Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Maqashid Syariah versi Jasser Auda


Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com 

Jasser Auda
Maqashid Syariah versi Jasser Auda

Signifikansi Maqashid Syariah tergambar dalam sebuah cerita tentang seorang putri cilik yang pernah bertanya kepada bapaknya: “Pak, mengapa kita harus berhenti pada rambu lalu lintas?” Menghadapi pertanyaan, yang dikiranya gampang itu, si bapak menjawab, dengan nada menggurui, “karena lampu merah telah nyala, dan warna merah itu berarti harus berhenti”.

Akan tetapi, si putri itu balik bertanya: “memangnya kenapa?”, maka si bapak menjawab: “agar tidak ditilang pak polisi”. Si putri, nampak tidak puas dengan jawaban bapaknya, dia pun balik bertanya: “lalu, mengapa pak polisi suka menilang orang?” Si bapak menjawab: “karena berjalan saat lampu menyala merah dapat membahayakan orang-orang”.

Si putri malah bertanya lagi: “tapi, mengapa?” Pada saat itu, si bapak mulai berpikir agar menjawab saja dengan jawaban yang biasa, yaitu: “beginilah aturannya”, tetapi, ia memutuskan untuk berlaku lebih arif menghadapi putri tercintanya itu, lalu ia menjawab: “karena tidak boleh kita membahayakan orang lain, sukakah kamu dibahayakan orang lain?”, maka si putri menjawab: “tidak!”. 

Si bapak melanjutkan: “demikian juga, orang lain tidak suka dibahayakan”. Nabi (SAW) telah bersabda: “Cintailah sesama, sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri”. 

Si putri balik bertanya lagi: “mengapa kita harus mencintai orang lain sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri?”. Si bapak berpikir sejenak sebelum menjawab: “karena manusia semuanya adalah sama, dan kalau kamu melanjutkan tanya “mengapa” lagi, maka saya akan menjawab: “karena Allah (SWT) itu adil, termasuk keadilan-Nya menjadikan kita semua sama dan memiliki hak yang sama, Ia menciptakan dunia ini berdasarkan keadilan”. 

Sebenarnya, pertanyaan “mengapa” yang berturut-turut dalam cerita ini tidak lain adalah pertanyaan tentang “apakah Maqashid (dari rambu lalu lintas) itu?” 1 Jika dikaitkan dengan Islam, maka disebut dengan Maqashid Syariah.

Maqashid Syariah merupakan cabang ilmu keIslaman yang menjawab segenap pertanyaan-pertanyaan, yang sulit itu, yang diwakili oleh sebuah kata yang nampak sederhana, yaitu “mengapa?” 

Berikut beberapa contoh penggunaan kata ini dalam Islam: Mengapa seorang Muslim mendirikan shalat? Mengapa Zakat merupakan salah satu rukun Islam? Mengapa puasa Ramadan adalah salah satu rukun Islam? Mengapa seorang Muslim selalu berzikir? Mengapa berlaku baik terhadap tetangga termasuk kewajiban dalam Islam? Mengapa meminum minuman beralkohol, walaupun sedikit, adalah dosa besar dalam Islam? Mengapa hukuman mati telah ditetapkan bagi orang yang memperkosa atau membunuh secara sengaja? Dalam rangka ini, Maqashid Syariah menjelaskan hikmah di balik aturan Syariat Islam. Sebagai contoh, salah satu hikmah di balik zakat adalah untuk “memperkokoh bangunan sosial”. 2

A.         TELAAH DEFINITIF

Terma Maqashid berasal dari bahasa Arab Ù…َÙ‚َاصِدْ (maqashid), yang merupakan bentuk jamak kata Ù…َÙ‚ْصَدْ (maqshad), yang bermakna maksud, sasaran, prinsip, niat, tujuan, tujuan akhir. Terma itu berarti telos (dalam bahasa Yunani), finalité (Prancis), atau Zweck (Jerman). Maqashid Syariah Islam adalah sasaran-sasaran atau maksud-maksud di balik hukum Islam. 3

Bagi sejumlah teoretikus hukum Islam, Maqashid adalah pernyataan alternatif untuk Ù…َصَالِØ­ْ (mashalih) atau ‘kemaslahatan-kemaslahatan’. 

Misalnya, ‘Abd al-Malik al-Juwaini (w. 478 H/1185 M), salah seorang kontributor paling awal terhadap teori Maqashid menggunakan istilah al-maqashid dan al-mashalih al-‘ammah (kemaslahatan umum) secara bergantian. 

Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) mengelaborasi klasifikasi Maqashid, yang ia masukkan ke kategori kemaslahatan mursal (al-mashalih al-mursalah), yaitu kemaslahatan yang tidak disebut secara langsung dalam nas Islam (al-Qur’an dan Hadis), sebagaimana akan dijelaskan nanti. 

Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H/1209 M) dan al-Amidi (w. 631 H/1234 M) mengikuti terminologi al-Ghazali. Najm al-Din al-Thufi (w. 716 H/1216 M) mendefinisikan kemaslahatan sebagai ‘apa yang memenuhi tujuan sang Pembuat Syariah (al-Syari‘), yaitu Allah SWT. 

