Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Membumikan Maulid Nabi Muhammad SAW


Dr. Rosidin, M.Pd.I

http://www.dialogilmu.com

Maulid Nabi SAW
Pahlawan Legendaris Membumikan Maulid Nabi SAW

Cobalah Anda bertanya kepada dua orang ustadz dari Jawa, yaitu ustadz muda dan ustadz senior, “Sekarang ini bulan apa?”. Kemungkinan besar, ustadz muda akan menjawab, “Rabi’ul Awwal”; sedangkan ustadz senior akan menjawab, “Mulud”. Jawaban ustadz muda terdengar lebih fasih dan keArab-Araban, namun terasa jauh di hati; sedangkan jawaban ustadz senior terdengar tidak fasih dan keJawa-jawaan, namun terasa dekat di hati. 

Kelebihan lainnya, penamaan bulan Rabi’ul Awwal dengan Mulud seolah mengingatkan umat muslim bahwa agenda utama pada bulan ini adalah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Penamaan seperti ini dapat pula dijumpai pada bulan-bulan lain, seperti Muharram disebut Suro, karena peristiwa utama pada bulan Muharram adalah hari ‘Asyura (10 Muharram) dan Ramadhan disebut Pasa, karena agenda utama pada bulan Ramadhan adalah puasa. 
        
Inilah salah satu metode yang tepat-guna (efektif) untuk membumikan maulid Nabi Muhammad SAW, yaitu menggunakan bahasa yang akrab di telinga masyarakat luas, sehingga menimbulkan “rasa memiliki” pada diri pendengarnya. Terlebih apabila bahasa tersebut dijadikan bait syair yang dibaca berulang-ulang. 

Misalnya, syair pujian warisan masa lampau yang sering dilantunkan menjelang shalat berjamaah: 

Allahumma Shalli ‘Ala Muhammad # Ya Rabbi Shalli ‘Alaihi wa Sallim # Fi Hubbi Sayyidina Muhammad

Gusti Kanjeng Nabi Lahire Ono ing Mekkah # Dinten Isnen Tanggal Rolas Tahun Gajah # Ingkang Ibu Asmane Siti Aminah # Ingkang Romo Asmane Sayyid Ngabdulloh

Jika mengedepankan kefasihan, maka kata yang tepat adalah “Sayyidah Aminah” dan “Sayyid Abdullah”. Namun dalam syair tersebut, kata Sayyidah diganti Siti dan kata Abdullah diganti Ngabdulloh. Meskipun terdengar tidak fasih, namun terasa begitu dekat di hati, seolah-olah keduanya bukan orang Arab, melainkan orang Jawa.

Jika dulu menggunakan bahasa Arab dan Jawa, maka saat ini menggunakan bahasa Arab dan Indonesia. Misalnya, Habib Rizieq menggubah syair “Kisah Sang Rosul (Syiir Rohatil)” yang dipopulerkan Habib Syech, hingga akhirnya menjadi “lagu wajib” dalam setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. 

Untaian katanya sedemikian indah. Resapilah bait berikut: 

Rahatil-Athyaru Tasydu fi Layalil-Maulidi # Wa Bariqun-Nuri Yabdu min Ma’ani Ahmadi # fi Layalil-Maulidi (Burung-burung Berkicau Bahagia di Malam Kelahiran Nabi # Dan Kilatan Cahaya Terpancar Penuh Makna dari Ahmad, Sang Nabi # Di Malam Kelahirannya). 

Lafalnya mudah dihafal dan maknanya mudah dipahami oleh semua kalangan, dari anak-anak hingga orang dewasa. Nikmatilah bait berikut: 

Abdullah Nama Ayahnya, Aminah Ibundanya # Abdul Muthallib Kakeknya, Abu Thalib Pamannya # Khadijah Istri Setia, Fathimah Putri Tercinta # Semua Bernasab Mulia, dari Quraisy Ternama. Inilah Kisah Sang Rasul, yang Penuh Suka Duka (2x). Yang Penuh Suka Duka (2x).
        
Syair-syair tersebut tidak hanya dilantunkan pada momen Maulid Nabi SAW, melainkan dilantunkan hampir setiap hari oleh santri-santri di TPQ, Madin dan Pesantren; oleh masyarakat umum di Mushalla, Masjid dan Majlis (Dzikir, Shalawat dan Ta’lim); serta melalui smartphone, radio, televisi dan sound system saat acara-acara di masyarakat, seperti Walimatul ‘Urs, Walimatul Khitan dan Pengajian. 

