Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teologi Pendidikan Islam : Manusia


Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com

Teologi Pendidikan Islam (Manusia)
Ragam Kebutuhan Manusia dalam Pendidikan

Ada tiga patron kata yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia. Pertama, kata yang terdiri dari huruf Alif, Nun dan Sin, semacam Insan, Ins, Nas atau Unas. Kedua, kata Basyar. Ketiga, kata Bani Adam dan Dzurriyat Adam1.

Dalam tulisan ini, penulis hanya akan fokus pada term al-Basyar, al-Insan, al-Nas dan Bani Adam. Hemat penulis, al-Basyar berkenaan dengan manusia sebagai makhluk biologis; al-Insan dan al-Nas berkaitan dengan totalitas manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi jasmani dan ruhani, perbedaannya adalah al-Insan dalam konteks individu, sedangkan al-Nas dalam konteks sosial; dan Bani Adam menyangkut keistimewaan yang diberikan oleh Allah SWT dibandingkan makhluk lainnya.

Identifikasi Term al-Basyar dan Derivasinya

Term al-Basyar dan derivasinya disebutkan 37 kali 2. Ayat yang pertama kali turun memuat term al-Basyar adalah Surat al-Muddatstsir [74]: 25

إِنْ هَذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ

Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia. (Q.S. al-Muddatstsir [74]: 25)

Sedangkan ayat yang terakhir kali turun memuat term al-Basyar adalah Surat al-Ma’idah [5]: 18

وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُمْ بِذُنُوبِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بَشَرٌ مِمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ

Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: "Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?" (kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya dan mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya.  (Q.S. al-Ma’idah [5]: 18)

Dua ayat di atas sama-sama dalam konteks pengingkaran. Surat al-Muddatstsir [25]: 25 berkaitan dengan pengingkaran seorang tokoh kafir –al-Walid ibn al-Mughirah– bahwa al-Qur’an bukanlah wahyu dari Allah SWT, melainkan perkataan manusia biasa (al-Basyar). Sedangkan Surat al-Ma’idah [5]: 18 berkenaan dengan pengingkaran Allah SWT bahwa kaum Yahudi dan Nasrani tidak memiliki keistimewaan di sisi Allah SWT –yakni sebagai anak-anak atau kekasih-kekasih Allah SWT–, mereka semua hanyalah sekedar manusia biasa (al-Basyar). 

Identifikasi Term al-Insan dan Derivasinya

Term al-Insan dan derivasinya disebutkan sebanyak 90 kali 3. Ayat yang pertama kali turun memuat term al-Insan adalah Surat al-‘Alaq [96]: 2 dan 5

خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (Q.S. al-‘Alaq [96]: 2)

عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. al-‘Alaq [96]: 5)

Sedangkan ayat yang terakhir kali turun memuat term al-Insan adalah Surat al-Hajj [22]: 66

وَهُوَ الَّذِي أَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَكَفُورٌ

Dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi), Sesungguhnya manusia itu, benar-benar sangat mengingkari nikmat. (Q.S. al-Hajj [22]: 66)

Perpaduan dua ayat di atas mengisyaratkan bahwa Allah SWT menganugerahkan berbagai kenikmatan kepada manusia, terutama nikmat pendidikan dan kehidupan; namun respon manusia masih minim rasa syukur, bahkan banyak yang justru memberi respon kufur. 

Identifikasi Term al-Nas

Term al-Nas ini disebutkan sebanyak 242 kali, tanpa ada bentuk derivasinya. Ayat yang pertama kali turun memuat term al-Nas adalah Surat al-Nas [114]: 1-6

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (1) مَلِكِ النَّاسِ (2) إِلَهِ النَّاسِ (3) مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (4) الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ (5) مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (6)

Katakanlah: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, Dari (golongan) jin dan manusia. (Q.S. al-Nas [114]: 1-6)

Sedangkan ayat yang terakhir kali turun memuat term al-Nas adalah Surat al-Taubah [9]: 34

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. (Q.S. al-Taubah [9]: 34)

Kombinasi dua ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa meskipun Allah SWT menganugerahkan berbagai kenikmatan kepada umat manusia, terutama nikmat pendidikan dan kehidupan, umat manusia masih saja memberi respon negatif dalam bentuk penyelewengan-penyelewengan, terutama dalam konteks interaksi sosial.

