Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tarekat Sufi



Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com

Tingkatan Sufi
Tingkatan Sufi

Telaah Teoretis Tarekat Sufi

Menurut bahasa, Tarekat berasal dari bahasa Arab, thariqah yang berarti jalan, jalan kecil atau gang. Menurut istilah, Tarekat adalah jalan yang harus ditempuh oleh setiap calon sufi untuk mencapai tujuannya, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT sedekat-dekatnya. Istilah ini digunakan hingga abad ke-11 M. Pada masa berikutnya, Tarekat menjadi organisasi keagamaan kaum sufi dengan jumlah yang banyak dan nama yang beragam. Tarekat sufi tersebar ke Asia Tenggara, Asia Tengah, Afrika Timur, Afrika Utara, India, Iran dan Turki.1

Anggota Tarekat terdiri dari dua kelompok, yaitu murid dan pengikut awam. Murid adalah pengikut yang tinggal di dalam ribath (semacam tempat khusus pendidikan tasawuf) dan memusatkan perhatian pada ibadah. Sedangkan pengikut awam adalah mereka yang tinggal di luar ribath, serta tetap bekerja dengan pekerjaan mereka sehari-hari. Tetapi, pada waktu-waktu tertentu mereka juga ikut berkumpul untuk menjalani latihan spiritual.

Selanjutnya murid yang dipandang oleh syekh (guru tasawuf; mursyid) telah berhasil mencapai tingkat tertinggi akan memperoleh ijazah (pengakuan untuk menjadi guru Tarekat). Pemegang ijazah keluar dari ribath, kemudian mengadakan dan memimpin ribath yang serupa di tempat lain, sehingga tersebar luas ke berbagai wilayah di dunia Islam.

Akhirnya, pada abad ke-12 M, terbentuklah organisasi-organisasi sufi dengan pengikutnya masing-masing. Dengan demikian, Tarekat tidak lagi bermakna metode atau jalan, melainkan organisasi atau kesatuan jamaah sufi dengan para pengikutnya. 2

Di antara Tarekat yang muncul pada abad ke-12 M adalah:

Pertama, Tarekat Ghazaliah. Tarekat ini dinisbatkan kepada pendirinya, Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H). Dia memberi pedoman tasawuf secara praktis yang kemudian diikuti oleh tokoh sufi berikutnya, seperti Abdul Qadir al-Jailani dan Ahmad ibn al-Rifa’i.

Kedua, Tarekat Qadiriyah. Tarekat ini dinisbatkan kepada Abdul Qadir al-Jailani, lahir di Jailan (470 H) dan wafat di Irak (561 H). Tarekat ini berkembang hingga ke Yaman, Siria, Mesir, India, Turki, Sudan, Cina hingga Indonesia.

Ketiga, Tarekat Rifa’iah. Tarekat ini dinisbatkan kepada Ahmad Rifa’i yang berasal dari kabilah Arab, Bani Rifa’ah. Lahir di Irak tahun 1106 M dan wafat tahun 1182 M. Tarekat ini tersebar luas ke Mesir dan Irak. Rifa’i dikenal sebagai “sufi yang meraung”, karena berdzikir dengan suara nyaring, meraung-raung.

Keempat, Tarekat Suhrawardiah. Tarekat ini didirikan oleh Abu al-Najib al-Syuhrawardi (1097-1168 M), lalu dikembangkan oleh saudaranya, Syihabuddin Abu Hash al-Baghdadi (1145-1234 M).

Kelima, Tarekat Syadziliyah. Tarekat ini didirikan oleh Nuruddin Ahmad ibn ‘Abdillah al-Syadzili (1196-1258 M) dari Maroko. Pengikutnya tersebar ke Mesir, Afrika Utara, Afrika Barat, Andalusia, Siria dan Indonesia.

Keenam, Tarekat Naqsyabandiah. Tarekat ini didirikan oleh Muhammad ibn Muhammad Bahauddin al-Naqsyabandi (1317-1389 M). Tarekat ini tersebar ke Turki, India, Cina dan Indonesia. Secara garis besar, perkembangan Tarekat di Indonesia tergolong banyak, namun sebagian hanya tinggal namanya.

