Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pergeseran Guru Humanis Menjadi Mekanis


Dr. Rosidin, M.Pd.I

http://www.dialogilmu.com

Guru Mekanis
Jika Murid Pusparagam Dimaklumi, Mengapa Guru Pusparagam Tidak?

Perkembangan IPTEK telah mengubah wajah guru Indonesia, dari humanis menjadi mekanis. Sebagai manusia, guru secara kodrati beraneka-ragam, namun dipaksa seragam layaknya mesin melalui penggunaan teknologi-teknologi mekanis di lembaga-lembaga pendidikan.

Diawali dari keharusan guru untuk melakukan finger print sebagai bukti kehadiran di kelas. Parahnya, finger print dijadikan sebagai prasyarat utama untuk pencairan gaji guru. Bagi minoritas guru yang tidak mengikuti sistem ini, siap-siap saja tidak memperoleh gaji yang merupakan haknya. Seolah tiada lagi ruang bagi aksi-aksi humanis guru yang lebih mengedepankan keikhlasan hadir di kelas, kendati tidak tercatat dalam rekam finger print. Implikasinya, guru yang sepanjang hari mengajar di kelas, namun tidak berkenan melakukan finger print, gajinya akan kalah saing dengan guru yang sepanjang hari di luar kelas, namun aktif melakukan finger print di pagi dan sore hari. Guru mekanis 1, guru humanis 0.

Implementasi Kurikulum 2013 menuntut setiap guru untuk mematuhinya 100%. Akibatnya, para guru dipaksa menjadi guru kurikulum. Yaitu guru yang amat patuh pada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan. Sistem sekolah di Indonesia hanya memberi tempat bagi guru kurikulum, sehingga jumlahnya mencapai 99%. (Rhenald Kasali: 2014). Guru kurikulum akan menguras banyak waktu, tenaga dan konsentrasi untuk kepentingan penyusunan dokumen kurikulum (Silabus, RPP), sehingga pendidikan di Indonesia lebih menomor-satukan administrasi pengajaran (administrative teaching) dibandingkan komitmen pembelajaran (committed learning). Implikasinya, guru yang mengajar berbasis dokumen silabus dan RPP, namun tidak mampu menciptakan antusiasme belajar siswa-siswinya, dipandang lebih unggul daripada guru yang mengajar tanpa dilandasi dokumen silabus dan RPP, kendati mampu menciptakan antusiasme belajar siswa-siswinya. Guru mekanis 2, guru humanis 0.

Kelas-kelas modern dilengkapi dengan proyektor. Guru tinggal menyalakan laptop untuk menampilkan slide pembelajaran. Kesan kuno membuat papan tulis semakin jarang digunakan oleh guru. Implikasinya, guru yang mengajar menggunakan slide dipandang lebih kekinian, meskipun slide tersebut sudah berulang-ulang ditampilkan dari tahun ke tahun tanpa ada revisi. Sebaliknya, guru yang mengajar menggunakan papan tulis dipandang kuno dan kolot, meskipun materi pembelajaran yang disajikan di papan tulis selalu baru (fresh). Dengan kata lain, guru yang monoton namun menggunakan proyektor, dipandang lebih hebat daripada guru yang kreatif namun menggunakan papan tulis. Guru mekanis 3, guru humanis 0.

IPTEK pula yang memudarkan peran dan pamor guru sebagai sumber ilmu. Kehadiran teknologi terbaru seperti smartphone yang menjamin ketersediaan ilmu tanpa batas, membuat sebagian guru tertatih-tatih untuk mengikuti laju informasi agar tidak kalah saing dengan siswa-siswi. Bagi minoritas guru yang gagap teknologi –biasanya guru senior–, dianggap tidak lagi memiliki kompetensi yang memadai untuk mendidik siswa-siswi masa kini. Secara perlahan, jam pengajaran mereka mulai dikurangi, bahkan akhirnya digantikan oleh guru-guru baru yang lebih muda dan mahir teknologi. Tiada lagi penghormatan terhadap jasa-jasa para guru tersebut di masa lalu. Mereka diperlakukan layaknya mesin ketik yang harus diganti dengan komputer, karena dipandang sudah tidak fungsional. Padahal guru-guru senior tersebut memiliki kebijaksanaan yang tinggi, kendati gagap teknologi. Sedangkan guru-guru muda memiliki kebijaksanaan yang relatif rendah, kendati mahir teknologi. Guru mekanis 4, guru humanis 0.

Empat contoh kasus di atas merupakan bukti argumentatif terjadinya pergeseran guru humanis menjadi mekanis. Agar pendidikan di Indonesia tidak didominasi oleh guru mekanis, maka diperlukan langkah-langkah solutif untuk memberi ruang yang cukup bagi guru humanis. Dalam hal ini, pimpinan lembaga pendidikan seharusnya menginsafi keanekaragaman guru sebagai manusia yang heterogen, bukan mesin yang homogen. Bentuk konkretnya antara lain:

Pertama, menyusun regulasi menjadi dua, yaitu regulasi inti dan regulasi dispensasi. Misalnya, kepala sekolah mengharuskan setiap guru untuk melakukan finger print sebagai regulasi inti. Namun ketika ada sebagian guru yang tidak berkenan melakukannya, tidak sampai membuat guru tersebut kehilangan hak-haknya. Ini contoh regulasi dispensasi.  

Kedua, tujuan pendidikan lebih diprioritaskan dibandingkan teknologi pendidikan. Misalnya, guru yang tidak pernah membuat dokumen pembelajaran seperti silabus dan RPP, namun diterima sepenuh hati oleh siswa-siswi, seharusnya dipertahankan keberadaannya; sedangkan urusan silabus dan RPP dapat dilimpahkan kepada tenaga khusus yang menangani teknologi pendidikan.

Ketiga, pendidikan tidak hanya terdiri dari kurikulum tertulis, melainkan juga kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Misalnya, guru yang kaya kepribadian terpuji, namun gagap teknologi, dinilai jauh lebih berharga daripada guru yang mahir teknologi, namun miskin kepribadian terpuji.

Wallahu A’lam bi al-Shawab.