Identifikasi Term Bani Adam

Term Bani Adam disebutkan sebanyak 7 kali, tanpa ada bentuk derivasinya. Ayat yang pertama kali turun memuat term Bani Adam adalah Surat al-A’raf [7]: 26

يَا بَنِي آَدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآَتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آَيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. (Q.S. al-A’raf [7]: 26)

Sedangkan ayat yang terakhir kali turun memuat term Bani Adam adalah Surat al-Isra’ [17]: 70

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (Q.S. al-Isra’ [17]: 70)

Surat al-A’raf [7]: 26 mengisyaratkan kemuliaan manusia sebagai ‘Abdullah, yaitu mengacu pada kualitas ketakwaannya ketika beribadah kepada Allah SWT. Sedangkan Surat al-Isra’ [17]: 70 mengisyaratkan kemuliaan manusia sebagai Khalifatullah, yaitu mengacu pada kualitas pengelolaannya terhadap sumber daya alam –terutama di daratan dan lautan– demi memperoleh rezeki yang diridhai oleh Allah SWT, yaitu rezeki yang berstatus thayyib.

Materi Pokok Tafsir Tarbawi: Surat al-‘Ashr [103]: 1-3

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. al-‘Ashr [103]: 1-3)

Kandungan Surat al-Ashr [103]: 1-3 mengisyaratkan pentingnya manajemen waktu dalam kehidupan manusia. Tanpa manajemen waktu yang baik, manusia berisiko terjerumus dalam kerugian.

Redaksi pertama “Demi Masa” (وَالْعَصْرِ) menggunakan wawu qasam atau wawu yang menunjukkan makna sumpah. Jika diteliti lebih mendalam, bahwa seluruh ayat yang dimulai dengan qasam (sumpah), pasti merupakan sesuatu yang istimewa dan luar biasa (misalnya: وَالشَّمْسِ، وَالضُّحَى) tidak kecuali pada Surat al-‘Ashr ini (وَالْعَصْرِ) sehingga dapat disimpulkan bahwa “waktu” (وَالْعَصْرِ) merupakan sesuatu yang sangat istimewa. Lantas di mana letak keistimewaan “waktu”?.

Analisis bahasa Arab kembali mengemuka di sini. Kata yang digunakan oleh al-Qur'an adalah al-‘Ashr (وَالْعَصْرِ), bukan al-Waqt (وَالْوَقْتِ). Kata al-‘Ashr itu pada dasarnya bermakna waktu yang “diperas” sedemikian rupa, sehingga benar-benar optimal. Penulis memahami kata al-‘Ashr sebagai waktu yang berkualitas”, yaitu waktu yang dipenuhi dengan aktivitas-aktivitas yang positif.

Jika ayat pertama seolah-olah menjelaskan bagaimana seharusnya manusia memenuhi detik tiap detik waktu kehidupan dengan hal-hal yang positif, maka ayat kedua seolah-olah mengingatkan manusia bahwa kegagalan mengelola waktu dengan baik dapat menjerumuskan manusia ke dalam kubangan kerugian. Perpaduan antara huruf taukid atau penegas (yaitu lam) dan huruf jar atau kata depan (yaitu fa') pada redaksi (لَفِي خُسْرٍ) mengisyaratkan bahwa keteledoran manusia terhadap waktu “pasti” akan berujung pada kerugian; bahkan oleh Quraish Shihab digambarkan bahwa orang yang demikian itu seolah-olah terkurung dalam “ruangan kerugian”. Pemahaman ini mengacu pada penggunaan huruf fa' yang bermakna “di dalam”.

Agar tidak terjerumus dalam ruangan kerugian, maka Surat al-‘Ashr [103]: 3 memberikan solusi bagaimana agar manusia menjalani hidup dengan waktu yang berkualitas. Paling tidak ada empat elemen yang seharusnya dilaksanakan, yaitu: Pertama, Iman. Kedua, Amal Shalih. Ketiga, Saling berpesan akan kebenaran yang menjadikan seseorang semakin dekat kepada Allah SWT. Keempat, Saling berpesan akan kesabaran, terutama dalam memegangi keimanan, beramal shalih dan saling berpesan (menasihati).