Al-Qarafi (w. 1285 H/1868 M) mengaitkan kemaslahatan dan Maqashid dengan ‘kaidah’ Usul Fikih yang menyatakan: “Suatu Maksud tidak sah kecuali jika mengantarkan pada pemenuhan kemaslahatan atau menghindari kemudaratan”. 

Ini beberapa contoh yang menunjukkan kedekatan hubungan antara Mashlahat dan Maqashid dalam konsepsi Usul Fikih (khususnya antara abad ke-5 dan 8 H, yaitu periode ketika teori Maqashid berkembang). 4

B.         TELAAH HISTORIS

1.            Maqashid pada Masa Sahabat

Sejarah ide tentang maksud atau tujuan tertentu yang mendasari perintah al-Qur'an dan Sunnah dapat dilacak hingga masa sahabat Nabi SAW sebagaimana diriwayatkan dalam sejumlah peristiwa. Salah satu contoh populer adalah hadis bersilsilah rawi banyak (mutawatir/mutawatir) tentang ‘shalat Ashar di Bani Quraizhah’, di mana Nabi SAW mengirim sekelompok sahabat ke Bani Quraizhah, dan memerintahkan mereka shalat Ashar di sana. Batas waktu shalat Ashar hampir habis sebelum para Sahabat tersebut tiba di Bani Quraizhah. 

Lalu, para sahabat terbagi menjadi pendukung dua pendapat yang berbeda: pendapat pertama bersikukuh shalat Ashar di tempat itu, apa pun yang terjadi, sedangkan pendapat kedua bersikukuh shalat Ashar di perjalanan (sebelum waktu shalat Ashar habis). 

Rasionalisasi di balik pendapat pertama adalah bahwa perintah Nabi SAW itu secara tekstual meminta setiap orang untuk shalat di Bani Quraizhah, sedangkan rasionalisasi pendapat kedua adalah ‘maksud/tujuan’ perintah Nabi adalah meminta para sahabat bergegas ke Bani Quraizhah, bukan ‘bermaksud’ menunda shalat Ashar hingga habis waktu salat. 

Menurut perawi, ketika para shahabat kemudian melaporkan cerita tersebut kepada Nabi, Nabi meneguhkan kebenaran kedua opini para sahabat. Persetujuan (taqrir) Nabi SAW, sebagaimana pendapat para fakih dan ulama, menunjukkan kebolehan dan kebenaran kedua sudut pandang di atas. 5

Kejadian lain yang menunjukkan konsekuensi lebih serius dari penerapan pendekatan ‘berbasis-Maqashid’ terhadap perintah Nabi SAW terjadi pada masa Khalifah ‘Umar RA. Status ‘Umar dalam Islam serta konsultasinya yang terus-menerus dan luas dengan sejumlah besar para sahabat, membuat pendapat-pendapatnya memiliki signifikansi khusus. Dalam insiden ini, para Sahabat meminta ‘Umar mendistribusikan tanah-tanah yang baru ‘ditaklukkan’ kaum Muslimin di Mesir dan Irak kepada mereka sebagai bagian dari harta rampasan perang (ghanimah). 

Argumen mereka didasarkan pada ayat-ayat al-Qur'an yang secara jelas membolehkan para tentara mujahid memperoleh ghanimah mereka. ‘Umar menolak membagi seluruh kota dan daerah kepada para sahabat dengan mengacu pada ayat lain yang memakai ungkapan lebih umum, yang menyatakan bahwa Allah SWT memiliki ‘maksud’ agar ‘tidak menjadikan orang kaya mendominasi harta kekayaan’. Oleh karena itu, ‘Umar (dan para pendukung pendapatnya) memahami ayat khusus tentang ghanimah dalam konteks Maqashid hukum khusus dalam bab itu. Maqashid yang dimaksud adalah ‘mengurangi kesenjangan ekonomi’. 

Contoh lain adalah penerapan penangguhan hukuman atas pidana pencurian pada musim kelaparan di Madinah; serta keputusan ‘Umar RA untuk memasukkan kuda ke dalam kategori kekayaan yang wajib dizakati, meskipun sabda Nabi SAW mengecualikan kuda. Rasionalisasi ‘Umar adalah bahwa kuda pada masa kekhalifahannya, secara signifikan, sudah melebihi nilai unta yang oleh Nabi dimasukkan ke dalam objek wajib zakat pada masa hidup beliau. Dengan kata lain, ‘Umar memahami ‘maksud’ zakat dalam kaitannya sebagai bentuk bantuan sosial yang harus dibayar oleh orang kaya untuk kepentingan orang miskin, dengan mengesampingkan tipe kekayaan baku yang disebutkan dalam Sunnah dan memahami Sunnah tersebut melalui implikasi literalnya (harfiah). 

Namun, ‘Umar RA tidak menerapkan pendekatan berbasis-Maqashid ini pada seluruh keputusan hukum Islam. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ‘Umar ditanya: “Mengapa kita masih tawaf mengelilingi Ka’bah dengan bahu terbuka, padahal Islam sudah menang di Mekah?’. ‘Umar menjawab: “Kita tidak akan berhenti melakukan apa pun yang sudah pernah kita lakukan pada masa Nabi”. 

