Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Falsafah Iqra' sebagai Katalisator Budaya Literasi


Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com 


Budaya Literasi
Membudayakan Literasi Sejak Dini

PROLOG

Budaya literasi [baca-tulis] sejak awal mendapatkan legitimasi dalam Islam melalui wahyu yang pertama kali diturunkan, yaitu Surat al-‘Alaq [96]: 1-5. Bukti konkret sudah tersaji dalam fakta historis yang menginformasikan kecemerlangan umat muslim dalam dunia tulis-menulis. Perpustakaan, lembaga pendidikan, toko buku, istana hingga rumah-rumah umat muslim dipenuhi oleh buku-buku lintas bidang studi. 

Al-Thabari, Imam Bukhari, al-Syafi’i, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, adalah sederet nama penulis-penulis muslim yang hingga kini dampak pemikirannya masih terasa aktual di masyarakat. Oleh sebab itu, dalam rangka menggerakkan kembali budaya literasi di kalangan umat muslim, maka penting kiranya untuk menjadikan Falsafah Iqra’ sebagai starting point.

BAHASAN

        Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Alaq’ [96]: 1-5

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ. (العلق: 1-5)   

1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan; 2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah; 3) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Dermawan; 4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam; 5) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Jika dikaji secara mendalam, maka wahyu pertama al-Qur'an ini mengandung spirit ilmiah yang luar biasa. Dalam hal ini, penulis akan mengkaji ayat di atas dalam perspektif Tafsir Tarbawi (Tafsir Pendidikan). Demi efektivitas dan efisiensi pemahaman, penulis menyajikan paparan secara sistematis. 

Langkah Pertama: Rajin Membaca (analisis Ayat 1-3)

Rajin membaca merupakan suatu kewajiban berdasarkan penggunaan redaksi amar (perintah) pada kata "bacalah (إقرأ)". 

Kata ini disebut sebanyak dua kali mengindikasikan bahwa membaca merupakan proses yang berkesinambungan. Oleh karena itu, jika seseorang belum mampu memahami suatu pelajaran –misalnya– dengan satu kali baca, maka dia dianjurkan untuk mengulang-ulang (review) hingga mampu memahaminya dengan baik. 

Dari sini dapat dipahami, bahwa pencari ilmu yang berhasil adalah seseorang yang mau "membayar" lebih, siap bekerja keras dan memiliki etos ilmiah yang tinggi.

Mentalitas Seorang Pencari Ilmu (Pembaca)

Agar proses mencari ilmu berjalan efektif sekaligus menampilkan aura Islami, seseorang dituntut memiliki beberapa mentalitas berikut ini:

Pertama, Prinsip "Atas Nama Allah"

perjalanan meniti keilmuan, hal pertama dan utama yang harus diperhatikan adalah kata (باسم ربك). Pemakaian huruf ba' pada kata tersebut memiliki banyak implikasi, antara lain: Huruf ba' bermakna "melekat" (إِلْصَاقْ). Konsekuensinya dalam proses mencari ilmu (belajar-mengajar) adalah seseorang harus memegang teguh prinsip "atas nama Allah"; wujudnya berupa sikap taqwa, sehingga ketaqwaan (melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya) harus selalu mengiringinya, baik pada pra, proses maupun pasca kegiatan mencari ilmu.

Kedua, Gemar Berdoa Kepada Allah SWT

Makna huruf ba' yang kedua adalah "meminta tolong" (الإسْتِعَانَة), konsekuensinya adalah seorang pencari ilmu harus rajin berdoa kepada Allah SWT. Apalagi doa merupakan visi atau cita-cita ideal yang dapat berfungsi sebagai stimulus sekaligus motivator bagi seseorang untuk mencapai keberhasilan ilmiah yang setinggi-tingginya. 

Ketiga, Sabar (Gigih dan Tabah)

Dari sisi I'jaz Rasm Utsmani: Kata bismi-rabbika menggunakan alif, sedangkan pada kata bismillah justru tidak memakai alif, padahal sama-sama ba' bertemu dengan kata ism

Salah satu hikmahnya adalah, dalam kaitannya dengan ibadah kepada Allah SWT, seyogianya dilakukan sesegera mungkin (disimbolkan penghilangan huruf alif), akan tetapi dalam proses pendidikan, seharusnya dilakukan secara sabar dan istiqamah, mengingat waktu yang dibutuhkan memang relatif lama (disimbolkan dengan penetapan huruf alif).

Keempat, Optimis

Dalam mencari ilmu, seseorang seyogyanya bersikap optimis, karena ayat (1 dan 3) di atas memakai redaksi (ربك) yang sering ditafsiri dengan "Tuhan Yang Maha Mendidik". 

