Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Meredam Hoax dengan Naba'

MEREDAM HOAX DENGAN NABA’

Memilih Penyebar Khabar, Ifk atau Naba'?


Dr. Rosidin, M.Pd.I
www.dialogilmu.com


Era informasi ini ditandai dengan “war of ideas” (perang gagasan) untuk meraih hegemoni atau dominasi terhadap pihak lain yang lebih lemah. Sebagaimana adagium, “knowledge is power”, informasi dijadikan sebagai senjata masif untuk melemahkan, mengalahkan dan menghancurkan musuh.
 
Sebagaimana perang yang penuh tipu muslihat, perang gagasan juga sarat dengan tipu muslihat. Bentuknya yang viral adalah hoax atau berita palsu yang begitu cepat menyebar, karena luasnya media informasi yang tidak disertai proses filterisasi yang memadai.
 
Tulisan ini mengunggah gagasan untuk meredam hoax dengan memperbanyak informasi dalam bentuk naba’. Jika ditelusuri, setidaknya ada tiga istilah yang digunakan al-Qur’an untuk menyebut informasi, yaitu: naba’, khabar dan ifk.
 
Khabar adalah informasi yang mengandung peluang benar dan salah; sedangkan ifk adalah penyelewengan informasi dari fakta yang sesungguhnya, sehingga sudah pasti salah. Jadi, bahasa al-Qur’an yang paling mendekati pengertian hoax adalah ifk. Sebagai alternatif solusi, umat muslim seharusnya memviralkan informasi yang berstatus naba’.  

Suatu informasi dilabeli naba’, apabila memenuhi tiga kriteria: Pertama, Memberi manfaat yang besar. Kedua, Menambah ilmu pengetahuan atau wawasan. Ketiga, Mendatangkan dugaan yang kuat menyangkut kebenarannya. Ketiga kriteria ini harus hadir bersamaan, agar suatu informasi atau berita layak disebut naba’. Misalnya, ajaran agama Islam.
 
Orang yang membawa naba’ disebut nabi. Jadi, nabi itu arti asalnya adalah pembawa berita berupa naba’. Dari akar kata lain, yaitu nubuwwah, nabi berarti luhur, karena derajatnya di atas manusia pada umumnya. Salah satu sebab keluhuran nabi adalah memiliki sifat-sifat yang luhur, yaitu shiddiq (integritas), amanah (terpercaya), tabligh (komunikatif) dan fathanah (cendekia-bijaksana).
 
Meskipun status naba’ sudah sedemikian meyakinkan, tidak secara otomatis diterima oleh seluruh manusia. Misalnya, al-Qur’an dan Hadis menginformasikan naba’ tentang hari kiamat. Faktanya, tidak semua manusia percaya adanya hari kiamat, sehingga memicu perbedaan pendapat sepanjang zaman (Q.S. al-Naba’ [78]: 1-3). Contoh lain, sekalipun kita percaya bahwa shalat dhuha dan membaca Surat al-Waqi’ah dapat memudahkan rezeki, ada saja orang yang belum atau tidak mempercayainya. Artinya, jika informasi yang berstatus naba' saja masih memicu perbedaan pendapat, apalagi yang hanya berstatus khabar, apalagi ifk (berita palsu; hoax).

Di sisi lain, apabila orang yang menyampaikan naba’ itu tidak dapat dipercaya, semisal fasik, maka berdampak pada turunnya tingkat kepercayaan terhadap kebenaran naba’. Misalnya, orangtua menasihati anak-anaknya agar rajin shalat dan membaca al-Qur’an agar masuk surga, namun dia sendiri tidak mau shalat maupun membaca al-Qur’an, maka menyebabkan turunnya tingkat kepercayaan anak-anaknya terhadap kebenaran naba’ tersebut, karena orangtua sebagai pembawa naba’ tidak mau melaksanakannya sendiri. Itulah mengapa, pembawa naba’ perlu melengkapi dirinya dengan sifat-sifat kenabian (shiddiq, amanah, tabligh, fathanah) sesuai dengan kapasitasnya.

Contoh naba’ yang terpercaya kebenarannya, namun disampaikan orang yang tidak terpercaya, adalah orang yang mendakwahkan atau mendidikkan isi kandungan al-Qur’an, namun dia sendiri tidak melaksanakannya. Dalam contoh ini, Abah Hasyim Muzadi sering membuat ilustrasi seperti sales obat batuk nomor satu; namun dia menawarkannya dalam keadaan batuk-batuk. Bagaimana bisa konsumen mempercayai kemanjuran obat batuk tersebut?. Kata konsumen, “Yo untalen dewe” (ya minum sendiri saja obat batuk itu!). 

Hanya saja, al-Qur’an memberikan alternatif solusi, apabila naba’ disampaikan oleh orang yang tidak terpercaya, seperti orang fasik, maka harus dilakukan tabayun atau cek dan ricek (Q.S. al-Hujurat [49]: 6). Misalnya, informasi yang disebar pihak oposisi pemerintah menyangkut keburukan kinerja pemerintah, tidak lantas dinilai hoax jika berita tersebut dinilai sudah mencapai taraf naba’, yaitu memberi manfaat yang besar, menambah ilmu pengetahuan dan diduga kuat kebenarannya. Tugas pihak yang pro pemerintah adalah melakukan tabayun atau klarifikasi. Jika ternyata hoax (ifk), dapat segera diluruskan. Jika ternyata benar (naba’), dapat segera dijadikan bahan evaluasi.

Poin utama yang penulis sampaikan adalah setiap umat muslim yang berkecimpung di media informasi (elektronik, cetak, virtual, medsos) adalah rasa tanggung-jawab untuk terlibat aktif menyebar-luaskan informasi dalam bentuk naba’ yang memadukan tiga kriteria pokok: memberi manfaat yang besar (bukan sekedar update skor pertandingan piala dunia); menambah ilmu pengetahuan atau wawasan (bukan sekedar curhat problem pribadi yang minim atensi publik); dan diduga kuat kebenarannya (bukan sekedar share tanpa melakukan tabayun atau klarifikasi).

Wallahu A’lam bi al-Shawab