Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

KH. Bisri Mustofa (1915-1977)

Jejak dari Buaian hingga Liang Lahad

KH. Bisri Mustofa (1915-1977)
             
Nama asli beliau adalah Mashadi. Lahir tahun 1915, di Kampung Sawahan, Gang Palen, Rembang, Jawa Tengah. Ayahdanda, H. Zainal Mustofa (pedagang kaya) dan ibunda, Hj. Chodijah (keturunan Makasar). Kiai Bisri adalah anak pertama dari empat bersaudara, yaitu Salamah (Aminah), Misbah dan Mashum. Keempatnya merupakan anak kandung pasangan H. Zainal-Hj. Chodijah. Sebelumnya, H. Zainal menikahi Dakilah dan dikaruniai dua anak: H. Zuhdi dan H. Maskanah. Demikian halnya, Hj. Chodijah pernah menikah dengan Dalimin dan dikaruniai dua anak: Achmad dan Tasmin.
             
Pada tahun 1923, H. Zainal mengajak Mashadi (usia 8 tahun) untuk menunaikan ibadah haji bersama seluruh anggota keluarga. Selama menunaikan haji, H. Zainal sering sakit-sakitan, hingga akhirnya wafat seusai berhaji, sesaat sebelum pulang ke tanah air. Sepulangnya dari haji, Mashadi mengganti nama menjadi Bisri, sehingga kemudian akrab dengan sebutan Bisri Mustofa.
             
Kiai Bisri beserta keluarga sempat berpindah-pindah rumah, hingga menetap di Leteh. Di desa inilah beliau membangun pesantren yang merupakan kelanjutan dari Pesantren Kasingan milik Kiai Cholil, yang terpaksa bubar pada masa Jepang (1943).
             
Dari pernikahan dengan Nyai Ma’rufah, Kiai Bisri dikaruniai delapan anak, yaitu: Cholil, Mustofa, Adib, Faridah, Najihah, Labib, Nihayah dan Atikah. Pada tahun 1967, Kiai Bisri menikah lagi dengan Umi Atiyah asal Tegal, dan dikaruniai anak laki-laki bernama Maemun.
             
Kiai Bisri (usia 64 tahun) wafat pada hari Rabu, tanggal 17 Februari 1977, menjelang Ashar di RSU Dr. Karyadi Semarang, karena serangan jantung, tekanan darah tinggi dan gangguan pada paru-paru.
             
Ajaibnya, ada seseorang dari Cirebon yang mengaku diberi pesan oleh Kiai Bisri; padahal saat itu beliau sudah wafat 40 hari sebelumnya. Kemudian orang tersebut menyampaikan pesan Kiai Bisri kepada putra beliau, yaitu KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), agar mengoreksi Mushaf al-Qur’an cetakan Menara Kudus, karena terdapat sedikit kesalahan penulisan dalam Surat al-Fath. Keesokan harinya, Gus Mus segera menemui KH. Abu Amar dan KH. Arwani di Kudus, terkait “pesan ajaib” Kiai Bisri di atas. Setelah berdiskusi mendalam, ternyata informasi tersebut benar. Kesalahan yang dimaksud Kiai Bisri terdapat pada Surat al-Fath ayat 18, yang tertulis “laqad radhiyallahu 'alal-mu'minin” (memakai kata ‘ala), padahal sehar usnya “laqad radhiyallahu ‘anil-mu’minin” (memakai kata ‘an). Peristiwa ini merupakan contoh karamah Kiai Bisri.

Jejak Akademik dan Non-Akademik
             
Jejak akademik Kiai Bisri dimulai dari Sekolah Jawa (Sekolah Ongko Loro) selama tiga tahun dan lulus mendapatkan sertifikat. Kiai Bisri juga belajar mengaji al-Qur’an kepada Kiai Cholil Sawahan dan kakak beliau sendiri, H. Zuhdi.
             
Pada tahun 1925, Kiai Bisri (usia 10 tahun) melanjutkan studi ke Pesantren Kajen, pimpinan Kiai Chasbullah. Baru tiga hari mondok, Kiai Bisri sudah tidak kerasan, sehingga memutuskan pulang ke Rembang. Tahun 1926, Kiai Bisri diperintahkan H. Zuhdi untuk mondok di Pesantren Kasingan yang diasuh Kiai Cholil. Pada periode pertama, Kiai Bisri merasa tidak kerasan, sehingga memutuskan berhenti mondok. Setelah beberapa tahun hanya bermain dengan teman-teman sekampungnya, Kiai Bisri kembali diperintahkan mondok di Pesantren Kasingan pada tahun 1930. Pada periode kedua ini, Kiai Bisri tidak langsung belajar kepada Kiai Cholil, melainkan belajar terlebih dulu kepada ipar Kiai Cholil yang bernama Suja’i. Oleh Suja’i, Kiai Bisri hanya diajari satu kitab saja, yaitu Alfiyah Ibnu Malik (gramatika Arab). Setiap hari Kiai Bisri hanya belajar satu kitab itu saja, sehingga beliau sangat menguasainya. Setelah mempelajari Alfiyah selama dua tahun, beliau diperkenankan mengikuti pengajian Alfiyah di bawah bimbingan Kiai Cholil, namun harus duduk paling depan. Setiap ada pertanyaan dari Kiai Cholil, Kiai Bisri selalu menjadi santri pertama yang ditanya dan beliau mampu menjawab pertanyaan tersebut dengan tangkas. Satu tahun kemudian, Kiai Bisri mengikuti pengajian kitab Fathul Mu’in (Fikih), dilanjutkan Fathul Wahhab, Iqna’, Jam’ul Jawami’ dan ‘Uqudul Juman.
             
