Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Istiqamah dalam Pandangan Hadis Tarbawi

Rosidin
http://www.dialogilmu.com

Hadis seringkali memberikan penjelasan operasional dari al-Qur’an, baik melalui perkataan, perbuatan maupun ketetapan Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, penting bagi umat muslim untuk memahami Hadis dengan sebaik-baiknya. Dalam konteks ini, diperlukan sebuah model telaah Hadis yang memadai. Model telaah Hadis yang penulis tawarkan di sini mengacu pada lima pendekatan yang dijadikan sebagai pisau analisis ketika mengkaji sebuah Hadis, yaitu: Pendekatan linguistik, pendekatan tafsir al-Qur’an tematik, pendekatan syarah Hadis, pendekatan ilmu-ilmu PAI dan non-PAI yang relevan, serta pendekatan Hadis Tarbawi [Hadis ditinjau dari segi ilmu pendidikan].

Gambar 1
Argumentasi penulis adalah: Pertama, Hadis sarat dengan muatan sastra tingkat tinggi, hanya sastra al-Qur’an yang melampaui kandungan sastra Hadis. Oleh sebab itu, menarik untuk mengkaji Hadis dari analisis linguistik. Kedua, Hadis berhubungan erat dengan al-Qur’an, sehingga isi kandungan Hadis dapat dikonfirmasi melalui telaah Tafsir al-Qur’an tematik. Ketiga, Hadis sudah banyak dijelaskan oleh para ulama. Itulah mengapa khazanah tersebut harus dioptimalkan sebagai bagian dari analisis Hadis. Keempat, agar Hadis menjadi Living Sunnah [Hadis yang mengaktual dalam kehidupan sehari-hari], maka diperlukan telaah dari perspektif rumpun ilmu PAI maupun non-PAI yang relevan, terutama merujuk pada teori-teori ter-update. Manfaatnya adalah memberikan pemaknaan yang segar terhadap Hadis agar lebih lekat dengan konteks kehidupan masa kini. Kelima, al-Qur’an dan Hadis sudah pasti memiliki nilai-nilai pendidikan yang dapat diekstrak melalui analisis Hadis Tarbawi.

BAHASAN

Berikut adalah Hadis yang membahas tentang istiqamah:
Abu Amr, –ada juga yang menyebut–: Abu ‘Amrah, Sufyan bin Abdillah al-Tsaqafi RA berkata: “Saya berkata: “Wahai Rasulullah SAW, mohon beritahukan kepadaku suatu pernyataan tentang Islam yang  tidak akan  saya tanyakan lagi kepada siapapun selain engkau”. Nabi SAW bersabda: “Katakanlah: Saya beriman kepada Allah, kemudian bersikap istiqamah-lah”. (HR. Muslim).

1. Analisis Linguistik

Kata istiqâmah berasal dari akar kata qâma-yaqûmu-qiyâman. Kata ini setidaknya memiliki tiga makna dasar, yaitu: tekad (‘azîmah), penjagaan (murâ’ah) dan ketetapan (mutsbit). Ketiga makna ini dapat diaplikasikan pada kata (aqâma-yuqîmu) semisal dalam redaksi “aqîmû al-shalat” yang berarti tekad kuat untuk melaksanakan shalat; memenuhi [menjaga] syarat dan rukun shalat; serta terus-menerus [tetap] mendirikan shalat. Selanjutnya ketiga makna tersebut tetap melekat ketika mendefinisikan kata istiqâmah. Selain itu, Istiqamah hanya digunakan untuk menyebut jalan yang lurus (shirât al-mustaqîm) atau jalan kebenaran. Dari sini dapat dirumuskan pengertian Istiqamah secara linguistik, yaitu Tekad, Tetap dan Tepat.

