Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tafsir Tarbawi Tematik: Pendidikan


Dr. Rosidin, M.Pd.I

http://www.dialogilmu.com

Pendidikan
Praktik Pendidikan Qur'ani

Ada banyak term al-Qur’an yang relevan dengan pendidikan. Pada kesempatan ini, penulis mencukupkan diri pada lima term pendidikan Islam yang populer, yaitu: Tarbiyyah, Tadris, Tazkiyyah, Ta’lim dan Irsyad.

Identifikasi Term Tarbiyyah dan Derivasinya

Pendidikan Islam lebih populer disebut Tarbiyyah, seperti yang tercermin dalam penamaan nama fakultas pendidikan Islam, yaitu Fakultas Tarbiyah. Akar kata Tarbiyyah adalah Rabb. Di tengah minimnya penelitian ilmiah tentang Rabb sebagai akar kata pendidikan Islam, penulis pribadi pernah menyusun tesis –yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku– tentang tafsir tarbawi tematik yang menelaah term Rabb dan derivasinya dalam seluruh al-Qur’an.

Term Rabb dan derivasinya disebutkan sebanyak  980 kali dalam 871 ayat dan 21 bentuk kata. Di antara simpulan tafsir tematik tarbawi term Rabb yang penting untuk diketengahkan di sini adalah sumber primer ilmu pendidikan Islam adalah Allah SWT, melalui sumber wahyu berupa al-Qur’an dan al-Sunnah. Sedangkan sumber sekunder ilmu pendidikan Islam adalah manusia, melalui panca indra, akal dan hati 1.

Kata Rabb sudah muncul sejak wahyu pertama, tepatnya pada Surat al-‘Alaq [96]: 1 dan 3. Keduanya dikaitkan dengan perintah membaca (إقْرَأْ). Perpaduan ini mengisyaratkan bahwa tugas manusia adalah membaca, sedangkan ‘tugas’ Allah SWT adalah memberi pemahaman. Dengan kata lain, manusia dituntut untuk berikhtiar belajar, sedangkan Allah SWT yang menentukan kualitas dan kuantitas hasil belajar manusia.

Itulah kiranya hikmah mengapa term Rabb yang terakhir kali turun dikaitkan dengan sikap tawakkal, perhatikan Surat al-Taubah [9]: 129 berikut:

فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung". (Q.S. al-Taubah [9] 129).

Agar mendapatkan pemahaman yang lebih utuh tentang ayat ini, maka perlu mempertimbangkan ayat sebelumnya, yaitu:

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin. (Q.S. al-Taubah [9] 128).

Surat al-Taubah [9]: 128 menyangkut peran Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT yang mendidik dengan penuh antusias (harish), lemah lembut (ra’uf) dan kasih sayang (rahim). Dengan performa pendidik yang sangat ideal seperti itu saja, masih ada sekelompok orang yang tidak menyambut baik pendidikan yang diberikan.

Oleh sebab itu, sikap tawakkal perlu dikedepankan, karena tugas pendidik adalah mendidik semata, sedangkan hasil pendidikan semata-mata ditentukan oleh Allah SWT. Dengan kata lain, pendidik bertugas memberi informasi ilmu, sedangkan seberapa banyak informasi ilmu yang dapat ditangkap oleh peserta didik, itu sudah menjadi wewenang Allah SWT.

Agar lebih memahami konsep yang tergolong cukup rumit ini, menarik untuk menyimak uraian Jasser Auda terhadap kata mutiara Ibn ‘Athaillah berikut ini:

أَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ، فَمَا قَامَ بِهِ غَيرُكَ عَنْكَ لاَ تَقُمْ بهِ لِنَفْسِكَ

Istirahatkan dirimu dari mengurusi hasil (tadbir). Apa yang sudah diurusi oleh yang lain, tidak perlu kamu urusi sendiri.