Jadi, ‘Umar RA membuat perbedaan antara ibadah (urusan peribadahan) dengan muamalah (urusan sosial kemasyarakatan), sebuah pembedaan yang didukung oleh seluruh mazhab Usul Fikih. Al-Syathibi, misalnya, mengemukakan perbedaan ini dalam tulisannya: ‘Pengamalan literal adalah metodologi baku pada urusan ibadah; sedangkan pertimbangan Maqashid adalah metodologi baku pada urusan muamalah’. 6

Ijtihad pada kasus-kasus di atas, yang menceritakan pemahaman dan pengamalan Maqashid di era para Sahabat, memiliki signifikansi penting. Signifikansinya adalah para Sahabat tidak selalu menerapkan ‘dalalah lafal’ (dilalah al-lafzh)—dalam istilah para pakar Usul Fikih. ‘Dalalah lafal’ berarti implikasi langsung dari suatu bunyi bahasa, dalam hal ini ‘bunyi Nas’. 

Para Sahabat menerapkan implikasi praktis yang didasarkan pada ‘dalalah maksud’ (dilalah al-maqshid). ‘Dalalah maksud’ berarti implikasi tujuan atau niat di balik lafal tertentu. Dalalah Maksud ini memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar dalam memahami teks (lafzh) dan meletakkannya dalam konteks situasi seperti contoh yang diilustrasikan di atas. 7

2.          Maqashid pada Abad Ke-3 s/d Ke-5 H

Setelah era Sahabat, teori dan klasifikasi Maqashid mulai berkembang. Tetapi, Maqashid sebagaimana yang kita kenal saat ini tidak berkembang dengan jelas hingga masa para ahli Usul Fikih belakangan, yaitu pada abad ke-5 hingga 8 H. Dalam kurun waktu tiga abad, ide maksud/sebab (hikmah, ‘illat, munasabah, atau makna) tampak pada beberapa metode penalaran yang digunakan oleh para imam mazhab tradisional, seperti penalaran melalui Qiyas dan Istihsan

Tetapi, Maqashid sendiri belum menjadi subjek (topik) karya ilmiah tersendiri atau menjadi perhatian khusus hingga akhir abad ke-3 H. Kemudian, klasifikasi Maqashid oleh Imam al-Juwaini (w. 478 H/1085 M) terjadi lebih lama lagi, yaitu pada abad ke-5 H. Berikut ini adalah usaha melacak konsepsi-konsepsi Maqashid awal antara abad ke-3 dan 5 H: 8

Pertama, Al-Tirmidzi al-Hakim (w. 296 H/908 M) mendedikasikan karya terkenal pertama bagi topik Maqashid, di mana terma Maqashid digunakan sebagai judul buku al-Shalah wa Maqashiduha (Shalat dan Maqashid-nya). Buku ini berisi sekumpulan hikmah dan ‘rahasia’ spiritual di balik setiap gerakan salat, dengan kecenderungan sufi. Contohnya adalah  ‘memfokuskan shalat seseorang’ sebagai Maqashid di balik menghadap Kabah.

Kedua, Abu Zaid al-Balkhi (w. 322 H/933 M) mengemukakan karya terkenal pertama tentang Maqashid muamalah, al-Ibanah ‘an ‘ilal al-Diyanah (Penjelasan Tujuan-tujuan di Balik Praktik-praktik Ibadah), di mana dia menelaah Maqashid di balik hukum-hukum yuridis Islam. 

Al-Balkhi juga menulis sebuah buku khusus tentang kemaslahatan berjudul Mashalih al-Abdan wa al-Anfus (Kemaslahatan-kemaslahatan Raga dan Jiwa); dia menjelaskan bagaimana praktik dan hukum Islam berkontribusi terhadap kesehatan, baik fisik maupun mental.

Ketiga, Al-Qaffal al-Kabir (w. 365 H/975 M) menulis manuskrip kuno terkait topik Maqashid, Mahasin al-Syara’i‘ (Keindahan-keindahan Hukum Syariah). Setelah pendahuluan 20 halaman, al-Qaffal melanjutkan dengan membagi bukunya sesuai dengan bab-bab kitab fikih tradisional. Dia menyebutkan masing-masing hukum secara singkat dan mengelaborasi Maqashid dan hikmah di baliknya. Buku ini menandai langkah penting dalam perkembangan teori Maqashid.

Keempat, Ibn Babawaih al-Qummi (w. 381 H/991 M). Beberapa peneliti mengklaim bahwa penelitian tentang Maqasid Syariah terbatas pada mazhab fikih Sunni hingga abad ke-20 M. Tetapi, monografi yang dikenal pertama kali didedikasikan pada Maqashid sebenarnya ditulis oleh Ibn Babawaih al-Shaduq al-Qummi, salah seorang fakih terkemuka Syiah abad ke-4 H, yang menulis buku yang memuat 335 bab tentang subjek ini. 

