Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendidikan Islam versus Pendidikan Barat

Dr. Rosidin, M.Pd.I




Pendidikan Islam memiliki tiga keunggulan mendasar dibandingkan pendidikan Barat. 

Pertama, keunggulan aspek fondasional. Fondasi pendidikan Islam sudah tersedia sejak awal, yaitu al-Qur’an dan Hadis yang dapat diibaratkan sebagai manual book yang memuat gagasan pokok pendidikan Islam.

Misalnya al-Qur’an menjelaskan metode pendidikan Nabi SAW adalah Tilâwah, Tazkiyyah dan Ta’lîm. Tugas pakar pendidikan Islam adalah mengelaborasi gagasan tersebut ke dalam teori dan praktik pendidikan. Lain halnya dengan pendidikan Barat yang basis fondasionalnya harus dicari dan dikonstruksi terlebih dahulu melalui proses riset rasional dan empiris; baru kemudian dielaborasi ke dalam teori dan praktik pendidikan.


Ringkasnya, pendidikan Islam sudah memiliki “pondasi” yang siap pakai, sehingga tugas pakar pendidikan Islam tinggal mengonstruksi “rumah” yang selaras dengan pondasi tersebut. Sedangkan pendidikan Barat belum memiliki “pondasi”, sehingga tugas pakar pendidikan Barat adalah mengonstruksi “pondasi” sekaligus “rumah”-nya.

Kedua, keunggulan aspek etika-moral. “Akhlak lebih utama daripada ilmu” adalah slogan pendidikan Islam. Oleh sebab itu, diskursus pendidikan Islam dipenuhi oleh isu-isu pendidikan karakter, sehingga hampir setiap lini pendidikan Islam memiliki “kode etik” masing-masing.

Kekayaan khazanah keilmuan tentang etika pendidikan ini berimplikasi pada sikap dan perilaku civitas akademika pendidikan Islam yang secara general lebih beretika dibandingkan civitas akademika Barat. Misalnya sikap siswa pendidikan Islam terhadap guru dinilai lebih beretika dibandingkan siswa pendidikan Barat.

Ketiga, keunggulan saluran ilmu pengetahuan. Di samping pancaindra, pendidikan Islam juga menggunakan saluran ilmu pengetahuan berupa “fu’âd” yang merepresentasikan perpaduan kinerja otak dan hati. Berbeda halnya dengan pendidikan Barat yang hanya mempercayai kinerja otak (rasional) dan pancaindra (empiris). Oleh sebab itu, pendidikan Islam kaya dengan konsep kesucian hati. Semakin suci hati seseorang, semakin bermanfaat ilmu yang diraih.

Aspek manfaat ini sangat urgen dalam pendidikan Islam, karena ukuran kesuksesan seorang siswa bukan terletak pada melimpahnya informasi ilmu pengetahuan dalam otak, melainkan kemanfaatan yang dapat diberikan melalui ilmu tersebut. Misalnya: siswa yang memahami tata cara shalat, lalu rajin mendirikan shalat; dinilai lebih berhasil dibandingkan siswa yang memahami seluk-beluk Fikih shalat, namun malas mendirikan shalat.
Di sisi lain, Pendidikan Barat juga memiliki tiga keunggulan esensial dibandingkan pendidikan Islam. 

Pertama, keunggulan aspek ilmu. Logika pendidikan Barat adalah ilmu lebih diutamakan dibandingkan etika. Bertolak belakang dengan pendidikan Islam yang lebih mengutamakan etika dibandingkan ilmu. Dampaknya adalah pendidikan Barat lebih cepat meraih kesuksesan, karena ilmu jauh lebih mudah dikuasai dibandingkan etika.

Seorang pakar dapat mengestimasikan waktu penguasaan keterampilan komputer; namun seorang pakar tidak mungkin dapat mengestimasikan waktu penguasaan karakter jujur. Akibatnya, sejak dulu hingga kini pendidikan Islam masih berkutat pada urusan pembenahan etika yang tidak akan pernah berujung, sedangkan pendidikan Barat sudah mencapai begitu banyak perkembangan di bidang ilmu pengetahuan.