Tawakkal kepada Allah SWT bukan berarti tidak relevan dengan kebanyakan aktivitas-aktivitas masa ini, misalnya merencanakan, melakukan studi kelayakan, menganalisis pasar, dan seterusnya. Seluruhnya adalah bagian dari tawakkal kepada Allah SWT, karena dengan merencanakan, mengorganisasikan dan mempelajari, kita sedang mengikuti media-media kesuksesan. Lalu, jika Anda gagal, itu adalah keputusan Allah SWT; dan jika Anda sukses, itu adalah keputusan Allah SWT juga. Dalam kedua kasus ini, Anda tidak perlu mengkhawatirkan hasil-hasil suatu pekerjaan, melainkan fokus pada pekerjaan itu sendiri 2.

Adapun Rabb dalam bentuk kata kerja (fi’il) disebutkan dua kali, masing-masing pada Surat al-Isra’ [17]: 24 yang mengacu pada pendidikan yang diberikan oleh kedua orang tua kepada anaknya; dan Surat al-Syu‘ara’ [26]: 18 yang mengacu pada pendidikan yang diberikan oleh Fir’aun dan keluarganya kepada Nabi Musa AS.

Identifikasi Term Tadris dan Derivasinya

Kata yang relevan dengan Tadris disebutkan 6 (enam) kali dalam al-Qur’an. Ayat yang pertama adalah Surat al-Qalam [68]: 37

أَمْ لَكُمْ كِتَابٌ فِيهِ تَدْرُسُونَ
Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya? (Q.S. al-Qalam [68]: 37)

Sedangkan ayat terakhir yang berkaitan dengan Tadris adalah Surat Ali ‘Imran [3]: 79

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya a-Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 79)

Dua ayat di atas mengisyaratkan bahwa Tadris berkaitan dengan kegiatan pendidikan yang menjadikan kitab suci sebagai objek telaahnya. Hal ini diperkuat oleh salah satu Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Abu Hurairah RA berikut ini:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ... وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ ... (رَوَاهُ مُسْلِمُ)

Rasulullah SAW bersabda: “…. barangsiapa meniti di jalan mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan menuju surga; suatu kaum yang berkumpul pada suatu rumah Allah untuk membaca (tilawah) dan mempelajari (tadris) Kitabullah, niscaya ketenangan hati (sakinah) akan melimpahi mereka; rahmat akan melingkupi mereka; malaikat akan mengelilingi mereka; dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di hadapan makhluk di sisi-Nya ....” (H.R. Muslim).

Identifikasi Term Tazkiyyah dan Derivasinya

Derivasi kata Tazkiyah disebutkan 59 kali dalam 56 ayat. Ayat yang pertama kali turun dalam konteks Tazkiyah adalah Surat al-A’la [87]: 14

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى

Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). (Q.S. al-A’la [87]: 14)

Sedangkan ayat yang terakhir kali turun menyangkut Tazkiyah adalah Surat al-Taubah [9]: 103

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ  

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. (Q.S. al-Taubah [9]: 103)

Perpaduan antara dua ayat di atas mengisyaratkan bahwa parameter kesuksesan seseorang adalah kualitas kejernihan hatinya. Orang yang hatinya jernih dinilai sukses, sebaliknya orang yang keruh hatinya dinilai ‘gagal’. Sedangkan salah satu media untuk menjernihkan hati adalah menjalankan kewajiban-kewajiban Islam, terutama rukun Islam seperti shalat dan zakat.

Identifikasi Term Ta’lim dan Derivasinya

kata Ta’lim adalah ‘Allama. ‘Allama dan derivasinya disebutkan sebanyak 41 kali. Analisis terhadap 41 term ‘Allama dan derivasinya menunjukkan keragaman sumber Ta‘lim. Allah SWT sebagai sumber Ta‘lim disebutkan sebanyak 24 kali, sisanya mengacu pada selain Allah SWT sebagai sumber Ta‘lim 3.