Pada tahun 1932, Kiai Bisri meminta restu Kiai Cholil untuk pindah ke Pesantren Termas yang diasuh Kiai Dimyati. Namun, Kiai Cholil dengan keras melarang Kiai Bisri, sehingga beliau tetap tinggal di Kasingan. Pada tahun 1934, Kiai Bisri sempat dijodohkan oleh Kiai Cholil dengan putri Kiai Murtadho Tuban. Akan tetapi, perjodohan tersebut batal. Selang beberapa tahun kemudian, Kiai Cholil menjodohkan Kiai Bisri dengan putrinya sendiri yang bernama Ma’rufah. Pada bulan Juni 1935, dilaksanakanlah akad pernikahan Kiai Bisri (usia 20 tahun) dengan Nyai Ma’rufah (usia 10 tahun). Pada tahun itu juga, Kiai Cholil memerintahkan Kiai Bisri agar ikut khataman kitab Bukhari-Muslim kepada Hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
             
Pasca wafatnya Kiai Dimyati Termas, banyak santri asal Pesantren Termas yang pindah ke Pesantren Kasingan. Kebanyakan mereka meminta mengaji kepada Kiai Bisri. Karena belum pernah mengaji kitab-kitab yang diminta oleh para santri tersebut, akhirnya Kiai Bisri memakai prinsip “belajar candak kulak” (belajar sambil mengajar). Praktiknya, Kiai Bisri belajar kitab di Karang Geneng bersama Kiai Kamil dan Kiai Fadholi. Kemudian hasil belajar itulah yang diajarkan kepada para santri. Akibatnya, jadwal mengaji di Pesantren Kasingan harus disesuaikan dengan jadwal belajar Kiai Bisri di Karang Geneng. Jika Pesantren Karang Geneng libur, Pesantren Kasingan pun ikut libur, karena Kiai Bisri merasa kehabisan bahan.
             
Tidak betah dengan model “belajar candak kulak”, Kiai Bisri nekat pergi ke Mekkah dengan uang tabungan dan hasil jual kitab. Harga tiket haji saat itu sebesar Rp. 185,-. Pada tahun 1936, Kiai Bisri berangkat haji ke Mekkah tanpa bekal yang cukup, sehingga selama di Mekkah, terpaksa menumpang di rumah Syaikh Chamid Said sebagai pembantu. Menjelang rombongan haji pulang ke tanah air, Kiai Bisri sedih teringat bahwa beliau menjadi menantu kiai dengan ilmu yang pas-pasan. Lalu beliau memutuskan bermukim di Mekkah untuk memperdalam ilmu dan berguru pada Kiai Baqir (belajar kitab Lubbul Ushul, ‘Umdatul Abrar dan Tafsir al-Kasysyaf), Syaikh Umar Chamdan al Maghribi (Shahih Bukhari-Muslim), Syekh Maliki (Al-Asybah wa al-Nazha’ir dan Aqwal al-Sunan al-Sittah), Sayyid Amin (Ibnu ‘Aqil), Syekh Hasan Masysyat (Minhaj Dzawin Nazhar), Sayyid Alwi (Tafsir al-Jalalayn), dan Kiai ‘Abdullah Muhaimin (Jam’ul Jawami’).

Setelah setahun belajar di Mekkah, Kiai Bisri mendapat surat dari Kiai Cholil agar segera pulang ke Rembang. Sepulangnya dari Mekkah (1937), tugas dan waktu mengajar Kiai Bisri semakin bertambah banyak. Apalagi wafatnya Kiai Cholil (1939), membuat Kiai Bisri diberi mayoritas tanggung jawab mengurus pesantren.

Jejak Perjuangan dan Kepahlawanan
             
Pada tahun 1943, Jepang mengadakan latihan alim-ulama di Jakarta selama satu bulan. Kiai Bisri menjadi delegasi dari Pati, Jawa Tengah, sehingga membuat beliau berkesempatan dididik oleh KH. Wahab Hasbullah, H. Agus Salim dan KH. Mas Mansur. Sebagai alumnus pelatihan, Kiai Bisri ditugaskan menjadi Ketua MASYUMI (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) Kabupaten Rembang. Kiai Bisri juga ditunjuk sebagai Wakil Ketua Kantor Urusan Agama (Shumuka) di daerah Karisidenan Pati, sedangkan Ketua Shumuka dijabat KH. Abdul Manan. Sebagai pegawai Shumuka, Kiai Bisri bertugas memberi pidato keliling ke pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan di Karisidenan Pati yang meliputi 5 Kabupaten dan 22 Kawedanan, untuk membangkitkan semangat kerja para pegawai dan pekerja.
             
