Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Meneladani Mentalitas Santri


MENELADANI MENTALITAS SANTRI

Dr. Rosidin, M.Pd.I


Spirit Hari Santri: Meneladani Mentalitas Santri
(foto: ditpdpontren.kemenag.go.id)


Menyongsong datangnya Hari Santri Nasional yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober; umat muslim Indonesia dapat menapak-tilasi mentalitas santri yang selalu berusaha memperbaiki kualitas keberagamaan (tafaqquh fi al-din) dari aspek pemahaman maupun pengamalan; terutama terkait pokok-pokok Agama Islam, yaitu al-Qur’an, Hadis, Akidah, Fikih dan Akhlak.

Pertama, al-Qur’an. Perlu disadari bahwa al-Qur’an menggunakan bahasa Arab yang sangat kaya kosakatanya, sehingga mustahil diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa Indonesia yang tergolong miskin kosakata. Misalnya, kata nazzala dan anzala sama-sama diterjemahkan “menurunkan” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 3). Padahal, nazzala bermakna “turun secara berangsur-angsur”, yang mengacu pada proses turunnya al-Qur’an; sedangkan anzala bermakna “turun secara tuntas” yang mengacu pada proses turunnya Taurat dan Injil. Oleh sebab itu, santri tidak hanya mengandalkan terjemah al-Qur’an untuk memahami isi kandungannya, melainkan juga berpedoman pada kitab-kitab tafsir yang mu’tabar.

Di sisi lain, santri menyadari bahwa kitab tafsir al-Qur’an mengandung dua kategori penafsiran. Yaitu penafsiran objektif yang bersifat tetap (tsawabit) dari masa ke masa; dan penafsiran subyektif yang bersifat dinamis atau berubah-ubah (mutaghayyirat) dari masa ke masa. Misalnya, kata dzarrah secara objektif bermakna “sesuatu yang paling kecil” (Q.S. al-Zalzalah [99]: 7-8); dan secara subyektif, pernah ditafsiri sebagai “semut merah, biji sawi, hingga atom”. Saat ini, atom pun masih terbagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil.

Atas dasar itu, santri tidak gegabah menjadikan tafsir al-Qur’an sebagai argumentasi untuk membantah fakta ilmiah. Misalnya, santri tidak akan membantah teori bumi itu bulat, hanya karena membaca kitab tafsir al-Jalalain yang menafsiri ayat “wa ila al-ardhi kaifa suthihat” sebagai berikut: “bumi itu datar, bukan bulat sebagaimana yang dinyatakan pakar ilmu bumi” (Q.S. al-Ghasyiyah [88]: 20). Dalam hal ini, santri memahami bahwa makna obyektif suthihat menurut kamus bahasa adalah “rata layaknya papan”; sedangkan makna subyektif menurut mufasir adalah bumi itu datar, bukan bulat. Padahal, sudah terbukti secara ilmiah bahwa bumi itu bulat. Jadi, penafsiran obyektif menurut kamus bahasa tetap dipertahankan, sedangkan penafsiran subyektif mufasir direvisi dengan penafsiran yang lebih aktual, sebagaimana saat menafsirkan kata dzarrah di atas.

Kedua, Hadis. Ada dua kecenderungan ekstrem di kalangan umat muslim. Ada orang yang berlebihan menanyakan Hadis yang melandasi suatu amaliah. Amaliah apapun akan ditolak jika tidak dilandasi Hadis shahih. Padahal, dia sendiri belum tentu memahami ilmu musthalahul-hadits. Anehnya lagi, dia hanya menanyakan Hadis terkait amaliah yang tidak dia setujui; namun tidak pernah menanyakan Hadis terkait aktivitas keseharian yang dia lakukan, seperti bekerja, berkendara, berwisata, berfoto, menonton, dan sebagainya.

Di sisi lain, ada orang yang berlebihan dalam menggunakan Hadis, sampai-sampai berani membuat-buat Hadis palsu atau menyebarluaskan Hadis palsu tersebut. Misalnya, Hadis tentang fadhilah shalat tarawih sejak malam pertama hingga malam terakhir. Padahal, Rasulullah SAW tidak mungkin menggunakan istilah tarawih, karena istilah tersebut baru dikenal pada masa Sayyidina ‘Umar. Rasulullah SAW sendiri memakai istilah umum, yaitu “man qama Ramadhana” yang berarti “barangsiapa mendirikan shalat di bulan Ramadhan”.

