Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Spirit Hijrah: Niat, Jihad dan Perbaikan Hidup

SPIRIT HIJRAH: NIAT, JIHAD DAN PERBAIKAN HIDUP


Spirit Hijrah: Transformasi dari Negatif
(foto: indowarta.com)

Dr. Rosidin, M.Pd.I

Beragam makna dapat dijumpai saat menelaah istilah hijrah yang disebutkan oleh al-Qur’an sebanyak 31 kali dalam 27 ayat. Sejak awal, al-Qur’an mengaitkan kata hijrah dengan upaya meninggalkan hal-hal yang negatif. Misalnya, ketika mendapat cercaan kaum kafir Quraisy, Rasulullah SAW diseru untuk “berhijrah yang bagus” (hajran jamilan) (Q.S. al-Muzzammil [73]: 10). Menurut al-Mawardi, hijrah di sini bermakna: “memaafkan mereka; berpaling dari mereka; dan menghindari hal-hal buruk yang menyakitkan”.  

Adapun hal terburuk yang perlu ditinggalkan melalui hijrah adalah dosa, sesuai ayat: “Dan perbuatan dosa, tinggalkanlah” (Q.S. al-Muddatstsir [74]: 5). Dosa atau al-rujz mencakup berbagai jenis dosa, mulai dari kezhaliman hingga kesyirikan. Inilah agenda utama hijrah dalam Islam. Yaitu meninggalkan hal-hal yang terkategorikan sebagai dosa.

Meskipun sasaran hijrah sudah jelas, yaitu meninggalkan dosa; faktanya, manusia tidak lepas dari dosa dan kesalahan, hingga muncul kalam hikmah, “al-insan mahal al-khatha’ wa al-nisyan” yang berarti “manusia adalah tempatnya salah dan lupa”. Dalam Hadis, Rasulullah SAW bersabda: “Setiap anak Adam itu pernah berbuat salah; dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat” (H.R. al-Tirmidzi).

Dalam rangka meninggalkan dosa, hal utama yang dilakukan adalah niat. Contoh sederhana, orang yang kecanduan narkoba, perjudian atau perzinahan, tidak akan sukses keluar dari lingkaran kemaksiatan tersebut, tanpa memiliki niat, tekad atau komitmen yang sungguh-sungguh. Atas dasar itu, hikmah pertama hijrah adalah memperbarui niat (tajdidun niat). Yaitu berniat meninggalkan hal-hal yang tergolong maksiat kepada Allah SWT, menuju hal-hal yang tergolong taat kepada Allah SWT; sebagaimana niat Nabi Luth AS untuk meninggalkan tempat yang dipenuhi kekafiran dan kesyirikan, menuju tempat yang dipenuhi keimanan dan ketauhidan (Q.S. al-‘Ankabut [29]: 26).

Sayangnya, tidak semua niat itu benar. Di samping niat yang benar, yaitu berhijrah demi Allah SWT dan Rasulullah SAW; manusia rentan memiliki niat yang salah, yaitu berhijrah demi dunia (H.R. Bukhari). Tentu saja, perbedaan niat, mempengaruhi nilai hijrah seseorang. Misalnya, orang yang tidak makan-minum sepanjang hari dengan niat diet, hanya bernilai duniawi; sedangkan orang yang tidak makan-minum sepanjang hari dengan niat berpuasa, maka bernilai duniawi sekaligus ukhrawi. Artinya, orang yang diet tidak mendapat pahala di akhirat, sedangkan orang yang berpuasa mendapat pahala di akhirat; meskipun keduanya sama-sama mendapat manfaat di dunia, yaitu kesehatan.

Islam merupakan agama amal. Oleh sebab itu, niat yang baik, perlu dilanjutkan dengan amal yang baik pula. Terbukti, banyak ayat al-Qur’an yang menyandingkan hijrah dengan jihad fi sabilillah, yaitu perjuangan di jalan Allah SWT, melalui totalitas diri dan harta (Q.S. al-Baqarah [2]: 218; al-Anfal [8]: 72, 74, 75; al-Nahl [16]: 110). Jadi, hikmah kedua hijrah adalah berjuang di jalan Allah SWT sesuai kemampuan yang meliputi:

Pertama, perjuangan melalui IPTEK. Model perjuangan ini cocok dilakukan santri, siswa, mahasiswa, kiai, ustadz, dai, guru, dosen, peneliti, ilmuwan, wartawan, dan siapa saja yang berkecimpung di dunia dakwah, pendidikan, informasi dan IPTEK. Bentuknya bisa berupa belajar, mengajar, berdakwah, menulis, meneliti, berbagi informasi, hingga menciptakan teknologi dan karya yang bermanfaat bagi umat manusia.