Setelah Indonesia merdeka, tentara Sekutu ingin merebut kembali Indonesia dari tangan Jepang. Di tengah situasi pergolakan itu, Kiai Bisri keluar dari Shumuka dan memilih berjuang bersama tentara Hizbullah. Sejak itulah keluarga Kiai Bisri semakin melarat, karena beliau tidak bisa bekerja lagi. Ketika keadaan semakin mendesak, Kiai Bisri terpaksa mencabut gigi emas yang dipakai untuk dijual dengan harga Rp. 400,- .
             
Situasi pasca kemerdekaan yang masih panas, memaksa Kiai Bisri beserta keluarga pindah ke Pare, Kediri. Selang beberapa waktu, Kiai Bisri kedatangan tamu dari Rembang yang melaporkan bahwa Rembang dalam keadaan bahaya, karena dikepung tentara-tentara PKI. Mereka meminta bala tentara dari Jawa Timur. Kiai Bisri segera ke Kediri menemui KH. Mahrus, lalu ke Tambak Beras menemui KH. Abdul Wahhab Chasbullah dan Gus Cholik Hasyim yang menjabat sebagai Kepala Batalyon Hizbullah. Setelah itu dikirimlah bantuan tentara Hizbullah ke Rembang, hingga akhirnya terjadi pertempuran hebat antara tentara merah putih (Hizbullah) melawan tentara merah (PKI). Setelah pertempuran sengit, tentara PKI berhasil diusir dari Rembang. Sebulan setelah peristiwa berdarah tersebut, Kiai Bisri beserta keluarga diminta kembali ke Rembang, yang akhirnya menjadi tempat tinggal beliau hingga wafat.

Jejak Prestasi dan Legacy
             
Ada dua warisan utama Kiai Bisri. Pertama, Pondok Pesantren Raudhatuth Thalibin, Leteh, Rembang. Kedua, karya tulis di berbagai bidang ke-Islam-an yang mencapai 176 judul. Bahasa pengantarnya berbagai versi: bahasa Jawa bertuliskan Arab Pegon; bahasa Indonesia bertuliskan Arab Pegon; bahasa Indonesia bertuliskan huruf Latin; serta bahasa Arab murni. Di antara judul karya beliau adalah: 1) Tafsir al-Ibriz li Ma’rifati al-Qur’an al-‘Azizi bi al-Lughati al-Jawiyyah (Tafsir al-Qur’an); 2) Al-Iksir fi Tarjamah ‘Ilmi Tafsir (Ilmu Tafsir); 3) Tarjamah Manzumah al-Baiquni (Ilmu Hadis); 4) Sullamul Afham Tarjamah Bulughul Maram (Hadis); 5) Sullamul Afham Tarjamah Aqidatul Awam (Akidah); 6) Buku Islam dan Shalat (Fikih); 7) Tarjamah Nazham al-Faraidul Bahiyah (Kaidah Fikih); 8) Al-Washaya lil-Aba’ wal-Abna’ (Akhlak); 9) Tarjamah Syarah Alfiyah Ibnu Malik (Nahwu-Sharaf); 10) Nazham al-Sullam al-Munawwaraq (Manthiq); 11) Tarikh al-Auliya’ (Sejarah); 12) Syi’ir Mitra Sejati (Syair). Karya-karya ini umumnya ditujukan kepada dua kelompok sasaran. Pertama, kelompok santri yang belajar di Pesantren. Kedua, kelompok masyarakat umum di pedesaan yang belajar di Surau atau Mushalla.
             
Dari seluruh karya di atas, Tafsir al-Ibriz tergolong karya masterpiece Kiai Bisri. Tafsir al-Ibriz merupakan kitab tafsir al-Qur’an yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar, namun ditulis dalam bentuk huruf Arab Pegon. Terdiri dari 3 (tiga) jilid besar yang mencapai 2.270 halaman. Ditulis dalam kurun waktu kurang-lebih empat tahun (1957-1960) dan selesai pada hari Kamis tanggal 28 Januari 1960, ketika Kiai Bisri berusia 45 tahun. Tafsir al-Ibriz ini diterbitkan oleh Menara Kudus.
             
Terkait motivasi yang melandasi produktivitas berkarya-tulis, Kiai Bisri sempat memberitahu KH. Ali Ma’shum Krapyak, “Menulis dengan niat mencari nafkah untuk kehidupan keluarga sangat wajar, dan saya ingin mendapatkan fulus (uang); pahala dari Allah tidak perlu diminta, itu sudah otomatis”.

NB: Tulisan ini disarikan dari sejumlah sumber.

Rosidin