Buku ini berjudul ‘Ilal al-Syara’i‘ (Alasan-alasan di balik hukum Syariah), ‘merasionalisasikan’ keimanan kepada Allah SWT, kenabian, surga dan rukun iman lainnya. Buku ini juga memberikan rasionalisasi moral terhadap shalat, puasa, haji, zakat, berbakti kepada orangtua, dan kewajiban lain.

Kelima, Al-‘Amiri al-Failasuf (w. 381 H/991 M) mengajukan klasifikasi teoretik pertama terhadap Maqashid dalam karyanya al-I‘lam bi Manaqib al-Islam (Pemberitahuan tentang Kebaikan-kebaikan Islam). Tetapi, klasifikasi al-‘Amiri semata-mata berdasarkan ‘hukum pidana’ (hudud) dalam hukum Islam.

3.          Maqashid pada Abad Ke-5 s/d Ke-8 H

Abad ke-5 H menyaksikan lahirnya apa yang disebut oleh ‘Abdullah bin Bayyah dengan filsafat hukum Islam.  Metode literal dan nominal yang berkembang hingga abad ke-5 H terbukti tidak mampu menangani kompleksitas perkembangan peradaban. Inilah mengapa ‘kemaslahatan Mursal’ (al-Mashlahah al-Mursalah) dikembangkan sebagai metode yang mencakup ‘apa yang tidak disebutkan dalam Nas’, demi menutupi kekurangan metode Qiyas. Kemaslahatan Mursal membantu mengisi kesenjangan ini dan juga mendorong kelahiran teori Maqashid dalam hukum Islam. 

Ada beberapa fakih yang memberi kontribusi paling signifikan terhadap teori Maqashid antara abad ke-5 hingga 8 H adalah Abu al-Ma‘ali al-Juwaini, Abu Hamid al-Ghazali, Al-‘Izz Ibn ‘Abd al-Salam, Syihab al-Din al-Qarafi, Syams al-DÄ«n Ibn al-Qayyim, serta yang paling fenomenal, Abu Ishaq al-Syathib. Berikut ini penjelasan lebih detail tentang tokoh-tokoh tersebut: 9

Pertama, Abu al-Ma‘ali al-Juwaini (w. 478 H/1085 M).. Karya al-Juwaini, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh (Dalil-dalil nyata dalam Usul Fikih) adalah risalah Usul Fikih pertama yang memperkenalkan teori ‘tingkatan keniscayaan’, dengan cara yang mirip dengan teori ‘tingkatan keniscayaan’ yang familier saat ini. Dia menyarankan lima tingkatan Maqashid, yaitu keniscayaan (dharurat), kebutuhan publik (al-hajah al-‘ammah), perilaku moral (al-makrumat), anjuran-anjuran (al-mandubt) dan ‘apa yang tidak dapat dicantumkan pada alasan khusus’. 

Dia mengemukakan bahwa Maqashid hukum Islam adalah kemaksuman (al-‘ishmah) atau penjagaan keimanan, jiwa, akal, keluarga, dan harta. Karya al-JuwainÄ«, Ghiyats al-Umam (Penyelamat Umat-umat) juga memberi kontribusi penting terhadap teori Maqashid, walaupun buku itu utamanya ditujukan untuk isu politik. Contoh-contoh Maqashid dalam buku ini, di mana al-Juwaini melakukan ‘rekonstruksi’ terhadap hukum Islam, adalah ‘kemudahan’ dalam hukum thaharah; ‘menghilangkan beban orang miskin’ dalam hukum zakat; dan ‘suka sama suka’ dalam hukum perdagangan. Jadi, Ghiyats al-Umam merupakan agenda untuk ‘rekonstruksi’ hukum Islam berdasarkan Maqashid.

Kedua, Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H/1111 M). Murid al-Juwaini, Abu Hamid al-Ghazali, mengembangkan teori gurunya lebih jauh dalam kitabnya, al-Mustashfa (Sumber yang Dijernihkan). 

Dia mengurutkan ‘kebutuhan’ yang disarankan al-Juwaini sebagai berikut: 1) keimanan; 2) jiwa; 3) akal; 4) keturunan; 5) harta. Al-Ghazali juga mencetuskan istilah ‘perlindungan’ (al-hifzh) terhadap kebutuhan-kebutuhan ini. Di samping analisis detail yang dia tawarkan, al-Ghazali amat terpengaruh oleh mazhab Syafi'i (yang menilai Qiyas sebagai satu-satunya metode ijtihad yang sah), menolak memberikan hujjah atau legitimasi independen bagi Maqashid atau Mashalih apa pun yang dia tawarkan.

Ketiga, Al-‘Izz Ibn ‘Abd al-Salam (w. 660 H/1209 M). Al-‘Izz menulis dua buku tentang Maqashid, dalam nuansa ‘hikmah di balik hukum Islam’, yaitu Maqashid al-Shalah (Maqashid Shalat) dan Maqashid al-Shawm (Maqashid Puasa). 