Di sinilah pentingnya perasaan optimis sekaligus positif thinking (baik sangka; husnuzhan) bagi seorang pencari ilmu, bahwa suatu saat dia akan memahami ilmu yang ia tekuni, karena yang akan memberinya pemahaman adalah Allah SWT, Tuhan Yang Maha Mendidik. Apalagi pada ayat 3 diiringi dengan redaksi (الأَكْرَمْ).

Kata (الأكْرَم) ini identik dengan dermawan. Pemahaman sederhananya, jika Allah SWT memiliki ilmu yang begitu luas, sehingga diibaratkan sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula) (Q.S. al-Kahfi [18]: 109), masa' sih Allah SWT tidak berkenan memberikan sedikit saja ilmu-Nya kepada seseorang yang rajin mencari ilmu (membaca)?

Kelima, Rendah Hati (Tawadhu')

Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah sikap tawadhu' (rendah hati). Sikap ini berdasarkan pemahaman terhadap ayat kedua yang menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari segumpal darah. 

Sehebat apapun karir akademik seseorang, pasti dia diciptakan oleh Allah SWT dari air mani yang hina dina. Maka dari itu, untuk apa dia bersikap sombong? Bahkan seandainya dia mampu meraih gelar "Prof. Dr. KH." sekaligus, dia sama sekali tidak pantas bersikap sombong. Buktinya, jika kita tanyakan kepada dia apa makna ayat-ayat mutasyabbihat semacam "ألم", pasti dia tidak mampu menjawab!.

Langkah Kedua: Rajin Menulis (analisis Ayat 4)

Setiap orang yang ingin memperoleh ilmu Allah SWT, dia perlu memanfaatkan media-media yang relevan, dalam hal ini disebut "al-qalam". Pemahaman kontemporer tentang al-qalam ini meliputi segala media yang berfungsi dalam proses transfer ilmu, seperti buku, media cetak, internet, smartphone, dan lain-lain.

Bagi seorang pelajar, dia dapat memanfaatkan al-qalam dalam pengertian pasif (misalnya: membaca buku, mendengarkan ceramah); dan dia juga dapat memakainya dalam pengertian aktif (misalnya: menulis artikel, makalah). Apabila seseorang mampu mengefektifkan kedua fungsi pasif dan aktif dari al-qalam ini, Insya Allah dia akan berhasil baik dalam ketrampilan lisan maupun tulisan.  

Kandungan ayat 4 di atas benar-benar telah dibuktikan dalam sejarah umat muslim, yaitu pada saat para ilmuwan muslim masa silam yang terkenal sebagai tokoh-tokoh ensiklopedis yang bertugas sebagai da'i-da'i, guru-guru, namun mampu menghasilkan karya-karya tulis yang luar biasa banyaknya. Kapasitas keilmuan sekaligus produktivitas ilmiah seperti inilah yang seharusnya ditiru oleh generasi muslim masa kini!.   

Langkah Ketiga: Bersikap Kreatif-Inovatif (analisis Ayat 5)

Keberhasilan yang sering kali diharapkan adalah keberhasilan mencapai suatu inovasi atau kreasi yang sebelumnya belum pernah terbayangkan. Ini adalah kesan yang diperoleh dari pemahaman terhadap Surat al-'Alaq [96]: 5. 

Pemahaman-pemahaman otentik Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumiddin dapat dijadikan sebagai salah satu contoh; demikian juga dengan penemuan-penemuan para sarjana muslim dalam bidang Matematika, Kimia, Fisika, Kedokteran, dan sebagainya. Jadi, ayat 5 di atas menuntut seseorang untuk memiliki sikap kreatif dan inovatif.

Penggunaan kata "مَا" yang dalam ilmu ushul fiqih tergolong redaksi bermakna 'amm (umum) mengindikasikan bahwa kreasi dan inovasi dapat diterapkan pada berbagai dimensi. Dalam bidang pendidikan –misalnya– seseorang boleh melakukan kreasi dan inovasi dalam hal materi pembelajaran, metode pembelajaran, alat-alat pembelajaran, dan sebagainya.

EPILOG

Surat al-'Alaq [96]: 1-5 memberikan spirit ilmiah yang luar biasa bagi generasi muslim kontemporer agar proaktif menggiatkan budaya literasi. 

Melalui lantaran kebudayaan literasi inilah, diharapkan umat muslim dapat merealisasikan cita-citanya sebagai umat yang menjadi tolok ukur bagi umat-umat lainnya, seperti yang diamanatkan oleh Surat al-Baqarah [2]: 143

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.

Wallahu A'lam bi al-Shawab.