Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Wisata Kuliner dalam Pandangan Syariat

Kuliner Halal

Kemudahan sarana dan prasarana transportasi berperan signifikan terhadap laju traveling sebagai gaya hidup generasi kekinian. Masyarakat berbondong-bondong untuk melakukan traveling ke tempat-tempat wisata domestik bahkan internasional. Efek lanjut dari traveling adalah wisata kuliner. Hampir semua traveler, berminat dan antusias untuk mencicipi kuliner khas tempat-tempat wisata yang mereka kunjungi. Sayangnya, demi memenuhi kepuasan selera makan, kerap kali status kehalalan makanan diabaikan. Oleh sebab itu, agar berwisata kuliner tidak sekedar menuruti selera makan, dibutuhkan wawasan tentang aturan-aturan syariat Islam yang relevan.

Sesungguhnya, aturan-aturan syariat Islam terkait kuliner, dapat dilacak dengan menelaah ayat-ayat al-Qur’an yang memuat terma “akala” (makan) dan derivasinya yang disebutkan 109 kali dalam 101 ayat. Berikut ini sejumlah aturan syariat berkuliner berdasarkan data ayat-ayat al-Qur’an, dengan didukung Hadis dan hasil ijtihad ulama:

Pertama, makanan yang dikonsumsi merupakan hasil pekerjaan yang halal, seperti jual beli; bukan hasil pekerjaan yang haram, seperti riba.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta di antara kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan atas dasar suka sama-suka di antara kamu (Q.S. al-Nisa’ [4]: 29).

Dalam ekonomi Syariah dijelaskan kategori pekerjaan yang diharamkan. Misalnya pekerjaan yang mengandung unsur negatif yang disingkat dengan istilah MaGhRiB, yaitu: a) Maisir (perjudian); b) Gharar (penipuan); c) Riba (bunga); d) Bathil (kemaksiatan).

Kedua, menyebut asma Allah ketika makan.
Maka makanlah binatang-binatang (halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya (Q.S. al-An’am [6]: 118).

Jika dikaitkan dengan keterangan Hadis dan hasil ijtihad ulama, ayat di atas terkait aspek ibadah dalam kuliner. Wujudnya adalah: a) Niat makan agar memperoleh energi untuk beribadah kepada Allah SWT; b) Membaca Basmalah sebelum makan dan Hamdalah sesudah makan. Sebaiknya dibaca secara keras (jahr), agar mengingatkan orang lain yang sedang makan. Lebih utama lagi jika dilengkapi dengan membaca doa sebelum makan yang didasarkan pada Hadis dalam al-Muwaththa’ dan Musnad Ahmad:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْمَا رَزَقْتَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Allahumma Barik Lana, fi-ma Razaqtana, wa-Qina ‘Adzaban-Nar.
Ya Allah, mohon anugerahkanlah kami keberkahan di dalam sesuatu yang telah Engkau rezekikan kepada kami dan peliharalah kami dari siksa api neraka.

Serta doa sesudah makan yang didasarkan pada Hadis dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan al-Tirmidzi berikut:
Alhamdulillahil-ladzi Ath’amana wa Saqana wa Ja’alana minal-Muslimin.
الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي أَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَجَعَلَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah menganugerahkan makan dan minum kepada kami; serta telah menjadikan kami sebagai orang-orang muslim.

Bahkan Imam al-Ghazali menyarankan agar berwudhu sebelum makan, sesuai dengan riwayat Hadis, “Wudhu sebelum makan dapat menghilangkan kefakiran”. Seandainya tidak sempat berwudhu, setidak-tidaknya orang yang hendak makan, disarankan secara medis agar mencuci tangan terlebih dahulu.

Ketiga, makanan berstatus halal dan thayyib.
Dan makanlah makanan yang halal lagi thayyib, dari apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu (Q.S. al-Ma’idah [5]: 88).

Merujuk pada keterangan dalam al-Fiqh al-Islamy karya Wahbah al-Zuhaily, ada dua kategori makanan yang dikonsumsi manusia:
  • Binatang.
Binatang terbagi menjadi dua kategori: a) Binatang laut. Misalnya, semua jenis ikan dihukumi halal; b) Binatang darat. Surat al-Ma’idah [6]: 3 menjelaskan contoh-contoh binatang darat yang diharamkan, yaitu bangkai; darah; babi; binatang yang disembelih bukan atas nama Allah SWT; binatang yang tercekik, jatuh, ditanduk dan diterkam binatang buas, kecuali jika keempat jenis binatang ini masih memiliki nyawa dan sempat disembelih sesuai aturan syariat, maka hukumnya menjadi halal. Kategori lain dari binatang yang diharamkan adalah binatang buas, seperti singa; binatang melata yang kecil, seperti semut; binatang yang lahir dari pasangan binatang yang halal dimakan dengan binatang yang haram dimakan, seperti bighal yang lahir dari pasangan kuda (halal) dengan keledai (haram). Di luar itu, mayoritas binatang dihukumi halal, misalnya: binatang ternak (sapi, kambing, unta); ayam, bebek, kelinci, hingga burung merpati.
  • Non-binatang, seperti benda dan tumbuhan. 
Benda dan tumbuhan dihukumi halal, selama tidak mengandung tiga hal: a) Najis, seperti darah; atau terkena najis (mutanajis), seperti air susu yang bercampur bangkai; b) Memabukkan, seperti arak dan narkotika; c) Membahayakan, seperti racun, sperma, kaca, tanah hingga batu.