Allah SWT sebagai sumber Ta’lim sudah muncul pada wahyu pertama, tepatnya Surat al-‘Alaq [96]: 4-5.

الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)

Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. al-‘Alaq [96]: 4-5).
Ayat terakhir yang berhubungan dengan Ta’lim adalah Surat al-Rahman [55]: 4
عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
Dia (Allah) mengajarnya al-Bayan (Q.S. al-Rahman [55]: 4)

Pengertian al-Bayan menurut Ibn ‘Asyur adalah kemampuan untuk menjelaskan apa yang ada pada diri manusia, sehingga dapat diambil manfaat oleh orang lain maupun dirinya sendiri 4.

Sedangkan Sayyid Thanthawi menyatakan bahwa al-Bayan adalah pemahaman, pengucapan dan kefasifan untuk berbicara yang alatnya adalah lidah. Jadi, Allah SWT memberi kemampuan kepada manusia memperoleh kefasihan dalam mengungkapkan isi hatinya melalui pikiran yang sehat dan perkataan yang jelas, sebagaimana dia mempunyai kemampuan untuk memahami perkataan orang lain. Inilah yang membedakan manusia dengan jenis makhluk lainnya, sehingga manusia layak untuk mengemban amanat yang tidak mampu diemban oleh langit, bumi, dan gunung-gunung. Sehingga manusia memang sudah siap menerima ilmu-ilmu dan kekhalifahan di muka bumi ini 5.   

Dengan demikian, ayat yang pertama maupun yang terakhir kali turun menyangkut Ta’lim menunjukkan bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Mengajari manusia, baik melalui media berupa al-Qalam dan al-Bayan (baca: Ilmu Kasbi) maupun tanpa media (Ilmu Ladunni), sehingga membuat manusia memiliki ilmu pengetahuan.

Identifikasi Term Irsyad dan Derivasinya

Kata Irsyad dan derivasinya ditemukan sebanyak 19 kata dalam 19 ayat. Ayat pertama adalah Surat al-A’raf [7]: 146

سَأَصْرِفُ عَنْ آَيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آَيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا وَكَانُوا عَنْهَا غَافِلِينَ

Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombong-kan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya. (Q.S. al-A’raf [7]: 146)

Sedangkan ayat terakhir adalah Surat al-Hujurat [49]: 7

وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ

Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. mereka Itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. (Q.S. al-Hujurat [49]: 7)

Ayat pertama menunjukkan bahwa Irsyad tidak diberikan kepada orang-orang yang sombong, khususnya mereka yang mendustakan dan melalaikan ayat-ayat Allah SWT. Irsyad secara maksimal direngkuh oleh orang-orang yang hatinya mencintai keimanan, bahkan keimanan menjadi hiasan hatinya; hati mereka juga membenci kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.

Materi Pokok Tafsir Tarbawi: Surat al-Baqarah [2]: 129

Rasionalisasi pemilihan Surat al-Baqarah [2]: 129 sebagai materi pokok tafsir tarbawi adalah ayat ini secara eksplisit memuat tiga term yang relevan dengan pendidikan Islam, yaitu Tarbiyyah, Ta’lim dan Tazkiyyah; sedangkan secara implisit berhubungan dengan dua term lainnya, yaitu Tadris yang menjadikan kitab suci sebagai objek utama telaahnya dan Irsyad yang berorientasi pada pembinaan jiwa yang selaras dengan nilai-nilai keimanan dan jauh dari kekufuran.

رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Quran) dan al-Hikmah (al-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Baqarah [2]: 129)

Quraish Shihab menyatakan bahwa urutan doa Nabi Ibrahim AS dalam Surat al-Baqarah [2]: 129 ini sungguh sangat serasi. Doa tersebut dimulai dengan permohonan kehadiran rasul yang menyampaikan tuntunan Allah SWT, yakni membacakan al-Qur’an, selanjutnya permohonan untuk mengajarkan makna dan pesan-pesannya, lalu pengetahuan yang menghasilkan kesucian jiwa dan ini berakhir dengan pengamalan sesuai dengan tuntunan Allah SWT 6.

