Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sebab Gagal Paham Islam Nusantara

SEBAB GAGAL PAHAM ISLAM NUSANTARA

Islam Nusantara sebagai Kontekstualisasi Islam di Indonesia

 


Dr. Rosidin, M.Pd.I
www.dialogilmu.com

Polemik Islam Nusantara disebabkan sebab gagal paham. Sedangkan penyebab gagal paham dapat dilacak pada lima elemen komunikasi.

Pertama, Komunikator


Begitu banyaknya komunikator yang membahas diskursus Islam Nusantara, mengakibatkan tumpang-tindih, bahkan kontradiksi pemikiran antar komunikator. Dari segi kecenderungan pemikiran, Jasser Auda membaginya menjadi tiga kategori: tradisional (tekstualis), modernis (kontekstualis) dan post-modernis (kritis). 

Faktanya, komunikator Islam Nusantara ada yang pemikirannya berkecenderungan tradisional, modernis dan post-modernis sekaligus. Akibatnya, gagasan Islam Nusantara ada yang bersifat ketat, sedang dan longgar. Alternatif solusinya, diperlukan pemetaan pemikiran para "jubir" Islam Nusantara, sehingga dapat Islam Nusantara dapat diklasifikasikan berdasarkan kecenderungannya, apakah ketat, sedang dan longgar. Hal ini dikarenakan persamaan kata, belum tentu dimaknai sama. Misalnya, kata "toleransi" bisa bias makna, tergantung kecenderungan pemikiran orang yang memaknainya. 

Kedua, Komunikan


Dari segi pemikiran, umat muslim itu berbeda tingkat. Level ijtihad, ittiba' dan taqlid. Dari segi aliran agama, umat muslim terbagi menjadi Sunni, Syiah, Neo-Khawarij. Mayoritas umat muslim Sunni di Indonesia juga terbagi lagi menjadi Sunni ala Wahabi, NU, Muhammadiyah, dan sebagainya. 

Perbedaan latar belakang komunikan ini juga berkontribusi memperkeruh diskursus Islam Nusantara, terlebih saat orang awam, setengah paham, apalagi sok paham, ikut-ikutan terjun di arena diskursus. Semakin rumitlah polemik Islam Nusantara ini. Alternatif solusinya lebih rumit, karena tidak mungkin membatasi atau membungkam komentar-komentar mereka. Yang bisa dilakukan hanyalah filterisasi (tamyiz) menyangkut kapasitas keilmuan seseorang, apakah dia tergolong "ahli", "setengah ahli", atau "awam" dalam membahas Islam Nusantara. Penggolongan ini tidak didasarkan gelar akademik dan status sosial, melainkan pada kualitas argumentasi yang diajukan.

Ketiga, Pesan 


Islam Nusantara sendiri mengandung multi-tafsir. Apakah Nusantara itu mencakup Indonesia saja, atau termasuk negara-negara jiran seperti Malaysia, Brunai, Thailand dan Singapura yang dulu juga disebut Nusantara. Belum lagi jika menyangkut kebudayaan atau adat istiadat. Masih terjadi polemik, apakah suatu adat istiadat itu tergolong ma'ruf (kebaikan kontekstual; kearifan lokal) atau justru munkar (keburukan kontekstual). Belum lagi filsafat hukum Islam yang digunakan, apakah menggunakan Ushul Fikih klasik, atau sudah menggunakan Ushul Fikih kontemporer sebagaimana yang digagas Ibnu 'Asyur hingga Jasser Auda. Semua ini adalah benang kusut yang harus diurai oleh jubir Islam Nusantara.

Keempat, Media Komunikasi 


Di era informasi ini, media komunikasi sedemikian banyak dan minim kontrol. Akibatnya, gagasan Islam Nusantara begitu saja diakses publik tanpa melalui proses filterisasi yang memadai. Akhirnya gagasan Islam Nusantara tercampur-aduk, antara model Islam Nusantara yang ketat, sedang dan longgar. Di sisi lain, kebebasan dalam pemanfaatan media komunikasi membuat banyak orang mengunggah topik Islam Nusantara demi eksistensi diri hingga berbagi informasi atau wawasan. 

Dampak lain adalah banyaknya informasi yang bertebaran di media komunikasi, utamanya di dunia maya, membuat orang hanya mengakses tulisan yang ringan dan mudah dibaca, sehingga malas membaca postingan yang mendalam dan panjang-lebar. Padahal, gagasan Islam Nusantara itu kompleks dan membutuhkan pemahaman mendalam; sedangkan hal itu tidak akan terwujud apabila postingan hanya setengah-setengah dan bersifat dangkal.

Kelima, Feedback (balikan)


Respon yang dikemukakan menyangkut postingan Islam Nusantara lebih banyak didominasi sikap mira', yaitu mendebat gagasan orang lain dengan keyakinan awal untuk menyerangnya, karena dinilai salah; berbekal pemahamannya yang diyakini benar. Perbedaan mira' dengan jadal (debat) adalah mira' bertujuan mengalahkan argumentasi orang lain, tanpa mau menerima sedikit pun kebenaran dari argumentasi orang lain. Sedangkan jadal bertujuan mengejar kebenaran, entah berasal dari argumentasi pribadi maupun orang lain. Sikap mira' ini semakin memperuncing diskursus Islam Nusantara. 

Alternatif solusinya adalah melakukan feedback terhadap postingan Islam Nusantara dalam bentuk jadal (debat mengejar kebenaran), hiwar (diskusi berbagi pemikiran), syura (musyawarah untuk menemukan solusi), tasa'ul (tanya jawab dengan orang yang lebih ahli), hingga tabayun (klarifikasi gagasan yang multi-tafsir atau memicu kontroversi).
 
Wallahu A'lam bi al-Shawab.