Tarekat yang masih berkembang di Indonesia hingga sekarang antara lain Tarekat Qadiriah, Naqsyabandiah, Sattariah dan Rifaiah. Adapun tokoh tasawuf dari Indonesia yang terkenal adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Abdul Rauf Singkel, Nuruddin al-Raniri dan Wali Songo. 3

Telaah Praktis Tarekat Sufi 4

Pada dasarnya, tidak ada Tarekat Sufi yang bertentangan dengan al-Qur'an dan Hadis. Jadi, Tarekat apa saja yang tidak mengikuti al-Qur'an dan Hadis adalah Tarekat yang tidak boleh diikuti. Menurut keterangan dalam Futuhat al-Ilahiyaat, syarat mengikuti Tarekat itu ada 8 (delapan):

Pertama, Tujuan yang Benar. Mengikuti Tarekat dengan tujuan yang benar, yaitu menghambakan diri kepada Allah SWT; dan bermaksud menunaikan hak-hak ketuhanan; bukan bertujuan untuk menghasilkan karamah, pangkat maupun hal-hal yang berhubungan dengan hawa nafsu, seperti: pujian.

Kedua, Kesungguhan yang Jelas. Murid Tarekat harus mempercayai bahwa sang guru (Mursyid) itu memiliki rahasia khusus yang dapat menyampaikan sang murid ke hadhirat Allah SWT.

Ketiga, Tata Krama yang Diridhai. Orang yang masuk Tarekat itu harus melakukan tata krama yang diridhai syara', seperti: bersikap belas kasih kepada sesama makhluk.

Keempat, Tingkah Laku yang Bagus. Orang yang memasuki Tarekat itu, tingkah laku dan ucapannya harus sesuai dengan Syari'at Nabi Muhammad SAW.

Kelima, Menjaga Kehormatan atau Harga Diri. Orang yang memasuki Tarekat itu harus mengagungkan sang guru (Mursyid), baik ketika hadhir (bersamanya) maupun ketika ghaib (tidak bersamanya); ketika sang guru masih hidup maupun sudah wafat; mengagungkan saudara sesama muslim; berusaha membuat mereka tabah menghadapi penderitaan; membuat hati mereka menjadi sabar; mengagungkan orang yang di atasnya dan belas kasih terhadap orang yang di bawahnya.  

Keenam, Pelayanan yang Baik. Orang yang masuk Tarekat itu harus memberi pelayanan yang terbaik kepada sang guru dan saudara-saudara sesama muslim; berkhidmah kepada Allah SWT dengan baik, melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Inilah tujuan utama mengikuti Tarekat.

Ketujuh, Cita-cita yang Luhur. Seseorang memasuki Tarekat itu, bukan lantaran menginginkan dunia dan akhirat; melainkan menginginkan Ma'rifat khusus terhadap Allah SWT.

Kedelapan, Melaksanakan Maksud atau Niat. Orang yang masuk Tarekat itu harus melaksanakan maksudnya dan istiqamah dalam melakukan Tarekat; sebab yang demikian itu akan menghasilkan Ma'rifat khusus terhadap Allah SWT. Jika bermaksud melakukan suatu kebajian, maka dia bersungguh-sungguh mengusahakannya sampai berhasil.

Tujuan mengikuti Tarekat adalah melakukan tata krama. Oleh karena itu, siapa saja yang tidak mempunyai tata krama lahir-batin, maka orang tersebut (dinilai) tidak mempunyai Tarekat. Abul Hasan al-Syadzili berkata: Ada 4 (empat) hal yang menjadi tata krama (adab) ahli Tarekat; jika seorang ahli Tarekat tidak mempunyai empat tata krama ini, maka jangan dianggap sebagai ahli Tarekat, sekalipun dia banyak ilmunya. Keempat tata krama itu adalah:

Pertama, Menjauhi orang-orang zhalim, seperti: orang yang berbuat sesuka hatinya atau orang kaya yang suka berbuat zhalim kepada orang lain.

Kedua, Memuliakan ahli akhirat.

Ketiga, Menolong orang-orang fakir miskin.

Keempat, Melakukan shalat lima waktu dengan berjamaah bersama orang banyak. Oleh karena itu, apabila seorang ahli Tarekat tidak melakukan empat hal tersebut, maka dia tidak dianggap ahli Tarekat yang sebenarnya, dan anggap saja dia seperti debu.

Sedangkan 4 (empat) hal lain yang perlu dilakukan oleh ahli Tarekat adalah:

Pertama, Bersifat belas kasih kepada orang yang di bawahnya.

Kedua, Mengagungkan atau menghormati orang yang di atasnya.

Ketiga, Insaf; adil dan tegas terhadap dirinya sendiri.

Keempat, Tidak mengutamakan diri sendiri (egois).