Tekad menyangkut keinginan kuat seseorang untuk bersikap istiqamah. Tetap menyangkut konsistensi menjalani aktivitas yang menjadi objek istiqamah, meskipun dari segi waktu maupun tempat tidak musti harus tetap. Sedangkan Tepat menyangkut aspek keabsahan objek istiqamah. Oleh sebab itu, tidak ada istilah ‘istiqamah mencuri’, karena istiqamah hanya digunakan untuk aktivitas-aktivitas dalam konotasi positif, sedangkan dalam konotasi negatif, istilah yang lebih tepat adalah Ishrâr (terus-menerus).

Gambar 2

2. Analisis Tafsir al-Qur’an Tematik

Dengan entri kata qawama yang merupakan bentuk asli dari kata qâma, penulis mendapati bahwa kata qawama disebutkan sebanyak 660 kali dalam 597 ayat. Jika dikerucutkan lagi, kata Istiqamah dan bentukannya disebut sebanyak 10 kali dalam 9 ayat dengan perincian berikut:


  1. Kata istaqâmû disebut 4 kali dalam Surat al-Jin: 16 [Makkiyah / 40], Surat al-Ahqaf: 13 [Makkiyah / 66], Surat Fushshilat: 30 [Makkiyah / 75] dan Surat al-Taubah: 7 [Madaniyah  114]
  2. Kata yastaqîmu disebut 1 kali dalam Surat al-Takwir: 28 [Makkiyah / 7]
  3. Kata istaqim disebut 2 kali dalam Surat Hud: 112 [Makkiyah / 52] dan Surat al-Syura: 15 [Makkiyah / 62]
  4. Kata istaqîmâ disebut 1 kali dalam Surat Yunus 89 [Makkiyah / 51]
  5. Kata istaqîmû disebut 2 kali dalam Surat Fushshilat: 6 [Makkiyah / 75] dan Surat al-Taubah: 7 [Madaniyah / 114]
Menarik untuk menyimak bahwa kata Istiqamah yang pertama kali muncul dalam Surat al-Takwir: 28 menunjukkan signifikansi al-Qur’an sebagai al-Dzikr [pengingat sekaligus peringatan] bagi siapapun yang ingin bersikap istiqamah. Lebih dari itu, perpaduan Surat al-Takwir: 27-29 memberikan kesan signifikansi ikhtiar dari manusia dan Iradah dari Allah SWT agar seseorang dapat bersikap istiqamah.

Perintah istiqamah selalu dikaitkan dengan redaksi “kamâ umirta” yang berarti sebagaimana diperintahkan kepadamu [Q.S. Hud: 112 dan Q.S. al-Syura: 15] yang mengisyaratkan bahwa acuan istiqamah adalah ajaran Islam atau al-Qur’an yang telah disyariatkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Di antara sikap yang diprioritaskan sebagai pendamping sikap istiqamah adalah taubat [Q.S. Hud: 112], khususnya melalui istighfar [Q.S. Fushshilat: 6].

Selain itu, setidaknya ada 4 sikap yang dilarang terkait sikap istiqamah: Pertama, larangan untuk bersikap ekstrim [Q.S. Hud: 112]. Kedua, larangan mengikuti hawa nafsu [Q.S. al-Syura: 15]. Ketiga, larangan mengikuti jalan orang-orang yang tidak berilmu [Q.S. Yunus: 89]. Keempat, larangan bersikap aniaya atau zhalim kepada orang lain [Q.S. al-Taubah: 7].

