Tugas Manusia: Ibadah versus Imarah
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Teladan Manusia Ideal dalam Ibadah dan Imarah |
Ada dua tugas
utama yang dibebankan oleh Allah SWT kepada umat manusia, yaitu sebagai ‘abdullah
yang harus beribadah kepada Allah SWT (Q.S. al-Dzariyat [51]: 56) dan sebagai
khalifatullah yang harus memakmurkan bumi (‘imarah) (Q.S.
al-Baqarah [2]: 30) dengan kualitas terbaik (ihsan) (Q.S. al-Baqarah
[2]: 195).
Tugas
Ibadah
Agar umat muslim
dapat melaksanakan tugas ibadah dengan kualitas terbaik, paling tidak ada 3 (tiga)
tanggung-jawab pendidikan Islam.
Pertama,
pendidikan keimanan (Iman)
Hikmahnya, dengan
iman kepada Allah SWT, seorang muslim meyakini bahwa tujuan ibadah adalah
ikhlas semata-mata karena Allah SWT.
Dengan iman
kepada malaikat, seorang muslim meyakini bahwa setiap ibadah akan dicatat oleh
malaikat Raqib-‘Atib, bermanfaat untuk mengundang datangnya rahmat Ilahi yang
dibawa oleh malaikat Mika’il, mempermudah husnul-khatimah (happy
ending) ketika dicabut nyawanya oleh malaikat Izra’il, menolongnya ketika
harus menghadapi pertanyaan malaikat Munkar-Nakir di alam kubur, hingga
berpeluang bertemu dengan malaikat Ridhwan di surga, alih-alih bertemu malaikat
Malik di neraka.
Dengan iman
kepada kitab suci, seorang muslim akan menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman
utama dalam beribadah kepada Allah SWT.
Dengan iman
kepada para nabi dan rasul, seorang muslim akan berupaya meneladani perilaku
Rasulullah SAW, terutama dengan menjalankan sunah-sunah beliau terkait ibadah.
Dengan iman
kepada hari akhir, seorang muslim meyakini bahwa setiap amal ibadah yang
diperbuat ketika di dunia, akan dituai hasilnya ketika di akhirat kelak.
Dengan iman
kepada Qadha’-Qadar, seorang muslim meyakini posisi ibadah sebagai salah satu bentuk
ikhtiar memperoleh Qadha’-Qadar yang terbaik baginya.
Kedua,
pendidikan syariah (Islam)
Misalnya, melalui
pengetahuan tentang Fikih, seorang muslim dapat mengetahui syarat-rukun,
sah-batal, sunah-makruh, halal-haram, dan status hukum Islam lainnya terkait
ibadah yang dilaksanakan.
Tanpa pengetahuan
tentang Fikih, amal ibadah berpotensi menjadi sekedar perulang-ulangan tanpa
makna. Seperti yang pernah dialami oleh seorang shahabat yang berkali-kali
diminta Rasulullah SAW agar mengulangi shalatnya, dikarenakan tidak sah menurut
standar Fikih.
Ketiga,
pendidikan akhlak (Ihsan)
Melalui
pengetahuan tentang Tasawuf, seorang muslim akan memberikan nilai lebih
terhadap ibadah yang dilaksanakan. Misalnya, ibadah dilakukan secara ikhlas
karena Allah SWT, bukan karena riya’ maupun sum’ah untuk menarik
kekaguman manusia.
Ibn ‘Athaillah
dalam al-Hikam menyebutkan bahwa ibadah yang tidak dilakukan secara
ikhlas, bagaikan patung yang tak bernyawa. Ibarat kata, ibadah yang tidak
ikhlas itu seperti halnya adegan shalat dalam sinetron yang dilakukan hanya
untuk menghibur penonton, bukan “mencari ridha” Allah SWT. Tentu tiada makna
ibadah bagi adegan shalat seperti itu.
Tugas
‘Imarah
Agar umat muslim
dapat melaksanakan tugas ‘imarah (memakmurkan bumi) dengan baik, paling
tidak ada 3 (tiga) tanggung jawab pendidikan Islam.
Pertama,
pendidikan akal
Manusia
dianugerahi akal aktif oleh Allah SWT, yaitu akal yang senantiasa berkembang
dari satu fase ke fase berikutnya. Jika dulu manusia hanya tinggal di gua,
sekarang manusia sudah tinggal di hotel. Jika dulu manusia hanya mengendarai
keledai, sekarang manusia sudah naik pesawat terbang. Ini semua adalah bukti
nyata akal aktif manusia.