Apalagi saat ini telah bertebaran majlis-majlis shalawat di berbagai daerah di Indonesia, seperti Majelis Rasulullah Jakarta pimpinan Habib Munzir yang mampu mendatangkan 10.000 jamaah setiap pekan; Majelis Ahbaabul Musthafa Solo pimpinan Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf yang saat ini menjadi “ikon” shalawat di Indonesia; Majelis Nurul Musthofa pimpinan Habib Hasan bin Ja’far yang menjangkau 250 masjid di Jakarta; Majelis Kanzus Shalawat pimpinan Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan; Majelis Maulid Wat Ta’lim Riyadlul Jannah pimpinan KH. Abdurrohim Syadzili Malang yang populer dengan kegiatan Safari Maulid 40 Malam.

Lambat-laun masyarakat semakin akrab, bahkan tumbuh “rasa memiliki” terhadap Maulid Nabi SAW, karena sering mendengar dan ikut melantunkan bait-bait syair yang menggambarkan peristiwa kelahian Nabi SAW. Oleh sebab itu, wajar jika dikatakan bahwa tanggal 12 Rabi’ul Awwal (Hari Maulid Nabi SAW) adalah malam puncak peringatan Maulid Nabi SAW yang sesungguhnya telah diperingati hampir setiap hari oleh umat muslim. Posisinya mirip dengan tanggal 17 Ramadhan (Hari Nuzulul Qur’an) yang dipandang sebagai malam puncak peringatan al-Qur’an yang sesungguhnya telah diperingati setiap hari oleh umat muslim melalui aktivitas baca-tulis al-Qur’an.

Selanjutnya, agar “rasa memiliki” terhadap Maulid Nabi SAW semakin menguat, maka umat muslim perlu memiliki simbol-simbol yang mengingatkan pada figur Nabi Muhammad SAW. Misalnya: memiliki kaligrafi bertuliskan lafal “Muhammad” yang biasanya dipajang berdampingan dengan kaligrafi yang bertuliskan lafal “Allah”. Memiliki foto atau gambar Masjid Nabawi maupun makam Rasulullah SAW, untuk kemudian dipajang di tempat-tempat yang mudah dilihat.

Penting mulai memiliki perlengkapan sandang, pangan, papan, dan kesehatan yang mengingatkan pada figur Nabi Muhammad SAW. 

Contoh sandang: memiliki koleksi baju putih yang merupakan warna favorit Nabi Muhammad SAW. 

Contoh pangan: membeli kurma bagi yang mampu, setidaknya pada bulan Ramadhan. 

Contoh papan: ruang tamu didesain yang luas, indah dan nyaman, demi menjalankan perintah Nabi SAW untuk menghormati tamu; ranjang didesain sesuai ajaran Rasulullah SAW, yaitu memungkinkan pemiliknya dapat tidur miring ke kanan sembari menghadap kiblat, layaknya posisi jenazah yang dikuburkan; toilet didesain agar tidak sampai menghadap atau membelakangi kiblat ketika menggunakannya. 

Contoh kesehatan: gemar mengonsumsi madu yang merupakan minuman kesehatan yang sering dikonsumsi Nabi SAW. 

Contoh pendidikan: memiliki koleksi kitab-kitab shalawat, seperti Maulid Diba’, Maulid Habsyi (Simthud-Durar), Maulid Burdah, Maulid Adh-Dhiya’ul-Lami’, Maulid Barzanji dan Dalail al-Khairat

Lebih-lebih jika memiliki koleksi buku Sirah Nabawiyyah yang membuat umat muslim semakin mengenal perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini, penulis menyarankan setidaknya memiliki tiga buku berbahasa Indonesia berikut: Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW karya M. Quraish Shihab; Ensiklopedia Leadership & Manajemen Muhammad SAW (8 Jilid) karya Muhammad Syafii Antonio dan Sirah Nabawiyah karya Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi.

Selain perlengkapan berupa benda, lebih baik lagi jika figur Nabi Muhammad SAW dapat dijumpai pada manusia. Misalnya, memberi nama anak laki-laki “Muhammad”, “Ahmad”, “Mahmud”, “Musthafa”, “Mukhtar”, dan nama-nama Nabi Muhammad SAW lainnya yang dalam kitab Dalailul-Khairat mencapai 201 nama. 

Menurut situs www.pitlanemagazine.com, saat ini setidaknya ada 15 juta orang yang menyandang nama “Muhammad” dengan berbagai padanannya, seperti Mohammed, Mehmed (Turki) dan Maxamed (Somalia). 

Pemberian nama “Muhammad” selaras dengan pesan Rasulullah SAW:

سَمُّوا بِاسْمِى
Berilah nama dengan namaku (H.R. al-Bukhari). 

Wallahu A’lam bi al-Shawab.