Gambar 3

Sudah jelas kiranya mengapa keempat hal tersebut dilarang. Menurut penulis, argumentasinya adalah: Pertama, tantangan untuk bersikap istiqamah adalah kecenderungan seseorang untuk bersikap ekstrim –baik dalam kutub positif maupun kutub negatif–. Misalnya: sehari membaca al-Qur’an sebanyak 10 juz, kemudian esoknya tidak membaca al-Qur’an sama sekali. Dari sini berlaku hukum, 1 x 5 adalah lebih baik daripada 5 x 1. Misalnya, membaca al-Qur’an 1 halaman selama 5 hari adalah lebih baik daripada membaca al-Qur’an 5 halaman dalam sehari saja, kemudian hari berikutnya tidak membaca al-Qur’an. Kedua, hawa nafsu terus-menerus menggoda sikap istiqamah seseorang. Misalnya: hawa nafsu membelokkan niatan istiqamah yang semula selalu berada dalam jalan kebenaran (Shirât al-Mustaqîm), berbelok menuju jalan kesesatan (Subul al-Syayâthîn). Ketiga, istiqamah sulit terwujud tanpa dilandasi ilmu pengetahuan. Misalnya: tanpa memperhatikan kesehatan sebagaimana yang disarankan oleh ilmu pengetahuan medis, kerap kali menyebab- kan seseorang jatuh sakit sehingga tidak lagi dapat menjalani aktivitas yang sudah dilakukan secara istiqamah. Keempat, perilaku aniaya atau zhalim menyebabkan istiqamah keluar dari jalur kebenaran, karena kezhaliman senantiasa menyangkut perilaku yang tidak pada tempatnya. Misalnya: istiqamah ibadah di masjid, namun melalaikan kewajiban memberi nafkah kepada keluarga.

Apabila seseorang mampu memaksimalkan faktor pendukung sikap istiqamah serta meminimalkan faktor penghalang sikap istiqamah, niscaya seseorang dapat melakukan istiqamah. Selanjutnya dia akan meraih sejumlah manfaat dari sikap istiqamah, antara lain: memperoleh rezeki yang melimpah nan berkah layaknya air hujan yang segar [Q.S. al-Jin: 16]; meraih ketengan psikologis, karena tidak merasa khawatir menyongsong masa sekarang dan masa depan (khauf) serta tidak bersedih hati (menyalahkan) masa lalu [Q.S. al-Ahqaf: 13-14) karena malaikat telah mengelilingi kehidupannya; serta dijanjikan mendapatkan surga di akhirat [Q.S. Fushshilat: 30].

Gambar 4

3. Analisis Syarah Hadis

Dalam Syarah Muslim karya Imam Nawawi dikutipkan pendapat al-Qadhi ‘Iyadh yang memaknai istiqamah sebagai perintah untuk tidak menyimpang dari Tauhid dan menetapi ketaatan kepada Allah SWT dengan memenuhi syarat-syaratnya. Imam Nawawi juga menukil pendapat Abu al-Qasim al-Qusyairi yang menyatakan bahwa istiqamah merupakan kualitas yang menunjukkan kesempurnaan dan kelengkapan sesuatu; dengan adanya istiqamah, kebaikan-kebaikan dapat dicapai. Barangsiapa tidak bersikap istiqamah, maka dia akan menyia-nyiakan kehidupannya dan kerja kerasnya. Al-Wasithi menyatakan bahwa istiqamah adalah sikap yang dengannya, kebaikan-kebaikan tampak sempurna; dan tanpanya, kebaikan-kebaikan terasa kurang. Contoh: pesepakbola yang ‘istiqamah’ bermain selama bertahun-tahun, maka skill pesepakbola tersebut akan semakin lengkap dan sempurna. Demikian halnya orang yang istiqamah shalat, maka kualitas shalatnya akan semakin lengkap dan sempurna.

4. Analisis Ilmu PAI dan Non-PAI

Matematika merupakan simbol puncak dari sikap istiqamah. Sejak dulu, kini hingga kelak, perhitungan 1 + 1 = 2 akan tetap berlaku secara istiqamah. Di bawah itu adalah Sunnatullah [hukum-hukum Allah SWT yang berlaku di alam semesta], misalnya: hukum gravitasi berlaku istiqamah, sehingga ketika seseorang melemparkan benda ke atas, orang tersebut yakin –walau bisa jadi tidak seyakin 1 + 1 = 2– bahwa benda tersebut akan jatuh kembali ke tanah. Demikian juga, fajar dan matahari secara istiqamah terbit setiap awal hari. Ini semua adalah contoh istiqamah dalam konteks rumpun Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Bahkan metodologi penelitian memberikan kita analogi yang ‘sempurna’ untuk memaknai Istiqamah, yaitu Valid dan Reliabel. Istiqamah disebut Valid karena selalu terkait dengan kebenaran; dan disebut Reliabel karena selalu terkait dengan keajekan.