Mentalitas santri menyangkut Hadis adalah mempelajari ilmu musthalahul-hadits, sehingga memahami status Hadis; tidak menuntut setiap amaliah harus dilandasi Hadis; dan tidak gegabah memotivasi umat muslim dengan Hadis palsu (maudhu’).

Ketiga, Akidah. Seringkali manusia melupakan peran Allah SWT, karena terlena oleh hukum sebab-akibat (sunnatullah). Misalnya, makan enak karena masakannya lezat; selamat berkendara karena kendaraannya bagus; tenang bekerja karena gajinya besar. Padahal, dalam pandangan al-Qur’an, manusia bisa makan enak, berkendara dengan selamat dan bekerja dengan tenang, dikarenakan Allah SWT menjadikan bumi tenang dan tidak goncang. Seandainya Allah SWT memerintahkan malaikat penjaga bumi agar membuat gempa bumi, tentu manusia tidak dapat menikmati makan, berkendara dan bekerja dengan nyaman dan tenang. Inilah yang dinyatakan dalam Surat al-Mulk [67]: 15-16. Mentalitas santri adalah mengaitkan segala aktivitas hidup dengan anugerah Ilahi.

Di sisi lain, manusia seringkali tidak beretika kepada Allah SWT. Antara lain, menyebut kehebatan diri sendiri saat meraih prestasi; dan menyebut Allah SWT ketika sedang terpuruk. Misalnya, saat sukses menjabat, mengaku bahwa itu semua karena kerja keras yang dia lakukan. Namun, ketika masuk penjara, mengaku bahwa itu adalah takdir Allah SWT. Sungguh perilaku yang tidak beretika. Oleh sebab itu, penting bagi umat muslim untuk meneladani sikap Nabi Ibrahim AS yang menyematkan hal negatif pada diri sendiri dan menyematkan hal positif kepada Allah SWT (Q.S. al-Syu’ara’ [26]: 80), bukan sebaliknya. Inilah etika santri kepada Allah SWT.

Keempat, Fikih. Umat muslim memiliki pilihan mazhab fikih yang statusnya setara. Yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Oleh sebab itu, antar umat muslim jangan sampai mencemooh penganut mazhab lain. Misalnya, orang muslim yang melakukan qunut karena mengikuti pendapat Imam Syafi’i, tidak boleh mencela umat muslim yang tidak melakukan qunut karena mengikuti pendapat Imam Hanafi.  

Di sisi lain, umat muslim tidak harus terus-menerus menetapi satu mazhab. Misalnya, umat muslim Indonesia menganut mazhab Syafi’i dalam hal wudhu dan shalat; namun mengikuti mazhab Hanafi dalam hal hijab wanita, yaitu terbuka muka dan telapak tangan. Hal ini dikarenakan Imam Syafi’i menyatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh, sehingga seorang muslimah harus menutupi seluruh tubuhnya, semisal dengan cadar.

Mentalitas santri dalam konteks fikih adalah memiliki khazanah keilmuan yang luas, sehingga bersikap toleran kepada umat muslim yang berbeda mazhab. Pada saat keadaan menuntut, santri tenang-tenang saja untuk berpindah mazhab (intiqal madzhab), semisal saat berhaji atau umrah yang mengharuskan pengikut mazhab Syafi’i untuk berpindah ke mazhab Maliki, agar tidak batal saat bersentuhan kulit dengan lawan jenis.  

Kelima, Akhlak. Salah satu kelemahan mendasar umat muslim, termasuk orang-orang yang shalih sekalipun, adalah minimnya ghirah (semangat) beragama. Misalnya, dalam hal kedisiplinan waktu, ghirah melakukan amal shalih, kalah saing dibandingkan ghirah naik kereta api atau pesawat yang rela datang lebih awal, agar tidak ketinggalan. Ghirah bangun malam untuk qiyamul-lail, terutama shalat tahajjud, kalah saing dibandingkan ghirah penikmat dunia malam yang rela begadang demi dugem di diskotek. Ghirah menyebarkan dakwah dan ilmu, kalah saing dibandingkan ghirah distributor film-film Hollywood yang menyebarkan film produksinya ke berbagai penjuru dunia.

Di sisi lain, umat muslim yang memiliki ghirah terhadap Islam, tentu merasa resah saat melihat realita umat muslim. Misalnya, banyak umat muslim yang terpaksa bekerja di bawah “ketiak” non-muslim. Dalam hal ini, mentalitas santri adalah mengupayakan terwujudnya “al-Islam ya’lu wa yu’la ‘alaih” yang berarti “Islam itu unggul dan tidak bisa diungguli”. Misalnya, menjadi pengusaha sukses yang menyerap tenaga kerja muslim.