Doa Nabi Ibrahim AS di atas menyebut Allah SWT dengan redaksi Rabbana, yang bermakna Tuhan Yang Maha Mendidik kami, sehingga relevan untuk dikaikan dengan pendidikan Islam dalam konteks Tarbiyyah. Salah seorang pakar pendidikan Islam kontemporer yang sepakat dengan penggunaan istilah Tarbiyyah adalah Sa’id Isma’il ‘Ali. Definisi Tarbiyyah menurut Sa’id Isma‘il ‘Ali dalam Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah adalah: 

اَلتَّرْبِيَّةُ الإِسْلاَمِيَّةُ هِيَ: مَنْظُوْمَةٌ مُتَكَامِلَةٌ مِنْ نَسَقٍ مَعْرِفِيٍّ مِنَ الْمَفَاهِيْمِ، وَالْعَمَلِيَّاتِ، وَالأَسَالِيْبِ، وَالْقِيَمِ، وَالتَّنْظِيْمَاتِ الَّتِيْ يَرْتَبِطُ بَعْضُهَا بِالْبَعْضِ الأَخَرِ فِي تآزُرٍ وَاتِّسَاقٍ عَلَى التَّصَوُّرِ الإِسْلاَمِيِّ للهِ وَالْكَوْنِ وَالإِنْسَانِ وَالْمُجْتَمَعِ، وَتَسْعَى إِلَى تَحْقِيْقِ الْعُبُوْدِيَّةِ للهِ بِتَنْمِيَّةِ الإِنْسَانِ بِصِفَتِهِ فَرْدًا وَجَمَاعَةً مِنْ جَوَانِبِهَا الْمُخْتَلِفَةِ بِمَا يَتَّفِقُ، وَالْمَقَاصِدِ الكُلِّيَةِ لِلشَّرِيْعَةِ الَّتِيْ تَسْعَى لِخَيْرِ الإِنْسَانِ فِي الدُّنْيَا وَالأَخِرَةِ.

Tarbiyyah Islamiyyah (Pendidikan Islam) adalah suatu sistem komprehensif yang disusun secara ilmiah dari teori-teori, praktik-praktik, metode-metode, nilai-nilai; serta sub-sub sistem yang saling berhubungan secara sinergis dan harmonis yang merepresentasikan konsepsi Islami tentang Allah SWT, alam semesta, manusia dan masyarakat; yang bertujuan untuk merealisasikan penghambaan kepada Allah SWT (‘ubudiyyah) dengan cara menumbuh-kembangkan seluruh potensi manusia sebagai makhluk individual maupun sosial dari berbagai segi yang sesuai; serta bertujuan merealisasikan maksud-maksud universal Syari’at Islam (Maqashid al-Syariah al-Kulliyyah) yang mengupayakan kebaikan manusia di dunia dan akhirat 7.   

Di antara gelar yang diberikan kepada orang yang mampu menginternalisasikan karakteristik Tarbiyyah Islamiyyah di atas adalah Rabbani. Seorang Rabbani –menurut Surat Ali ‘Imran [3]: 79– paling tidak melakukan dua hal. Pertama, terus-menerus mengajarkan kitab suci [yakni al-Qur’an]. Kedua, terus-menerus mempelajarinya. Bahwa seorang Rabbani harus terus-menerus mengajar karena manusia tidak pernah luput dari kekurangan. Seandainya si A sudah tahu, si B dan si C boleh jadi belum, atau lupa, atau mereka adalah generasi muda yang selama ini belum mengetahui. Itu dari satu sisi.

