Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Waliyullah dalam Perspektif KH. Hasyim Asy'ari

Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com

Kekasih Allah
Foto Waliyullah


Definisi Wali


Soal: Apakah makna Wali itu?

Jawab: Lafazh Wali itu mempunyai dua makna, yaitu:

Pertama, Mengikuti wazan فَعِيْلٌ dengan makna مَفْعُوْلٌ (obyek); seperti lafazh قَتِيْلٌ yang bermakna مَقْتُوْلٌ (terbunuh). Di sini, Wali berarti seseorang yang dijaga oleh Allah SWT dari: (a) Melakukan dosa besar dan dosa kecil; (b) Terjerumus oleh hawa nafsunya, sekalipun hanya sekejap ; (c) Apabila melakukan dosa, dia akan segera bertaubat kepada Allah SWT. Jadi, Waliyullah adalah orang yang terjaga dari tiga hal secara keseluruhan.

Kedua, Mengikuti wazan فَعِيْلٌ yang bermakna فَاعِلٌ (subyek). Jadi, pengertian Wali adalah seseorang yang senantiasa beribadah dan taat kepada Allah SWT, tanpa diselingi maksiat.

Jadi, pengokoh sifat kewalian itu adalah taqwa kepada Allah SWT sebagaimana dalam Surat Ali Imran [3]: 102

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (102)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.

Maksudnya: Bertakwalah kalian kepada Allah SWT dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dengan takwa yang sesungguhnya.

Allah SWT berfirman dalam Surat Yunus [10]: 62-63

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63)
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.


Kriteria Wali


Soal: Apakah hal yang wajib ada pada seseorang sebagai tanda kewalian yang sesungguhnya?

Jawab:

Hal wajib ada pada seseorang sebagai tanda kewalian yang sesungguhnya adalah adanya segala hak-hak Allah SWT dan hak-hak hamba pada diri orang tersebut, dengan cara melaksanakan Syari’at Rasulullah SAW.

Keterangan ini terdapat di dalam Kitab Risalah Qusyairiyah:

يَجِبُ عَلَى الْوَلِيِّ حَتَّى يَكُوْنَ الْوَلِيُّ وَلِيًّا فِيْ نَفْسِ الْأَمْرِ، قِيَامُهُ بِحُقُوْقِ اللهِ تَعَالَى وَبِحُقُوْقِ عِبَادِهِ عَلَى الْاِسْتِقْصَاءِ وَالْاِسْتِيْفَاءِ

Seorang wali yang sesungguhnya, wajib menegakkan hak-hak Allah Ta'ala dan hak-hak para hamba-Nya secara maksimal dan sepenuhnya.

Oleh karena itu, barangsiapa mengaku sebagai wali, namun tanpa kesaksian (bukti) mengikuti Syariat Rasulullah SAW; maka pengakuan orang tersebut adalah palsu dan dusta.

Keterangan ini terdapat dalam Kitab Nataij al-Afkaar:

فَمَنْ اِدَّعَى الْوِلاَيَةَ بِدُوْنِ شَاهِدٍ اَلْمُتَابَعَةِ، فَدَعْوَاهُ زُوْرٌ وَبُهْتَانٌ

Barangsiapa mengaku sebagai wali, tanpa ada saksi, (yaitu) mengikuti Syariat Islam, maka pengakuannya adalah palsu dan dusta


Soal: Apakah syarat Wali itu?

Jawab:

Syarat seorang wali adalah مَحْفُوْظٌ (terjaga), sebagaimana syarat Nabi harus مَعْصُوْمٌ. Keterangan ini tertera di dalam Kitab Risalah Qusyairiyah:

وَمِنْ شَرْطِ الْوَلِيِّ: أَنْ يَكُوْنَ مَحْفُوْظاً، كَمَا أَنَّ مِنْ شَرْطِ النَّبِيِّ أَنْ يَكُوْنَ مَعْصُوْماً

Di antara syarat seorang Wali adalah harus Mahfuzh, sebagaimana syarat seorang Nabi adalah harus Ma'shum


Soal: Apakah arti مَحْفُوْظٌ (terjaga) itu?

Jawab:

Yang dimaksud dengan مَحْفُوْظٌ (terjaga) adalah: Wali itu dijaga oleh Allah SWT dari terus-menerus berada dalam kesalahan dan kekeliruan. Jika dia terjatuh dalam kesalahan dan kekeliruan, maka dia diberi ilham untuk segera bertaubat dan kembali kepada kebenaran.

Keterangan ini tertera di dalam Kitab Risalah Qusyairiyah:

وَالْمُرَادُ بِكَوْنِ الْوَلِيِّ مَحْفُوْظًا، أَنْ يَحْفَظَهُ اللهُ مِنْ تَمَادِيْهِ فِي الزَّلَلِ وَالْخَطَاءِ، إِنْ وَقَعَ فِيْهِمَا أَنْ يُلْهِمَهُ التَّوْبَةَ فَيَتُوْبُ مِنْهُمَا

Yang dimaksud dengan wali itu Mahfuzh adalah Allah menjaganya dari terus-menerus dalam kesalahan dan kekeliruan. Jika dia terjatuh dalam kesalahan dan kekeliruan, maka Allah akan memberinya ilham untuk segera bertaubat, sehingga dia bertaubat dari keduanya 


Soal: Apa perbedaan antara مَحْفُوْظٌ dengan مَعْصُوْمٌ?