Pada tahap berikutnya, ilmu pengetahuan yang diwujudkan dalam bentuk teknologi, digunakan oleh pendidikan Barat untuk mengontrol etika. Misalnya: Memasang CCTV untuk mengontrol ketertiban lalu lintas di jalan raya. Hasilnya adalah para pengguna jalan lebih tertib lalu lintas, karena merasa gerak-geriknya selalu diawasi oleh CCTV tersebut. Bandingkan dengan pendidikan Islam yang lebih menekankan tertib lalu lintas melalui proses pendidikan karakter hingga seseorang mencapai tingkat “sadar” atau “taat aturan”. 

Untuk mencapai tingkat kesadaran tersebut, waktu yang dibutuhkan pendidikan Islam jauh lebih lama dibandingkan waktu yang dibutuhkan oleh pendidikan Barat untuk menciptakan CCTV; padahal tujuannya sama, yaitu terciptanya ketertiban lalu lintas. 

Kedua, keunggulan aspek spesialisasi ilmu. Para pakar pendidikan Barat lebih banyak menerapkan logika “kolaborasi”, sedangkan para pakar pendidikan Islam lebih cenderung menerapkan logika “kompetisi”.

Implikasi logika kolaborasi adalah terdapat aksi saling bahu-membahu antara satu pakar dengan pakar lain. Misalnya: Howard Gardner menemukan konsep kecerdasan ganda (multiple intelligences), maka pakar berikutnya fokus pada pengembangan konsep kecerdasan ganda tersebut. Ada pakar yang mengelaborasi pada ranah pendidikan; pada ranah pembelajaran di kelas; bahkan ada praktisi pendidikan yang sengaja membangun lembaga pendidikan yang memfasilitasi konsep kecerdasan ganda tersebut. 

Sedangkan implikasi logika “kompetisi” adalah banyak pakar membahas satu tema yang sama. Misalnya: banyak pakar pendidikan Islam yang mengajukan konsep tujuan pendidikan Islam. Setiap pakar seolah merasa bertanggung-jawab untuk merumuskan konsep tujuan pendidikan Islam secara mandiri, tidak mau menerima rumusan pakar lain. Akibatnya konsep tujuan pendidikan Islam sangat membludak, sampai-sampai tidak ada seorang pun yang mampu menghafal keseluruhan konsep-konsep tersebut. Lebih parahnya lagi, tidak ada pakar yang mengelaborasi konsep tujuan pendidikan Islam yang diajukan oleh pakar tertentu pada tataran praktis-sistematis sebagaimana yang dilakukan para pakar pendidikan Barat di depan. Walhasil, pendidikan Islam kaya akan konsep, namun miskin implementasi praktis. 

Ketiga, keunggulan logika ilmiah. Pendidikan Barat lebih mengedepankan logika “hukum alam” (ketika ada apel jatuh, dicari sebabnya hingga akhirnya menemukan teori gravitasi), berbeda dengan pendidikan Islam yang lebih mengedepankan logika “mukjizat” (ketika ada apel jatuh, itu sudah menjadi takdir Allah SWT).

Contoh manifestasi logika ini dalam pendidikan adalah ketika siswa tidur di kelas pada waktu pembelajaran, guru pendidikan Islam akan menilai siswa tersebut tidak beretika. Lalu siswa tersebut diminta untuk mengambil air wudhu agar tidak lagi tertidur ketika mengikuti pembelajaran.

Sedangkan sikap guru pendidikan Barat adalah menilai ada yang salah dalam proses pembelajaran yang dilakukan, semisal pembelajaran yang disampaikan tidak menarik, sehingga membuat siswa jemu hingga akhirnya tertidur. Lalu guru pun mengubah metode pembelajarannya dengan menerapkan tips-tips edukatif terkait proses pembelajaran yang menarik.  

Wallahu A’lam bi al-Shawâb.