Imam Muhyiddin Ibnu ‘Arabi berkata: Ada empat hal yang apabila dilakukan oleh seseorang, berarti dia telah mengumpulkan seluruh kebajian (pada dirinya), yaitu:
تَعْظِيْمُ حُرُمَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ
Mengagungkan kemuliaan atau kehormatan umat muslim

خِدْمَةُ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ
Melayani kaum fakir-miskin

وَالْإِنْصَافُ مِنْ نَفْسِهِ
Lurus dan adil terhadap diri sendiri

تَرْكُ الْإِنْتِصَارِ لَهَا
Tidak membantu hawa nafsunya

Imam al-Suhrawardi berkata: “Tarekat sufi dimaksudkan untuk membersihkan hati; berusaha mencari kebajikan atas hawa nafsu; berusaha membebaskan diri dari sikap-sikap Takabbur (sombong), Riya' (berbuat sesuatu agar dilihat makhluk; bukan dilihat Allah SWT); Huubud-dunya (cinta dunia), dan sebagainya; berusaha mempunyai akhlak terpuji, seperti: Ikhlash, Tawadhu' (rendah hati), Tawakkal (berserah diri kepada Allah SWT), Ridho, dan sebagainya; dapat Ma'rifat kepada Allah SWT; serta bertata-krama kepada Allah SWT”.

Adapun syarat-syarat menjadi guru Tarekat sebagaimana yang tertera di dalam Kitab 'Awaariful Ma'arif adalah:

وَمِنْ شَرَائِطِ الشَّيْخِ أَنْ يَكُوْنَ عَالِمًا بِالْأَوَامِرِ الشَّرْعِيَّةِ، عَامِلاً بِهَا، وَاقِفًا عَلَى أَدَابِ الطَّرِيْقَةِ سَالِكًا فِيْهَا، كَامِلاً فِيْ عِرْفَانِ الْحَقِيْقَةِ وَوَاصِلاً إِلَيْهَا، وَمُحْرِصًا عَنْ جَمِيْعِ ذَلِكَ

Di antara syarat guru Tarekat adalah 'alim (mengetahui) perintah-perintah syara'; mengamalkan perintah syara'; menetapi tata krama Tarekat yang ditempuh; sempurna dalam pengetahuan tentang Haqiqat dan Washilah atau lantaran yang mengantarkan kepada Haqiqat tersebut; serta ikhlah dalam semua hal di atas.

Imam al-Junaid RA berkata:

عِلْمُنَا هَذَا مُقَيَّدٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، فَمَنْ لَمْ يَقْرَأِ الْقُرْأَنَ وَلَمْ يَكْتُبِ الْحَدِيْثَ، وَلَمْ يُجَالِسِ الْعُلَمَاءَ، لاَ يُقْتَدَى بِهِ فِيْ هَذاَ الشَّأْنِ

Ilmu kita ini (Tarekat) terikat oleh al-Qur'an dan al-Sunnah; barangsiapa tidak belajar al-Qur'an dan Hadis; serta tidak duduk-duduk bersama para ulama (menuntut ilmu dari para ulama), maka orang tersebut tidak boleh diikuti dalam Tarekat.

Jadi, apabila ada seseorang mengaku sebagai guru Tarekat, akan tetapi belum memenuhi syarat-syarat di atas, berarti dia adalah guru Tarekat yang sangat buruk, bahkan tidak pantas menyandang gelar guru Tarekat.

Oleh sebab itu, apabila seseorang hendak mencari guru Tarekat, maka dia harus selektif. Seorang calon pengikut Tarekat tidak boleh menjadikan seseorang sebagai guru (Tarekat), kecuali calon guru telah memenuhi beberapa hal berikut ini:

Pertama, Mengetahui 'Aqa’id (sifat wajib, mustahil dan sifat jaiz) bagi Allah dan Rasul-Nya, dengan dalil-dalil 'aqliyah (rasional) dan sam'iyyah atau naqliyah (wahyu).

Kedua, I'tiqad-nya harus sesuai dengan I’tiqad yang benar (Ahlussunnah wal Jama’ah) dan Fikih Mazhab Empat.

Ketiga, Harus mengetahui hukum-hukum Allah SWT yang berkaitan dengan hati, badan, dan penyakit-penyakit yang tersembunyi dalam hati orang-orang yang beramal.

Keempat, Harus menetapi hukum-hukum Allah SWT yang dia ketahui; menegakkan hukum-hukum Allah SWT; tidak mencerca hak-hak Allah SWT; dan tidak melakukan larangan-Nya yang haram dilakukan serta dapat merusak sifat 'adalah (moral)nya. Apabila seseorang menemukan guru yang memenuhi syarat-syarat sebagai guru Tarekat di atas secara sempurna; maka sebaiknya orang tersebut masuk ke dalam Tarekat sufi.

Catatan Kaki

[1] Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 255-256.

[2] Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, h. 257-258.

[3] Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, h. 258-261.

[4] Bahasan ini penulis sarikan dari al-Durar al-Muntatsirah karya KH. Muhammad Hasyim Asy’ari.