Tetapi, kontribusi signifikannya terhadap perkembangan teori Maqashid adalah bukunya tentang kemaslahatan yang berjudul Qawa‘id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam (Kaidah-kaidah Hukum bagi Kemaslahatan Umat Manusia). Di samping investigasinya yang ekstensif tentang konsep Mashlahah (kemaslahatan) dan Mafsadah (kemudaratan), al-‘Izz juga menghubungkan validitas hukum dengan Maqashid-nya. Misalnya, dia menyatakan: ‘setiap amal yang mengabaikan Maqashid-nya adalah batal.

Keempat, Syihab al-Din al-Qarafi (w. 684 H/1285 M). Kontribusi al-Qarafi terhadap teori Maqashid adalah diferensiasi antara jenis-jenis perbuatan Nabi SAW berdasarkan ‘maksud atau niat’ beliau. 

Al-Qarafi menulis dalam al-Furuq (Perbedaan-perbedaan): “Ada perbedaan antara perbuatan-perbuatan Nabi SAW dalam kapasitas beliau sebagai rasul yang menyampaikan wahyu, sebagai hakim, dan sebagai pemimpin. Implikasinya dalam hukum Islam adalah apa yang beliau sabdakan atau lakukan dalam kapasitas sebagai rasul akan menjadi hukum yang bersifat umum dan permanen… (tetapi,) keputusan hukum yang berhubungan dengan militer, kepercayaan publik… penunjukan hakim dan gubernur, pembagian harta rampasan perang dan penandatanganan surat… semuanya khusus dalam kapasitas sebagai pemimpin. Jadi, al-Qarafi mendefinisikan ‘Maqashid’ sebagai maksud/niat Nabi SAW sendiri dalam perbuatan-perbuatan beliau.  Kemudian, Ibn ‘Asyur (w. 1976 M) mengembangkan ‘diferensiasi’ al-Qarafi di atas dan memasukkannya ke dalam definisi Maqashid versinya. 

Al-Qarafi juga menulis tentang ‘pembukaan sarana untuk meraih kemaslahatan’ (fath al-dzara’i‘), yang juga merupakan ekspansi signifikan bagi teori Maqashid. Al-Qarafi mengusulkan bahwa apabila sarana yang mengarahkan pada tujuan haram harus ditutup, maka sarana yang mengarahkan pada tujuan halal seharusnya dibuka.

Kelima, Syams al-Din Ibn al-Qayyim (w. 748 H/1347 M). Kontribusi Ibn al-Qayyim terhadap teori Maqashid adalah melalui kritiknya yang sangat mendetail terhadap ‘trik-trik fikih’ (al-hiyal al-fiqhiyyah), berdasarkan fakta bahwa hal tersebut bertentangan dengan Maqasid. 

Ibn al-Qayyim menulis: “Trik-trik fikih adalah aksi-aksi kejahatan yang diharamkan karena: pertama, trik-trik fikih bertentangan dengan hikmah legislasi; dan kedua, trik-trik fikih mengandung Maqashid yang diharamkan. Orang bermaksud melakukan riba, dia dinilai berdosa, meskipun tampilan transaksi-palsunya kelihatan sah. Orang tersebut tidak berniat jujur untuk melakukan transaksi sah, melainkan bermaksud melakukan transaksi haram. Sama berdosanya, orang yang bertujuan mengubah jatah ahli waris dengan melakukan penjualan palsu (kepada salah seorang ahli warisnya)… Hukum Syariah itu menjadi gizi dan obat bagi kita karena hakikatnya, bukan karena nama dan tampilan luarnya”. 

Ibn al-Qayyim meringkas metodologi yuridisnya berdasarkan ‘hikmah dan kesejahteraan manusia’ dengan kalimat tegas berikut ini:Syariah didasarkan pada kebijaksanaan demi meraih keselamatan manusia di dunia dan akhirat. Syariah seluruhnya terkait dengan keadilan, kasih-sayang, kebijaksanaan dan kebaikan. Jadi, hukum apa pun yang mengganti keadilan dengan ketidakadilan; kasih sayang dengan kebalikannya; kemaslahatan umum dengan kejahatan; atau kebijaksanaan dengan omong-kosong, maka hukum tersebut bukan bagian dari Syariah, meskipun diklaim sebagai bagian dari Syariah menurut beberapa interpretasi.”

Keenam, Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790 H/1388 M). Al-Syathibi menggunakan terminologi serupa dengan al-Juwaini dan al-Ghazali. Tetapi, dalam karyanya, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah (Kesesuaian-kesesuaian dalam Dasar-dasar Syariah), al-Syathibi mengembangkan teori Maqashid dalam tiga cara substansial berikut: 

a) Maqashid yang semula sebagai bagian dari ‘Kemaslahatan Mursal’ (al-mashalih al-mursalah) menjadi bagian dari dasar-dasar hukum Islam. Sebelum al-Muwafaqat karya al-Syathibi ini, Maqashid termasuk dalam kategori ‘kemaslahatan-kemaslahatan lepas’, yang tidak disebutkan secara langsung dalam Nas, dan tidak pernah dinilai sebagai dasar hukum Islam yang mandiri. 

