Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Belajar versus Mengajar

Dr. Rosidin, M.Pd.I

http://www.dialogilmu.com

Learning versus Teachimg
Belajar-Mengajar Abad 21


Belajar merupakan petualangan hidup yang menjadi kebutuhan asasi manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Pada mulanya manusia tidak bisa berbicara bahasa asing, lalu dia belajar bahasa asing tersebut hingga mampu berbicara dengan fasih. Perubahan yang dapat dideteksi secara empiris ini disebut teori belajar behavioristik.

Jika ditelusuri lebih jauh, kemampuan berbicara bahasa asing tersebut berkaitan dengan perubahan struktur otak manusia dari bodoh menjadi pandai. Inilah yang disebut teori belajar kognitivistik.

Akan tetapi, ketika ada dua orang mempelajari bahasa asing bersama-sama, hasil yang diperoleh justru berbeda. Orang pertama lebih fasih berbicara bahasa asing dibandingkan orang kedua. Hal ini menunjukkan bahwa belajar berhubungan dengan kualitas individu yang beraneka-ragam dalam mengonstruksi ilmu pengetahuan di dalam otaknya. Dari sini muncul teori belajar konstruktivistik yang meyakini bahwa setiap individu memiliki kemampuan unik untuk mengonstruksi ilmu pengetahuan secara mandiri.

Di sisi lain, hasil konstruksi keilmuan seseorang itu beraneka-ragam disebabkan perbedaan individual manusia yang heterogen. Ada orang yang mudah mempelajari bahasa asing karena memiliki bakat linguistik, ada pula orang yang sulit mempelajarinya karena tidak memiliki bakat linguistik. Atas dasar itu, muncul teori belajar humanistik yang merayakan keaneka-ragaman kemampuan belajar manusia.

Agar berjalan lebih optimal, belajar membutuhkan mitra yang disebut mengajar. Mengajar berarti menghadirkan lingkungan edukatif yang memicu aktivitas belajar agar berjalan efektif. Oleh sebab itu, tugas mengajar ibarat tugas organisator acara (Event Organizer) yang mendesain suatu acara agar berjalan dengan sebaik-baiknya. Desain acara yang baik berpotensi membuat acara berjalan dengan lancar, sebagaimana desain acara yang buruk berpotensi membuat acara berjalan dengan amburadul.

Ada dua pilihan model mengajar. Model “menuangkan air minum” ataukah “membuat air minum”. Model “menuangkan air minum” berarti guru mengajar dengan cara menyampaikan ilmu pengetahuan yang sudah jadi, sehingga tugas siswa tinggal “minum” atau memasukkan ilmu tersebut ke dalam otak. Model ini disebut pengajaran langsung (direct instruction).

Sedangkan model “membuat air minum” berarti guru mengajar dengan cara membimbing siswa untuk mencari, menemukan dan mengonstruksi ilmu pengetahuan secara mandiri. Model ini disebut pengajaran penemuan (discovery learning).

Dua-duanya memiliki sisi kelebihan dan kelemahan. Oleh sebab itu, model mengajar yang ideal adalah kombinasi antara direct instruction dan discovery learning. Misalnya ketika siswa baru belajar membaca al-Qur’an, guru menerapkan model direct instruction dengan mengenalkan ilmu Tajwid. Ketika siswa sudah memahami dasar-dasar ilmu Tajwid, guru dapat menerapkan model discovery learning dengan menugaskan siswa untuk mencari, menemukan dan mengonstruksi contoh-contoh ilmu Tajwid dalam mushhaf al-Qur’an secara mandiri. Mengajar disebut efektif apabila siswa yang bersangkutan mampu membaca al-Qur’an dan mengidentifikasi bacaan al-Qur’an sesuai ilmu Tajwid.

Mengajar efektif meniscayakan dua modal: seni (art) dan ilmu (science). Ada guru yang mengajar seperti “komika” (stand-up comedy) yang membuat siswa betah berlama-lama diajar oleh guru tersebut, namun minim ilmu pengetahuan yang diberikan, sehingga siswa hanya memperoleh hasil belajar yang minim. Tipe ini hanya memenuhi modal seni, bukan ilmu. Ada pula guru yang mengajar seperti “pembaca berita” yang menjejalkan begitu banyak ilmu pengetahuan, sehingga membuat siswa jemu –bahkan tertidur–, akibatnya siswa hanya memperoleh hasil belajar yang minim. Tipe ini hanya memenuhi modal ilmu, bukan seni. Tipe guru yang ideal adalah mengajar dengan memenuhi modal seni dan ilmu. Bagaikan seorang sutradara andal yang membuat film edukasi –seperti film Jejak Rasul dan Planet Earth– yang menarik ditonton dan sarat dengan ilmu pengetahuan.

Perlu digaris-bawahi bahwa mengajar yang efektif belum menjamin terjadinya belajar efektif. Seperti halnya desain acara yang baik, belum menjamin acara berjalan dengan baik pula. Hal ini dikarenakan proses belajar melibatkan banyak faktor. Di antara faktor krusial yang mempengaruhi kualitas belajar adalah motivasi dan arahan. Ada siswa yang bodoh sekaligus malas, berarti dia kurang arahan sekaligus motivasi. Ada siswa yang pandai namun malas, berarti dia memiliki arahan, namun kurang motivasi. Ada siswa yang bodoh namun rajin, berarti dia memiliki motivasi, namun kurang arahan. Ada siswa yang pandai sekaligus rajin, berarti dia memiliki arahan sekaligus motivasi.

Beranjak dari klasifikasi di atas, tugas guru adalah mengidentifikasi faktor “arahan” dan “motivasi” siswa, lalu mengajar sesuai dengan kebutuhan siswa tersebut. Jika siswa bodoh dan malas, maka guru harus memberikan “bimbingan” dan “dukungan”. Jika siswa pandai, namun malas; guru cukup memberikan “bimbingan”. Jika siswa bodoh, namun rajin; guru cukup memberikan “dukungan”. Jika siswa pandai dan rajin, maka guru dapat memberikan “tantangan” untuk meningkatkan kualitas belajar siswa tersebut.

Siswa yang pandai dan rajin yang merepresentasikan kepemilikan “arahan” dan “motivasi” disebut pembelajar mandiri (self-directed learner). Akan tetapi, pembelajar mandiri tidak bersifat absolut, melainkan relatif. Artinya, seorang siswa berposisi sebagai pembelajar mandiri dalam suatu bidang studi, namun tidak menyandang status itu dalam bidang studi lainnya. Apapun itu, pembelajar mandiri merupakan tipe siswa ideal yang menjadi tujuan akhir proses pembelajaran. Bagaikan seseorang yang diajari keterampilan memancing. Ketika dia sudah menguasainya, dia dipersilahkan untuk memancing secara mandiri. Demikian halnya siswa yang sudah mencapai tingkatan pembelajar mandiri, dia dipersilahkan untuk meningkatkan keilmuannya secara mandiri.


Diskusi belajar dan mengajar ini sampai pada simpulan bahwa belajar merupakan proses pengembangan kualitas diri pada dimensi perilaku (behavioristik) maupun kognitif (kognitivistik) sebagai hasil dari konstruksi diri (konstruktivistik) sesuai dengan karakteristik individual manusia (humanistik). Belajar membutuhkan mitra mengajar dari orang lain (guru) yang disajikan dalam bentuk jadi (direct instruction) maupun melalui proses pencarian, penemuan dan konstruksi (discovery learning), serta mempertimbangkan faktor “arahan” dan “motivasi” pada diri siswa, dalam rangka menciptakan pembelajar mandiri.

Wallahu A'lam bi al-Shawab.