Adapun hubungan antara halal dan thayyib adalah: Halal terkait kebaikan makanan dari aspek ruhani, sedangkan thayyib terkait kebaikan makanan dari aspek jasmani. Misalnya, apel hasil jual beli dan hasil curian, dinilai sama-sama thayyib, yaitu sama-sama bermanfaat bagi jasmani, karena sama-sama mengandung vitamin; akan tetapi, hanya apel hasil jual beli yang bermanfaat bagi ruhani, karena berstatus halal; sebaliknya, apel hasil curian berdampak buruk bagi ruhani, karena berstatus haram.

Status halal dan thayyib sama-sama penting untuk dipenuhi. Apabila makanan tidak halal, maka dapat menimbulkan penyakit ruhani. Misalnya, mengonsumsi makanan hasil curian dapat menimbulkan gelapnya hati, sehingga membuatnya tega mengambil hak-hak orang lain tanpa perasaan berdosa. Sedangkan apabila makanan tidak thayyib, maka dapat menimbulkan penyakit jasmani. Misalnya, mengonsumsi makanan kedaluwarsa, dapat menimbulkan penyakit jasmani, seperti keracunan.  

Keempat, makanan berstatus lezat (hani’a) dan berdampak positif (mari’a).
Maka makanlah pemberian itu (sebagai makanan) yang lezat lagi baik akibatnya (Q.S. al-Nisa’ [4]: 4).

Dalam Tafsir Ibn ‘Asyur disebutkan bahwa pengertian hani’a adalah terasa lezat; sedangkan mari’a berarti berdampak positif; baik ketika di dunia, lebih-lebih di akhirat. Dari sini dapat dipahami bahwa wisata kuliner tidak hanya sekedar mengejar kelezatan makanan, melainkan juga mempertimbangkan dampaknya di masa depan, baik di dunia maupun akhirat. Misalnya, banyak makanan yang lezat, namun mengandung kolestrol yang berbahaya bagi tubuh manusia. Ini adalah contoh makanan yang hani’a, namun tidak mari’a. Sebaliknya, mengonsumsi jamu yang pahit merupakan contoh makanan yang memenuhi kriteria mari’a, namun tidak memenuhi kriteria hani’a.

Kelima, tidak mengonsumsi makanan secara berlebihan (israf).

Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (Q.S. al-A’raf [7]: 31).

Salah satu makna israf menurut Tafsir al-Mawardi adalah mengonsumsi makanan hingga kekenyangan. Padahal Nabi SAW mengajarkan umat muslim agar menyedikitkan makanan dan menghindari kekenyangan. Sebuah slogan kuliner umat muslim yang populer adalah, “tidak makan sebelum merasa lapar dan berhenti makan sebelum kenyang”. Di antara hikmahnya adalah rasa lapar menyebabkan makanan terasa lebih lezat ketika dikonsumsi, sehingga menambah rasa syukur; sedangkan kekenyangan menyebabkan kerasnya hati dan berat untuk menjalani ibadah. Anjuran berpuasa merupakan contoh konkret ajaran Islam yang menekankan pentingnya rasa lapar, sekaligus larangan kekenyangan ketika berbuka puasa.

Jika israf terkait dengan berlebihan dari aspek kuantitas (jumlah), bandingannya adalah mubadzir yang terkait dengan berlebihan dari aspek kualitas (mutu).

Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya (Q.S. al-Isra’ [17]: 26-27).

Contoh perilaku mubadzir adalah mengonsumsi makanan hanya atas dasar prestise. Seperti makan di restoran-restoran mahal, hanya agar dipandang sebagai masyarakat elit. Padahal biaya makan yang mahal tersebut, dapat dioptimalkan untuk berbagi makan kepada orang lain. Apalagi Islam mengajarkan bahwa makanan terbaik adalah makanan yang dikonsumsi bersama-sama orang banyak. Semakin banyak orang yang ikut makan, semakin baik pula makanan tersebut. Anas RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah makan sendirian. Rasulullah SAW pun mengajarkan agar memperbanyak kuah sayur, agar dapat dibagi-bagi kepada para tetangga. Dengan demikian, apabila seseorang menghindari perilaku israf dan mubadzir, maka dia dapat memaksimalkan fungsi sosial dari berkuliner. Artinya, wisata kuliner bukan sekedar memfasilitasi selera pribadi, melainkan juga dapat mendukung solidaritas dan kesejahteraan sosial.

Di samping panduan di atas, terdapat sejumlah etika berkuliner yang disunahkan dalam Islam. Pertama, Makan memakai tangan kanan. Kedua, menyedikitkan genggaman makanan, semisal makan dengan tiga jari yang setara dengan satu sendok makan. Ketiga, mengunyah makanan dengan baik. Keempat, Tidak mengambil makanan lain hingga menelan makanan yang sebelumnya. Kelima, Tidak mencela makanan. Nabi SAW tidak pernah mencela makanan; jika berkenan, maka beliau makan; dan jika tidak berkenan, maka beliau meninggalkannya. Keenam, Tidak meniup makanan atau minuman yang panas. Ketujuh, Ketika makan buah-buahan, hendaknya dalam jumlah ganjil. Kedelapan, Ketika minum, setidaknya dihabiskan dengan tiga kali menghela nafas. Kesembilan, Ketika makan bersama banyak orang, maka bersabar untuk memberi kesempatan orang yang lebih senior agar makan terlebih dahulu, kecuali jika statusnya adalah tokoh masyarakat.

Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Singosari, 14 September 2017
Rosidin