Al-Syathibi memulai al-Muwafaqat dengan mengutip al-Qur'an demi membuktikan bahwa Allah SWT memiliki Maqashid dalam ciptaan-Nya, dalam pengutusan para rasul maupun dalam menentukan Hukum. Maka, al-Syathibi menilai Maqashid sebagai ‘pokok-pokok agama (ushul al-din), kaidah-kaidah Syariah (qawa‘id al-syari‘ah), dan keseluruhan keyakinan (kulliyyat al-millah)’; 

b) Dari ‘hikmah di balik hukum’ menjadi ‘dasar bagi hukum’. Berdasarkan fondasi dan keumuman Maqashid, al-Syathibi berpendapat bahwa ‘sifat keumuman (al-kulliyyah) dari keniscayaan (dharuriyyat), kebutuhan (hajiyyat) dan kelengkapan (tahsiniyyat) tidak bisa dikalahkan oleh-hukum parsial (juz’iyyat)’. 

Hal ini agak berbeda dari Usul Fikih tradisional, bahkan Al-Syathibi juga menjadikan ‘pengetahuan tentang Maqashid’ sebagai persyaratan untuk kebenaran penalaran hukum (ijtihad) dalam seluruh levelnya; 

c) Dari ‘ketidakpastian’ (zhanniyyah) menuju ‘kepastian’ (qath‘iyyah). Dalam rangka mendukung status baru yang dia berikan kepada Maqashid di kalangan para pakar Usul Fikih, al-Syathibi memulai karyanya tentang Maqashid dengan membuktikan ‘kepastian’ proses induktif yang dia gunakan untuk menyimpulkan Maqashid, yang didasarkan pada sejumlah besar dalil yang dia pertimbangkan. 

Buku al-Syathibi ini menjadi buku standar Maqasid Syariah di kalangan ulama hingga abad ke-20 M; namun usulan al-Syathibi untuk menjadikan Maqashid sebagai pokok-pokok Syariah (Ushul Syariah), seperti disarankan judul bukunya, tidak diterima secara luas.

4.          Maqashid pada Abad Ke-20 H

Selanjutnya pada era kontemporer ini, konsep Maqashid Syariah tersebut mengalami pergeseran, dari ‘penjagaan’ dan ‘perlindungan’ menuju ‘pengembangan’ dan ‘hak-hak asasi’. Pergeseran ini merupakan kontribusi Ibn ‘Asyur yang membuka pintu bagi para cendekiawan kontemporer untuk mengembangkan teori Maqashid dalam pelbagai cara baru. Orientasi pandangan yang baru itu bukanlah konsep perlindungan (hifzh) versi al-Ghazali, melainkan konsep ‘nilai’ dan ‘sistem’ versi Ibn ‘Asyur. Berikut ini penjelasan lebih detailnya: 10

Pertama, Hifzh al-Din (perlindungan agama). Dahulu bermakna ‘hukuman atas meninggalkan keyakinan yang benar’ versi al-‘Amiri. Namun, akhir-akhir ini bergeser menjadi ‘kebebasan kepercayaan’ (freedom of faiths) versi  Ibn ‘Asyur atau ‘kebebasan berkeyakinan’ dalam ungkapan kontemporer lain. Para penganjur pandangan ini sering mengutip ayat al-Qur'an: ‘tiada paksaan dalam agama’ sebagai prinsip fundamental, alih-alih memahaminya sebagaimana pandangan populer dan tidak akurat, yaitu menyerukan ‘hukuman bagi kemurtadan’ (hadd al-riddah).

Kedua, Hifzh al-Nafs (perlindungan jiwa raga) dan Hifzh al-‘Irdh (perlindungan kehormatan). Semula berkisar pada penjagaan jiwa-raga dan harga diri, namun akhir-akhir ini berangsur-angsur diganti oleh ‘perlindungan harkat dan martabat manusia’, bahkan ‘perlindungan hak-hak asasi manusia’.

Ketiga, Hifzh al-‘Aql (perlindungan akal). Jika selama ini masih terbatas pada larangan minum minuman keras, sekarang berkembang menjadi ‘pengembangan pikiran ilmiah’, ‘perjalanan menuntut ilmu’, ‘melawan mentalitas taklid’, dan ‘mencegah mengalirnya tenaga ahli ke luar negeri’.

Keempat, Hifzh al-Nasl (perlindungan keturunan). Pada abad ke-20 para pakar Maqashid secara signifikan mengembangkan ‘perlindungan keturunan’ menjadi teori berorientasi keluarga, misalnya ‘peduli keluarga’.

Kelima, Hifzh al-Mal (perlindungan harta). Jika semula bermakna ‘hukuman bagi pencurian’ versi al-‘Amiri dan ‘proteksi uang’ versi al-Juwaini, akhir-akhir ini berkembang menjadi istilah-istilah sosio-ekonomi yang familier, misalnya ‘bantuan sosial’, ‘pengembangan ekonomi’, ‘distribusi uang’, ‘masyarakat sejahtera’ dan ‘pengurangan perbedaan antar-kelas sosial-ekonomi’. Pengembangan ini memungkinkan penggunaan Maqashid untuk mendorong pengembangan ekonomi, yang sangat dibutuhkan di kebanyakan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.

