki suami atau istri simpanan. Termasuk siapapun yang berstatus sebagai pelakor atau pebinor yang merebut suami atau istri orang lain.