Dari sisi lain, Rabbani bertugas terus-menerus membahas dan mempelajari kitab suci, karena firman-firman Allah SWT sedemikian luas kandungan maknanya, sehingga semakin digali, semakin banyak yang dapat diraih, walaupun yang dibaca adalah teks yang sama. Kitab Allah yang tertulis tak ubahnya Kitab Allah yang terhampar, yaitu alam semesta. Walaupun alam semesta sejak diciptakannya hingga kini tidak berubah, rahasia yang dikandungnya tidak pernah habis terkuak. Rahasia-rahasia alam tidak henti-hentinya terungkap, dan dari saat ke saat ditemukan hal-hal baru yang belum ditemukan sebelumnya. Jika demikian, seseorang tidak boleh berhenti belajar, meneliti dan membahas, baik objeknya alam raya maupun kitab suci.

Selanjutnya yang ditemukan dalam bahasan dan penelitian itu hendaknya diajarkan pula sehingga bertemu antara mengajar dan meneliti dalam satu lingkaran yang tidak terputus, kecuali dengan putusnya lingkaran, yaitu dengan kematian seseorang. Bukankah pesan agama “Belajarlah dari buaian hingga liang lahat”? 8.

Aktivitas belajar-mengajar (pembelajaran) yang kontinu –terutama dalam menelaah al-Qur’an– itulah yang diistilahkan dengan Tadris. Istilah Tadris berarti kegiatan meneliti sesuatu guna diambil manfaatnya. Dalam konteks teks –baik kitab suci maupun selainnya– ia adalah membahas, mendiskusikan teks untuk menarik informasi dan pesan-pesan yang dikandungnya 9.

Akar kata Tadris adalah Darasa yang berarti membaca dengan seksama untuk menghafal atau mengerti. Ada juga yang membaca dengan memanjangkan huruf dal, yakni Daarasa dalam arti engkau membaca dan dibacakan. Bacaan ketiga adalah darasat yang berarti telah berulang 10. Dari sini muncul kata Dirasah yang bermakna mengulang-ulangi membaca dengan penuh perhatian, untuk memahami dan menghafal [suatu materi pelajaran]  11.

Melalui Tadris –khususnya Tadris al-Qur’an–, seseorang dapat merengkuh kejernihan hati (Tazkiyyah). Dalam Surat al-Baqarah [2]: 129, penyucian (Tazkiyyah) disebut terakhir oleh Nabi Ibrahim AS dalam doanya, sedangkan dalam Surat al-Baqarah [2]: 151, Allah SWT mendahulukan apa yang dimohon terakhir, tepatnya setelah pembacaan ayat-ayat-Nya dan sebelum mengajarkan al-Kitab dan al-Hikmah. Ini untuk menunjukkan bahwa membaca ayat-ayat Allah –walau sebelum memperoleh rahasia-rahasianya– telah dapat mengantar kepada kesucian jiwa. Demikianlah Allah SWT mengatur anugerah-Nya, pengaturan yang sesuai dengan yang terbaik bagi manusia 12.

Upaya sungguh-sungguh untuk menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji serta melakukan berbagai amal shalih juga dapat menjadikan jiwa seseorang suci, sebagaimana yang ditegaskan dalam Surat al-A’la [87]: 14 13 dan Surat al-Syams [91]: 9. Terkait ayat ini, al-Biqa’i menyajikan sebuah penafsiran yang artistik berikut:

Penyucian adalah upaya sungguh-sungguh manusia agar matahari kalbunya tidak mengalami gerhana dan bulannya pun tidak mengalami hal serupa. Ia harus berusaha agar siangnya tidak keruh dan tidak pula kegelapannya bersinambung. Cara untuk meraih hal tersebut adalah memerhatikan hal-hal spiritual yang serupa dengan hal-hal material yang digunaan Allah SWT untuk bersumpah dalam Surat [al-Syams] ini. Hal spiritual yang serupa dengan matahari adalah tuntunan kenabian. Semua yang berkaitan dengan kenabian adalah cahaya benderang serta kesucian yang mantap. Dhuha, yakni cahaya matahari saat naik sepenggalahan, adalah risalah kenabian itu, bulannya adalah kewaliannya. Siang adalah ‘irfan (pengetahuan suci), malamnya adalah ketiadaan ketenangan akibat terabaikannya zikir dan tiadanya perhatian terhadap tuntunan Ilahi serta berpalingnya diri dari menerima tuntunan kenabian dan kewalian Allah SWT. Kewalian yang dimaksud adalah tuntunan para ulama yang mengamalkan tuntunan Allah SWT, karena merekalah pada hakikatnya wali-wali Allah. Karena ‘Kalau bukan mereka, siapa lagi?’, tanya Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i 14.

Memang benar, di samping mata, telinga dan pikiran sebagai sarana meraih ilmu; al-Qur’an juga menggaris-bawahi pentingnya peranan kesucian hati (Tazkiyyah al-Nafs). Jika wahyu (al-Qur’an dan Hadis) dianugerahkan atas kehendak Allah SWT tanpa usaha dan campur tangan manusia, maka intuisi (Ilham) dapat diraih melalui penyucian hati. Itulah mengapa ilmuwan muslim menekankan pentingnya Tazkiyyah al-Nafs (penyucian hati) guna memperoleh hidayah (petunjuk atau pengajaran Allah SWT).

Orang yang durhaka memang dapat memperoleh ilmu Kasbi, namun ilmu mereka terbatas pada sebagian fenomena alam, bukan hakikat (nomena) maupun realitas di luar alam materi, seperti yang ditegaskan Surat al-Rum [30]: 6-7: “Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai15.

Tingkatan berikutnya adalah apabila seseorang sudah mencapai Tazkiyyah al-Nafs, berarti mereka sudah siap untuk menyambut materi pembelajaran melalui proses Ta’lim.

 ‘Abd al-Fattah al-Jalal menegaskan bahwa Ta’lim merupakan pendidikan yang ditujukan pada fase bayi, anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa. Ta’lim mencakup pendidikan pada aspek kognisi, namun tidak mengabaikan aspek afeksi dan psikomotorik. Pendapat ini berdasarkan analisisnya terhadap Surat al-Baqarah [2]: 151 dan sebuah Hadis riwayat Muslim 16:

مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلاَبَعْدَهُ، أَحْسَنَ تَعْلِيْمًا مِنْهُ

Tidak pernah kulihat seorang mu’allim (pendidik) sebelum dan sesudahnya [Nabi SAW], yang Ta’lim-nya lebih berkualitas (Ihsan) dibandingkan beliau [yakni Nabi SAW] 17.

Di antara tujuan utama Ta’lim adalah membina pribadi-pribadi yang Rasyid, yaitu pribadi yang memperoleh Irsyad. Akar kata Irsyad adalah Rusyd yang mengandung makna jalan lurus. Kata ini pada akhirnya bermakna ketepatan mengelola sesuatu serta kemantapan dan kesinambungan dalam ketepatan itu 18. Orang yang mendapat Rusyd juga berarti orang mengetahui jalan yang terbaik dan bertindak tepat, baik menyangkut soal dunia maupun akhirat  19.

Ketika menafsiri Surat al-Hujurat [49]: 7, Quraish Shihab menyatakan bahwa makna dasar Rusyd adalah ketepatan dan kelurusan jalan. Dari sini lahir kata Rusyd bagi manusia yang berarti kesempurnaan akal dan jiwa, sehingga menjadikan manusia mampu bersikap dan bertindak setepat mungkin. Orang yang telah menyandang sifat itu secara sempurna dinamai Rasyid, yang diartikan oleh al-Ghazali sebagai “dia yang mengalir penanganan dan usahanya ke tujuan yang tepat, tanpa harus dibimbing” 20.