C.         TELAAH TEORETIS
        Klasifikasi klasik Maqashid Syariah meliputi 3 (tiga) jenjang keniscayaan, yaitu: al-Dharuriyyat (Keniscayaan), al-Hajiyyat (Kebutuhan), dan al-Tahsiniyyat (kemewahan). Kemudian, para ulama membagi keniscayaan menjadi 5 (lima): Hifzh al-Din (pelestarian agama), Hifzh al-Nafs (pelestarian jiwa-raga), Hifzh al-‘Aql (pelestarian akal), Hifzh al-Nasl (pelestarian keluarga atau keturunan) dan Hifzh al-Mal (pelestarian harta). Sebagian ulama menambah Hifzh al-‘Irdh (pelestarian kehormatan atau harga diri). Berikut ini visualisasi klasifikasi Maqashid Syariah: 11


Tujuan Utama Syariat Islam
Klasifikasi Maqashid Syariah


1.            Dharuriyyat

Melestarikan kelima (atau keenam) Maqashid Syariah yang tergolong Dharuriyyat adalah sebuah keniscayaan, yang tidak bisa tidak ada, jika kehidupan manusia dikehendaki untuk berlangsung dan berkembang. Kehidupan manuia akan manghadapi bahaya jika akal mereka terganggu, oleh karena itu Islam melarang keras khamar, narkoba dan sejenisnya. 

Kehidupan manusia akan berada dalam keadaan bahaya jika nyawa mereka tidak dijaga dan dilestarikan dengan berbagai tindakan pencegahan penyakit dan/atau jika tidak tersedia sistem penjaminan lingkungan dari polusi, maka, dalam rangka inilah kita dapat memahami pelarangan Nabi (SAW) akan penyiksaan terhadap manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. 

Keberlangsungan hidup manusia akan terancam, juga, apabila terjadi krisis ekonomi yang menyeluruh, oleh karenanya, Islam melarang sebab-musabab terjadinya krisis tersebut seperti monopoli, riba, korupsi dan kecurangan. Demikian pula dengan pelestarian keturunan, yang didudukkan pada martabat yang tinggi oleh Islam, dimana terapat hukum-hukum untuk mendidik dan memilihara anak-anak serta menjaga keutuhan keluarga (seperti pelarangan zina, durhaka terhadap orang tua dan melantarkan anak atau tidak berlaku adil kepadanya). 

Adapun pelestarian agama, yang merupakan kebutuhan dasar bagi keberlangsungan kehidupan manusia, khususnya kehidupan akherat. Demikian pula, terdapat konsensus antar pengikut agama samawi yang lain bahwa maksud-maksud pokok tersebut adalah tujuan akhir dari segenap arahan agama, dan bukan hanya agama Islam. 12

Masing-masing Maqashid Syariah tersebut memiliki dua konteks, yaitu proaktif dan protektif. Proaktif berarti usaha untuk mewujudkan, mengokohkan atau mengembangkan, sedangkan protektif berarti usaha untuk menjaga atau mempertahankan. Berikut pemaparan lebih jelasnya:

Pertama, Hifzh al-Din (Pelestarian Agama).  Dalam konteks proaktif, Allah SWT mewajibkan umat muslim agar melaksanakan rukun Islam. Dalam konteks protektif, Allah SWT melarang kemusyrikan, kekafiran, kemurtadan, kemunafikan hingga kefasikan.

Kedua, Hifzh al-Nafs (Pelestarian Jiwa-Raga). Dalam konteks proaktif, Allah SWT memerintahkan makan, minum, berpakaian dan berolahraga untuk kesehatan jasmani dan ruhani. Dalam konteks protektif, Allah SWT melarang pembunuhan dengan sengaja, bunuh diri, pertengkaran hingga melukai orang lain.

Ketiga, Hifzh al-‘Aql (Pelestarian Akal). Dalam konteks proaktif, Allah SWT memerintahkan aktivitas belajar-mengajar yang berfungsi untuk mengembangkan akal dengan ilmu pengetahuan. Dalam konteks protektif, Allah SWT melarang manusia untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang dapat merusak atau melemahkan kemampuan otak, misalnya mengonsumsi narkotika. Bahkan pelakunya akan mendapatkan hukuman yang berat.

Keempat, Hifzh al-Nasl (Pelestarian Keluarga atau Keturunan). Dalam konteks proaktif, Allah SWT mensyariahkan pernikahan agar manusia terus menerus berkembang-biak. Dalam konteks protektif, Allah SWT melarang perzinahan [termasuk pacaran], tuduhan zina, hubungan sesama jenis, dan lain-lain.

Kelima, Hifzh al-Mal (Pelestarian Harta). Dalam kontotasi proaktif, Allah SWT memerintahkan bekerja mencari nafkah yang halal, mensyariahkan berbagai akad muamalah yang halal, seperti jual beli. Dalam konteks protektif, Allah SWT melarang pencurian [termasuk korupsi], perampokan, praktik riba dan akad-akad yang mengandung penipuan.