Dalam perspektif pendidikan, manifestasi dari empat elemen di atas dapat diwujudkan melalui kegiatan yang dilandaskan pada iman, ilmu dan amal. “Ilmu diikut-sertakan mengingat kata amal secara implisit menuntut adanya ilmu. Dalam pelaksanaan kegiatan yang berpedoman pada iman, ilmu dan amal tersebut, tentu saja akan mengalami berbagai kendala yang perlu segera ditangani; di sinilah peranan dari saling berpesan akan kebenaran, yakni memotivasi kegiatan-kegiatan yang dinilai sudah pada jalur yang tepat dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang dinilai sudah keluar jalur; di sisi lain saling berpesan akan kesabaran mengandaikan adanya etos kerja yang tinggi, dedikasi serta ketabahan yang maksimal dalam menjalankan ketiga elemen sebelumnya

Dengan demikian, perpaduan antara iman, ilmu, amal yang disertai dengan saling nasihat-menasihati akan kebenaran dan kesabaran, berpotensi menjadikan waktu-waktu dalam kehidupan manusia lebih berkualitas, sebagaimana yang disinyalir dalam Surat al-Mulk [67]: 2

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (Q.S. al-Mulk [67]: 2)

Mempertimbangkan fakta bahwa manusia merupakan makhluk yang kompleks, maka penulis akan mengelaborasi bahasan tentang manusia ini dalam empat perspektif, yaitu perspektif al-Qur’an, filsafat, filsafat pendidikan Islam dan ilmu pendidikan Islam. Tujuannya adalah memberikan gambaran yang relatif komprehensif tentang hakikat manusia dari perspektif multi-disipliner.

Manusia dalam al-Qur’an

1.             Sebagai al-Basyar

Manusia disebut al-Basyar, karena kulitnya tampak; berbeda dengan binatang yang kulitnya ditutupi oleh bulu 4. Baharuddin menyimpulkan bahwa makna al-Basyar adalah sisi fisik manusia yang secara biologis memiliki persamaan di antara seluruh manusia. Jadi, al-Basyar berarti manusia dalam kehidupan sehari-hari yang sangat bergantung kepada kodrat alamiahnya, seperti makan, minum, berhubungan sex, tumbuh, berkembang, mati, dan sebagainya 5.

2.           Manusia sebagai al-Insan      

Manusia disebut al-Insan (dari akar kata al-unsu) karena memiliki sifat jinak, harmonis, dan tampak; lawan kata dari firar dan wahsyah (buas) 6. Baharuddin menyatakan bahwa sebagai al-Insan, manusia dibekali berbagai potensi, antara lain sebagai hamba Allah yang selalu berbuat baik; namun juga potensial menjadi pembangkang 7

Inilah yang kemudian mengantarkan pada dua kutub manusia, yaitu Ahsan Taqwim dan Asfal al-Safilin. Semua manusia diciptakan dari debu tanah dan Ruh Ilahi; apabila daya tarik debu mengalahkan Ruh Ilahi, maka manusia akan jatuh tersungkur ke tempat yang serendah-rendahnya, bahkan lebih rendah dari binatang [baca: Asfal al-Safilin]; sebaliknya, bila Ruh Ilahi yang memenangkan tarik-menarik tersebut, maka manusia akan menjadi seperti malaikat [baca: Ahsan Taqwim] 8

Lebih dari itu, Quraish Shihab menyimpulkan bahwa kata al-Insan digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga 9.

Hakim Muda Harahap menukil pandangan Musa Asy’ari yang relatif komprehensif tentang term al-Insan dalam al-Qur’an berikut ini:

Pertama, Jika dilihat dari asal kata anasa dalam pengertian melihat, mengetahui dan meminta izin; term al-Insan bermakna kemampuan penalaran manusia. Dengan penalarannya, manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihat, mengetahui apa yang benar dan apa yang salah serta mendorong untuk meminta izin menggunakan sesuatu yang bukan miliknya.  

Kedua, Jika dilihat dari akar kata nasiya yang berarti lupa, maka term al-Insan berkaitan dengan kesadaran diri. Manusia lupa terhadap suatu hal disebabkan ia kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut.  

Ketiga, Jika dilihat dari akar kata al-Uns yang artinya jinak, maka al-Insan berkaitan dengan adanya kesadaran penalaran. Manusia pada dasarnya jinak, dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada. Manusia memiliki kemampuan adaptasi yang cukup tinggi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial maupun alamiah. Manusia menghargai tata aturan etik, sopan santun dan sebagai makhluk yang berbudaya, ia tidak liar, baik secara sosial maupun alamiah 10

3.           Manusia sebagai al-Nas

Manusia sebagai al-Nas bermakna spesies manusia secara umum 11. Kata lain yang identik dengan manusia sebagai makhluk sosial adalah al-Uns yang merupakan jamak dari al-Insan. Al-Uns intinya bermakna kelompok manusia. Hal ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk berkelompok, baik suku, wilayah, sosial, politik 12.