Konklusi yang dapat dipetik dari bahasan di depan terkait lima istilah yang relevan dengan pendidikan Islam, yaitu Tarbiyyah, Tadris, Tazkiyyah, Ta’lim dan Irsyad, adalah:

Pertama, Tarbiyyah merupakan sistem pendidikan dalam Islam yang mengintegrasikan iman, ilmu, amal, akhlak dan seni untuk merealisasikan tujuan universal Syariat Islam (Maqashid Syariah), yaitu kebaikan manusia di dunia dan di akhirat, sebagaimana doa sapu jagat yang senantiasa diulang-ulang oleh Rasulullah SAW seumur hidup dan diabadikan dalam Surat al-Baqarah [2]: 201. 

Kedua, Tadris adalah proses pembelajaran terus-menerus untuk menelaah kitab-kitab Allah SWT yang tertulis [al-Qur’an] maupun yang terhampar [manusia dan alam semesta], sehingga meraih hafalan, pemahaman, pengamalan dan kesucian hati.

Ketiga, Tazkiyyah adalah upaya sungguh-sungguh untuk menjernihkan hati melalui peningkatan kualitas iman, ilmu, amal, akhlak bahkan seni yang sesuai dengan ajaran Islam.

Keempat, Ta’lim adalah pengajaran yang diberikan kepada manusia sejak masih di dalam kandungan (pranatal) hingga ajal menjemput, baik berupa materi iman, ilmu, amal, akhlak bahkan seni yang selaras dengan ajaran Islam.

Kelima, Irsyad adalah bimbingan yang ditujukan untuk membina pribadi-pribadi unggul yang memiliki kesempurnaan akal dan jiwa, sehingga iman, ilmu, amal, akhlak bahkan seni yang ditampilkan dalam kehidupan sehari-harinya tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Catatan Kaki
[1] Rosidin, Epistemologi Pendidikan Islam: Integrasi al-Tarbiyyah dan al-Ta’lim dalam al-Qur’an (Yogyakarta: Diandra, 2013), h. 220.

[2] Jasser Auda, Spiritual Journey: 28 Langkah Meraih Cinta Allah (Penerjemah Rosidin) (Bandung: Mizania, 2014), h. 45-49.

[3] Rosidin, Epistemologi Pendidikan Islam, h. 129.

[4] Muhammad al-Thahir Ibn ‘Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir [Juz 13] (Tunis: Dar Syuhun li al-Nasyr wa al-Tawzi‘, ttt.), h. 233.

[5] Muhammad Sayyid Thanthawi, al-Tafsir al-Wasith li al-Qur’an al-Karim [Juz 14] (Kairo: Dar al-Nahdhah, 1998), h. 129.

[6] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an [Vol. 1] (Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 391.

[7] Sa‘id Isma‘il ‘Ali, Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Salam, 2007), h. 32-33.

[8] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah [Vol. 2], h. 161.

[9] Ibid., [Vol. 2], h. 161.

[10]  Ibid., [Vol. 3], h. 590.

[11] Ibid., [Vol. 3], h. 748.

[12] Ibid., [Vol. 1], h. 432.

[13] Ibid., [Vol. 15], h. 254.

[14] Ibid., [Vol. 15], h. 348-349.

[15] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2014), h. 576-577.

[16] Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam (Pasuruan: PT. Garoeda Buana  Indah, 1992), h. 4-5. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 30-31.

[17] Berdasarkan penelusuran penulis terhadap software al-Maktabah al-Syamilah, Hadis ini diriwayatkan oleh al-Nasa’i, Imam Ahmad, Ibn Hibban dan Ibn Khuzayimah. Syu‘aib al-Ar’anut menyatakan bahwa Hadis ini Sahih menurut Syarat Muslim.

[18] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah [Vol. 1], h. 669.

[19] Ibid., [Vol. 1], h. 493.

[20] Ibid., [Vol. 12], h. 594.