Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Strata Ekonomi Perspektif Qur'ani


Dr. Rosidin, M.Pd.I
www.dialogilmu.com
Kebutuhan Sesuai Strata Ekonomi
(foto: ilhamawalnugroho.blogspot.com)

Tafsir Tarbawi Q.S. al-Zukhruf [43]: 32

 اَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۗ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَّعِيْشَتَهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَـتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ 

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (Q.S. al-Zukhruf [43]: 32)

Nilai-Nilai Pendidikan:

Pertama, manusia dilatih memberdayakan akal sehatnya melalui aneka ragam pertanyaan yang diajukan al-Qur'an. Pertanyaan Qur'ani bisa difungsikan layaknya "rumusan masalah" yang perlu dicarikan jawabannya melalui jalur tafakkur, ta'aqqul, tadzakkur, tadabbur, dan sebagainya. Metode tasa'ul (tanya jawab) juga diterapkan oleh Rasulullah SAW dalam berbagai kesempatan. Atas dasar itu, penting bagi umat muslim untuk melestarikan metode tasa'ul ini dalam berbagai forum pendidikan maupun dakwah; baik lingkup keluarga, lembaga pendidikan maupun masyarakat.

Kedua, redaksi "Kami membagi" mengisyaratkan keterlibatan selain Allah SWT dalam pembagian rezeki. Misalnya, Malaikat Mikail yang memimpin para malaikat pembagi rezeki. Majikan yang memberi gaji pegawai. Orangtua yang menafkahi anak. Dermawan yang berbagi derma kepada yatim piatu, fakir miskin dan dhuafa. Konsumen yang membeli produk melalui distributor maupun produsen.

Ketiga, perbedaan pembagian rezeki manusia, berimplikasi pada terbentuknya strata ekonomi di kalangan masyarakat. Strata ekonomi ini mencerminkan keunggulan satu golongan di atas golongan lain yang merentang luas, mulai dari status super kaya, kaya, menengah atas, menengah bawah, miskin hingga fakir. Catatan pentingnya, strata ekonomi bukanlah indikator jauh-dekatnya hubungan seseorang dengan Allah SWT. Nabi Sulaiman AS dan Rasulullah SAW membuktikan bahwa status kaya dan miskin, sama-sama tidak mengganggu upaya taqarrub kepada Allah SWT.

Keempat, salah satu hikmah strata ekonomi adalah berjalannya roda kehidupan manusia. Misalnya, orang yang membutuhkan uang, rela mengerjakan tugas atau pekerjaan yang diamanatkan oleh orang yang memiliki uang. Seandainya semua manusia kaya, tentu tidak akan ada lagi yang berkenan mengerjakan tugas atau pekerjaan tersebut. Di sisi lain, relasi ini membuktikan bahwa manusia itu saling membutuhkan satu sama lain. Misalnya, pegawai membutuhkan gaji dari majikan; sedangkan majikan membutuhkan pegawai untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Oleh sebab itu, keduanya perlu rendah hati, kendati realitanya banyak majikan yang tinggi hati.

Kelima, penutup ayat mengajarkan bahwa seberapapun banyaknya koleksi aset atau harta yang dimiliki seseorang, tidak akan mengalahkan pentingnya rahmat Ilahi bagi orang tersebut. Bukankah banyak orang yang rela "menukar" kekayaannya yang melimpah, dengan kesehatan, karena dia menderita penyakit kronis yang menjadikan hidup serba sulit? Atas dasar itu, orang miskin tidak perlu iri hati kepada orang kaya; karena bisa jadi orang kaya tersebut mengalami krisis rahmat Ilahi, seperti sakit-sakitan, keluarga berantakan (broken home), malas beribadah, bahkan berstatus non-muslim. Sebaliknya, orang kaya tidak perlu tinggi hati kepada orang miskin, karena bisa jadi orang miskin tersebut dilimpahi rahmat Ilahi, seperti kesehatan, keharmonisan keluarga, semangat ibadah dan berstatus muslim.