Berikut ini tabel yang memuat contoh-contoh Maqashid Syariah dalam konteks proaktif maupun protektif:

Contoh-Contoh Maqashid Syariah

MAQASHID SYARIAH
KONTEKS PROAKTIF
[Perintah, Anjuran]
KONTEKS PROTEKTIF
[Larangan, Ancaman]
Hifzh al-Din (Pelestarian Agama)
Ø Shalat
Ø Membaca al-Qur’an
Ø Meninggalkan shalat
Ø Percaya horoskop
Hifzh al-Nafs (Pelestarian Jiwa-Raga)
Ø Olahraga
Ø Makanan bergizi
Ø Merokok
Ø Berkelahi
Hifzh al-‘Aql (Pelestarian Akal)
Ø Membaca-Menulis
Ø Penelitian
Ø Mengonsumsi narkoba
Ø Menyontek
Hifzh al-Nasl (Pelestarian Keluarga)
Ø Menikah
Ø Silaturrahim
Ø Berpacaran
Ø Berzina
Hifzh al-Mal (Pelestarian Harta)
Ø Bekerja
Ø Menabung
Ø Pengangguran
Ø Korupsi

2.          Hajiyyat

Selanjutnya tujuan-tujuan yang termasuk golongan kebutuhan (al-Hajiyyat). Tujuan-tujuan dalam golongan ini merupakan kurang-niscaya bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Menikah, berdagang, dan sarana transportasi adalah contoh kebutuhan. Islam mendorong pengikutnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu dan mengaturnya. Ketidaksediaan kebutuhan-kebutuhan itu, khususnya pada tingkat individu, bukanlah soal hidup mati. 

Misalnya, jika sebagian manusia memutuskan untuk tidak menikah, atau jika sebagian di antaranya memutuskan untuk tidak berdagang, maka kehidupan manusia tidak akan terancam. Akan tetapi, apabila salah satu kebutuhan itu tidak tersedia bagi sebagian besar manusia, maka ia akan berpindah dari jenjang ‘kebutuhan’ ke ‘keniscayaan’. Dalam rangka inilah kita dapat memahami kaidah yang berbunyi:

اَÙ„ْØ­َاجَØ©ُ Ø¥ِØ°َا عَامَّتْ، Ù†َزَÙ„َتْ Ù…َÙ†ْزِÙ„َØ©َ الضَّرُÙˆْرَØ©ِ

Sebuah kebutuhan jika menjadi umum, maka ia sudah pantas untuk didudukkan pada jenjang keniscayaan. 13

3.          Tahsiniyyat

Adapun al-Tahsiniyyat (kemewahan), yang memperindah kehidupan, seperti minyak wangi, pakaian yang menarik, rumah yang asri. Islam mendukung adanya hal-hal itu dan menganggapnya sebagai tanda kemurahan Allah (SWT) terhadap manusia dan rahmat-Nya yang tak terbatas. 

Akan tetapi, Islam tidak menghendaki agar mausia memberi perhatian terhadap golongan yang terakhir ini (al-Tahsinyyat) yang melebihi perhatiannya terhadap kedua golongan sebelumnya (al-Dharuriyyat dan al-Hajiyyat). 14

Terdapat  hubungan  persimpangan  dan  keterkaitan  antar  jenjang  Maqashid Syariah tersebut. Persimpangan dan keterkaitan itulah yang telah lama dicatat oleh Imam al-Syathibi. Pernikahan dan perdagangan, misalnya, yang merupakan kebutuhan, memiliki hubungan manfaat yang terkait erat dengan pelestarian keturunan dan harta, yang termasuk golongan keniscayaan. Contoh-contoh yang menjelaskan persimpangan dan keterkaitan antar Maqashid Syariah adalah sangat banyak, dimana kekurangan besar pada sebuah jenjang yang lebih rendah, menaikkan klasifikasinya kepada jenjang yang lebih atas. 

Misalnya, jika perdagangan mengalami resesi (kemunduran) pada tingkatan internasional, maka keadaan ini memindahkan perdagangan dari jenjang kebutuhan kepada jenjang keniscayaan. Oleh karena itu, para fakih Muslim lebih cenderung untuk memandang Maqashid Syariah pada jenjang keniscayaan sebagai lingkaran-lingkaran yang saling berjalin, ketimbang piramida hirarkis. 15





Catatan Kaki
1 Jasser Auda, al-Maqasid untuk Pemula. Terjm. Ali ‘Abdelmon’im. (Yogyakarta: UIN-Suka Press, 2012), h. 1.
2 Jasser Auda, al-Maqasid untuk Pemula, h. 2-3.
3 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah: Pendekatan Sistem. Terj. Rosidin dan Ali Moen’im. (Bandung: Mizan, 2015), h. 32-33.
4 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah, h. 33.
5 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah, h. 41.
6 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah, h. 41-44.
7 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah, h. 44.
8 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah, h. 45-49.
9 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah, h. 50-56.
10 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah, h. 56-60.
11 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah, h. 35.
12 Jasser Auda, al-Maqasid untuk Pemula, h. 5-6.
13 Jasser Auda, al-Maqasid untuk Pemula, h. 6.
14 Jasser Auda, al-Maqasid untuk Pemula, h. 6.
15 Jasser Auda, al-Maqasid untuk Pemula, h. 6-7.