Dalam rumpun Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), istiqamah dapat dikaitkan dengan Ilmu Manajemen, khususnya Manajemen Waktu. Tanpa adanya manajemen waktu yang unggul, sulit sekali untuk beristiqamah. Berbekal Manajemen Waktu, seseorang dapat membuat rancangan kegiatan setiap hari, sehingga lebih memungkinkan baginya untuk melakukan suatu aktivitas tertentu secara istiqamah. Dalam konteks ini, istiqamah lebih mudah jika seseorang ‘menyediakan waktu’,  bukan ‘menyisakan waktu’. Contoh: Sulit sekali untuk istiqamah shalat berjama’ah di awal waktu, jika manajemen waktu seseorang bergonta-ganti.

Terkait rumpun Pendidikan Agama Islam [PAI], Fikih Prioritas merupakan sub-disiplin ilmu yang berkenaan dengan istiqamah. Artinya, istiqamah itu harus didasarkan pada skala prioritas menurut ukuran Fikih Prioritas. Dengan demikian, yang paling penting untuk dikerjakan secara istiqamah adalah aktivitas-aktivitas yang sifatnya Fardhu ‘Ain, misalnya shalat lima waktu, sekolah intra atau bekerja; kemudian aktivitas-aktivitas yang sifatnya Fardhu Kifayah, misalnya memberi nasihat kepada orang lain melalui dakwah bi al-lisân [via oral] maupun dakwah bi al-qalam [via tulisan]. Setelah itu aktivitas yang hukumnya Sunnah Muakkad, misalnya shalat Tahajjud, mengikuti ekstra kurikuler atau pekerjaan sampingan. Kemudian dilanjutkan aktivitas yang berstatus Sunnah Ghairu Muakkad, seperti puasa senin-kamis, dan sebagainya.

5. Analisis Hadis Tarbawi

Mendidikkan sikap istiqamah merupakan suatu tantangan tersendiri. Penulis mengusulkan tiga metode pendidikan yang dinyatakan oleh Ibn Miskawaih dalam konteks menginternalisasi akhlak ke dalam jiwa seseorang. Pertama, metode al-‘Âdat wa al-Jihâd. Metode ini terkait pembiasaan yang dilakukan sungguh-sungguh. Berbekal metode ini, sikap istiqamah dapat dipelajari secara bertahap, mulai dari level sederhana hingga level excellent (lengkap dan sempurna).  Kedua, metode Uswah [keteladanan]. Metode ini menempatkan figur-figur ideal sebagai teladan sikap istiqamah, mulai dari figur paling ideal –yakni Rasulullah SAW sebagai insan kamil, manusia paripurna– hingga figur ideal yang berada di sekitar seseorang, mungkin guru, orang tua, senior, junior bahkan dunia flora-fauna yang biotik maupun benda-benda abiotik semodel batu, dapat dijadikan sebagai teladan sikap istiqamah. Ketiga, metode pembiasaan. Ketiga, metode Muhâsabah [instropeksi diri], selalu berusaha meneliti kelemahan diri untuk kemudian diminimalkan, dan berusaha meneliti kelebihan diri untuk kemudian dimaksimalkan.

Gambar 5
Metode lain yang patut dilibatkan untuk internalisasi sikap istiqamah adalah metode al-Targhîb wa al-Tarhîb. Metode ini terkait dimensi kognitif [akal] yang membuat seseorang menyadari secara rasional tentang dampak positif maupun negatif dari sikap istiqamah. Wallahu A’lam bi al-Shawâb.