Jawab:

Kalau مَحْفُوْظٌ itu masih mungkin melakukan sesuatu yang mukhalafah (bertentangan dengan Syariat Islam) atau maksiat, namun segera bertaubat kepada Allah SWT; sedangkan  مَعْصُوْمٌitu tidak mungkin melakukan sesuatu yang mukhalafah maupun maksiat.

Keterangan ini terdapat dalam Kitab Nataij al-Afkar:

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْحِفْظِ وَالْعِصْمَةِ، إِمْكَانُ الْمُخَالَفَةِ مَعَ الْأَوَّلِ دُوْنَ الثَّانِيْ

Perbedaan antara sifat مَحْفُوْظٌ dan مَعْصُوْمٌ adalah masih mungkin melakuka sesuatu yang mukhalafah pada sifat yang pertama, bukan pada sifat yang kedua.



Hubungan Wali dengan Syariat


Soal: Apakah ada seorang Wali yang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Syariat, seperti: Tidak melakukan shalat lima waktu atau shalat Jum'at tanpa berkhutbah?

Jawab:

Tidak ada Wali yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Syariat, dalam keadaan mukallaf. Keterangan ini terdapat dalam Kitab Risalah Qusyairiyyah:

فَكُلُّ مَنْ كَانَ لِلشَّرْعِ عَلَيْهِ اعْتِرَاضٌ فَهُوَ مَغْرُوْرٌ مَخْدُوْعٌ

Setiap orang yang bertentangan dengan Syara', maka orang itu tertipu (oleh hawa nafsunya) dan terbujuk (oleh setan)

Hikayat

Pada suatu saat, Sulthan al-Auliya', Imam Abu Yazid al-Busthami berjalan bersama para santri beliau untuk berkunjung ke rumah ulama yang kabarnya adalah seorang Wali.

Setelah Imam Abu Yazid tiba di masjid ulama tersebut, beliau duduk di dalam masjid sambil menunggu keluarnya sang ulama. Ketika sang ulama keluar rumah, dia berludah yang berdahak di dalam masjid, sedangkan Imam Abu Yazid melihat hal itu; akhirnya beliau segera mengajak pulang para santri, tanpa memberikan salam maupun bersalaman dengan ulama tadi; beliau berkata: "Ulama ini tidak diberi amanat tata krama dalam Syariat Nabi SAW; oleh karena itu, dia pasti tidak diberi amanat dalam Asrar al-Haqqi (rahasia-rahasia yang bersangkut-paut dengan hak kewalian)".

Wahai Saudara-saudara sekalian, perbuatan dan perkataan Abu Yazid al-Busthami di atas, hendaknya memberikan peringatan kepada orang-orang agar tidak tertipu oleh berita-berita yang masyhur, pujian yang merata serta adanya peristiwa-peristiwa yang di luar kebiasaan (Khariq al-‘Adat) yang biasa disebut “Keramat”, yang dialami oleh orang yang kabarnya seorang Wali, jika dia tidak mempunyai sifat istiqamah tata-krama dalam Syari'at Nabi Muhammad SAW (إِسْتِقَامَةٌ عَلَى أَدَبِ الشَّرِيْعَةِ الْمُحَمَّدِيَّةِ). Jadi, pokok sifat kewalian adalah:

إِسْتِقَامَةٌ عَلَى أَدَبِ الشَّرِيْعَةِ الثَّابِتَةِ الصَّحِيْحَةِ

Sikap istiqamah menetapi tata krama Syariat yang ditetapkan oleh dalil-dalil shahih.

Soal: Apa yang dimaksud dengan pernyataan seperti:

قَدْ يَبْلُغُ الْوَلِيُّ إِلَى مَقَامِ الْوُصُوْلِ يُقَالُ لَهُ اِفْعَلْ مَا شِئْتَ، فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ

Terkadang seorang Wali sampai kepada Maqam Wushul, sehingga dikatakan kepadanya: "Lakukanlah apa yang engkau kehendaki, sungguh Aku (Allah SWT) telah mengampunimu"

Dan juga pernyataan dalam Kitab Qut al-Qulub:

إِذَا أَحَبَّ اللهُ عَبْدًا، لَمْ يَضُرْهُ اَلذَّنْبُ

Jika Allah menyukai seorang hamba, maka dosa tidak akan membawa madharat kepadanya.

Jawab:

Menurut keterangan di dalam Kitab Futuh al-Ilahiyaat disebutkan:

وَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يَتَوَلاَّهُ وَيَأْخُذُهُ عَنْ نَفْسِهِ فَيَكُوْنُ مَحْفُوْظًا مِنْ شُهُوْدِ نَفْسِهِ فَيَكُوْنُ فِعْلُهُ كُلُّهُ بِاللهِ، وَللهِ، وَإِلَى اللهِ

Maksud pernyataan di atas adalah sesungguhnya Allah Ta'ala mencintainya dan mengambil hawa nafsunya, sehingga dia menjadi Mahfuzh (terjaga) dari memandang hawa nafsunya; dan dengan demikian, seluruh perbuatannya adalah atas izin Allah, ikhlash karena Allah dan kembali kepada Allah.

        Jadi, Wali tadi tidak berbuat, tidak melihat, dan tidak berbicara, kecuali hanya yang menjadi keridhaan Allah SWT semata.

Referensi:
KH. Hasyim Asy’ari. al-Durar al-Muntatsirah dalam al-Irsyad al-Sari. Jombang: Maktabah al-Turats. 2013.