Oleh sebab itu,
pendidikan Islam bertanggung-jawab melestarikan pendidikan akal bagi umat
muslim, terutama dengan cara menumbuhkan rasa ingin tahu (curious), gemar
membaca dan menulis, berpikir kreatif dan kritis, membudayakan tradisi riset
ilmiah, memotivasi munculnya produk-produk teknologi yang inovatif, hingga
mengkreasi iklim belajar yang kondusif.
Kedua,
pendidikan psikologi
Sebagai makhluk
individual, manusia perlu mengenal diri sendiri, seperti kepribadian, potensi,
minat dan bakatnya. Dengan mengenal totalitas diri sendiri, seseorang dapat mengaktualisasikan
dirinya secara optimal.
Misalnya, ketika
seseorang mengetahui bahwa bakatnya adalah melukis, maka dia tidak perlu
bersusah-payah mempelajari Matematika, melainkan cukup memfokuskan diri pada
bakat melukis tersebut.
Bakat itu ibarat
ikan yang “berbakat” berenang, burung yang “berbakat” terbang, monyet yang
“berbakat” memanjat pohon. Dengan demikian, apabila seseorang dididik sesuai
bakatnya, maka akan terjadi akselerasi (percepatan) dalam meraih kesuksesan.
Sebaliknya, apabila seseorang dididik tidak sesuai bakatnya, maka akan
membutuhkan waktu lama untuk meraih kesuksesan, bagaikan melatih burung untuk
berenang.
Ketiga,
pendidikan sosial
Sebagai makhluk
sosial, manusia perlu bekerjasama dan berkompetisi dengan orang lain.
Dengan kerjasama,
seseorang dapat mempermudah meraih kesuksesan. Dengan kompetisi, seseorang
termotivasi untuk meraih kesuksesan.
Dengan
mempelajari ilmu-ilmu sosial, manusia berpeluang meraih kesuksesan dalam
menjalankan perannya sebagai khalifatullah. Misalnya, dengan mempelajari
ekonomi, seseorang dapat menjadi kaya raya; dengan mempelajari politik,
seseorang dapat menjadi pejabat; dengan mempelajari sosiologi, seseorang dapat menjadi
tokoh masyarakat; dengan mempelajari bahasa asing, seseorang dapat berkomunikasi
dengan warga negara asing; dan sebagainya. Semua itu dapat difungsikan untuk
memakmurkan bumi.
Pada bentuk
idealnya, seorang muslim menjalankan tugas ibadah dan ‘imarah secara
harmonis. Di satu sisi, menjalin hubungan vertikal dengan Allah SWT (habl
min Allah); di sisi lain, menjalin hubungan vertikal dengan manusia (habl
min al-Nas) dan alam semesta (habl min al-‘Alam).
Ibaratnya,
seorang muslim ideal itu senantiasa melakukan “Isra’-Mi’raj” sepanjang
hidupnya. Artinya, dari segi hati (niat), seorang muslim ber-“Mi’raj”,
yaitu niat mempererat relasi (taqarrub) dengan Allah SWT; dan dari segi
aksi (amal), seorang muslim ber-“Isra’”, yaitu menebar kemanfaatan
kepada sesama makhluk, baik kepada manusia maupun alam semesta.
Sultan Muhammad
Al-Fatih (Sang Penakluk) adalah figur teladan yang telah memenuhi kriteria di
atas secara mengagumkan. Bagaimana tidak, sepanjang hidupnya, Sultan Al-Fatih
tidak pernah absen mendirikan shalat berjamaah dan shalat Tahajjud; menjadi
sultan imperium Turki Utsmani pada usia belia; menguasai banyak bahasa asing; menggemari
banyak disiplin keilmuan, termasuk geografi.
Kepahlaanan
Al-Fatih yang paling fenomenal menurut sejarah adalah memimpin penaklukan Konstantinopel
atau Bizantium, ibukota imperium Romawi pada tahun 1453, dengan taktik perang
yang “beyond belief”, semisal menarik kapal-kapal melewati perbukitan yang
terjal demi menghindari rantai raksasa yang dipasang imperium Romawi sebagai
pertahanan kokoh di area perairan; hingga akhirnya beliau menjadikan
Konstantinopel sebagai ibukota imperium Turki Utsmani, yang kemudian diubah
namanya menjadi Islambul atau Istanbul yang berarti “Tahta Islam”.
Sungguh, Sultan Muhammad
Al-Fatih adalah figur pemimpin muslim terbesar yang “terakhir”, karena hingga
kini belum dapat ditemukan sosok pemimpin muslim yang selevel dengannya.
Mampukah pendidikan Islam menciptakan generasi umat muslim yang menyamai, atau
setidaknya mendekati levelnya?
Wallahu
A’lam bi al-Shawab.