Kedua, perjuangan melalui harta. Model perjuangan ini cocok dilakukan oleh petani, peternak, pedagang, pegawai, pengusaha, hartawan, dan siapapun yang berkecimpung di dunia ekonomi. Bentuknya bisa berupa kerja yang halal; berderma kepada sesama, baik melalui nafkah, zakat, infaq, sedekah, hadiah, hibah, wakaf, wasiat, waris, dan berbagai aktivitas yang dapat mengurangi kelaparan, kemiskinan dan pengangguran.

Ketiga, perjuangan melalui kebijakan. Model perjuangan ini cocok dilakukan oleh tokoh masyarakat, kepala suku, pimpinan lembaga, pejabat eksekutif, pejabat legislatif, pejabat yudikatif, dan siapapun yang berwenang mengambil kebijakan publik. Bentuknya bisa berupa kebijakan yang adil, tidak sewenang-wenang; bermaslahat bagi publik, bukan bagi pribadi dan golongan; serta menciptakan persatuan, bukan mencerai-beraikan.

Keempat, perjuangan melalui perang. Model perjuangan ini cocok dilakukan oleh bangsa yang sedang mengalami problem penjajahan, seperti bangsa Palestina yang dijajah oleh Israil; atau bangsa Indonesia saat dijajah Belanda dan Jepang. Dengan demikian, perjuangan melalui perang, tidak cocok dilakukan di wilayah aman, seperti Indonesia. Oleh sebab itu, bom bunuh diri di Indonesia, tidak terkategorikan sebagai jihad fi sabilillah.  

Kelima, perjuangan melalui doa. Model perjuangan ini cocok dilakukan oleh orang fakir-miskin, kaum dhuafa, lansia, anak yatim, anak kecil, dan siapapun yang kesulitan untuk berjuang melalui empat jalur di atas. Bentuknya adalah doa yang ikhlas kepada Allah SWT, sebagai dukungan moril (ikhtiar batin) atas perjuangan fisik (ikhtiar lahir) yang dilakukan orang lain melalui jalur IPTEK, harta, kebijakan dan perang.

Harapannya, melalui hijrah yang dibarengi jihad yang beraneka-ragam di atas, dapat mengantarkan pada perbaikan hidup. Inilah hikmah ketiga hijrah, yaitu perbaikan kualitas di segala bidang kehidupan, duniawi dan ukhrawi; sebagaimana contoh berikut:

Pertama, perbaikan kualitas religius. Misalnya, saat di Makkah, Islam kurang begitu berkembang, karena mayoritas masyarakat menolaknya mentah-mentah. Setelah hijrah ke Madinah, Islam berkembang begitu pesat, karena didukung oleh mayoritas masyarakat, yaitu kaum Anshar. Salah satu bentuk dukungan kaum Anshar yang diapresiasi Allah SWT adalah pemberian tempat tinggal kepada kaum Muhajirin (Q.S. al-Hasyr [59]: 9).

Kedua, perbaikan kualitas intelektual. Misalnya, sebelum Islam datang, bangsa Arab dikenal sebagai bangsa Jahiliyah. Setelah Islam datang membawa falsafah iqra’ (Q.S. al-‘Alaq [96]: 1-5) yang memotivasi pengembangan IPTEK; bangsa Arab secara khusus, dan umat muslim secara umum, berkembang menjadi masyarakat berperadaban tinggi yang menjadi cikal-bakal (embrio) kemajuan peradaban Barat yang terjadi saat ini.

Ketiga, perbaikan kualitas ekonomi. Misalnya, suku Quraisy hobi berdagang ke luar daerah setiap musim dingin dan panas (Q.S. Quraisy [106]: 1-2). Saat musim dingin, mereka berdagang ke Yaman yang beriklim panas; dan saat musim panas, berdagang ke Syam (Syiria) yang beriklim dingin. Dari hasil perdagangan luar daerah inilah, kaum Quraisy dapat memperbaiki kualitas ekonominya.

Keempat, perbaikan kualitas sosial. Misalnya, sebelum Islam datang, manusia hanya mengenal persatuan atas nama nasab atau kesukuan yang cenderung sempit. Setelah Islam datang, manusia mengenal persatuan yang luas, yaitu persatuan antar umat muslim (ukhuwwah Islamiyyah); antar warga negara (ukhuwwah wathaniyyah); antar umat manusia (ukhuwwah basyariyyah); dan antar makhluk (ukhuwwah ‘alamiyyah).

Walhasil, spirit hijrah yang berintikan pada perpindahan dari hal-hal negatif menuju kepada hal-hal positif, dilandasi oleh niat yang benar; ditindak-lanjuti dengan jihad yang benar; hingga mencapai perbaikan kualitas hidup yang diidamkan.