4.           Manusia sebagai Bani Adam

Manusia sebagai Bani Adam berarti makhluk yang memiliki kelebihan dan keistimewaan dibandingkan dengan makhluk lainnya. Keistimewaan itu meliputi fitrah keagamaan, peradaban, dan kemampuan memanfaatkan alam 13

Berdasarkan hasil telaahnya terhadap istilah-istilah manusia yang termaktub dalam al-Qur’an di atas, Baharuddin sampai pada kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk pilihan; semi samawi-duniawi, yang memiliki multi aspek dan dimensional, serta di dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui wujud dan ke-Esa-an Allah SWT (Tauhid), memiliki kebebasan berkehendak, terpercaya (Amanah), serta bertanggung jawab atas dirinya, alam dan kepada Tuhannya. Dengan demikian wajar jika manusia diberi tugas ganda, sebagai Khalifah dan ‘Abdullah 14.

Penulis sendiri mengajukan simpulan yang dapat dipetik dari bahasan tentang manusia dalam al-Qur’an: 

Pertama, manusia sebagai al-Basyar memiliki kebutuhan biologis, seperti sandang, pangan, papan dan pasangan hidup. Oleh sebab itu, manusia perlu dididik keterampilan hidup yang membuatnya dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis tersebut sesuai dengan aturan Syariat Allah SWT. 

Kedua, manusia sebagai al-Insan memiliki potensi positif dan negatif. Oleh sebab itu, pendidikan bertugas untuk mengoptimalkan potensi positif tersebut dan meredam potensi negatif, sehingga terbina insan purna yang shalih [baca: Ahsan Taqwim]. 

Ketiga, manusia sebagai al-Nas memiliki kebutuhan sosial. Oleh sebab itu, pendidikan Islam berperan penting untuk membina manusia agar dapat berinteraksi sosial secara positif, bermanfaat bagi orang lain, bahkan mampu memobilisasi orang lain untuk bersama-sama menuju ke arah yang lebih baik [baca: Khaira Ummah]. Pada saat itulah, dia bukan semata menyandang status shalih, melainkan juga mushlih. Shalih menyangkut kualitas individual, sedangkan mushlih menyangkut kualitas sosial. 

Keempat, manusia sebagai Bani Adam dituntut mengoptimalkan keistimewaan yang diberikan oleh Allah SWT. Oleh sebab itu, pendidikan Islam bertugas untuk mendidik manusia agar dapat menjadi pribadi-pribadi yang mampu mengkreasi dan mengembangkan peradaban manusia yang semakin canggih, namun tetap dalam koridor Syariat Allah SWT. Itulah kualifikasi yang menurut penulis dapat disebut memiliki peradaban Rabbani seperti pembahasan di depan.   

Manusia dari Perspektif Aliran-Aliran Filsafat 15

1.             Materialisme (Naturalisme)

Esensi manusia bersifat material atau fisik; tidak memiliki sifat spiritual. Karena manusia menempati ruang dan waktu, maka manusia bisa diukur, dihitung dan diobservasi. Gerakan manusia merupakan respon dari bagian-bagian tertentu dalam sistem syaraf pusat manusia terhadap stimulus tertentu (disebut hukum stimulus-respon atau hukum kausalitas). Karena sangat percaya pada hukum kausalitas, maka kaum materialis pada umumnya sangat deterministik, tidak mengakui independensi manusia. Tidak ada perilaku yang ditimbulkan oleh faktor internal, semuanya digerakkan faktor ekseternal manusia.

2.           Idealisme (Spiritualisme)

Hakikat manusia bersifat spiritual; maka sumber atau penggerak utama perilaku adalah kekuatan internal, yakni jiwa. Para idealis tidak menolak kekuatan-kekuatan yang bersifat fisik maupun hukum alam. Menurut Hegel, kekuatan fisik dan hukum alam adalah manifestasi dari Roh Absolut atau Tuhan. Hal-hal yang bersifat ideal dan normatif, seperti agama, hukum, nilai, ide, memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, sehingga berfungsi sebagai panduan dan sekaligus tujuan hidup manusia. Sejumlah besar penganut Idealisme juga berpandangan deterministik mengenai manusia, yakni manusia tidak memiliki kebebabasan terhadap dirinya, karena setiap tindakan manusia sudah diatur dan ditentukan sebelumnya oleh Roh Absolut atau Tuhan.

3.           Dualisme

Manusia terdiri dari dua substansi, yakni materi dan roh atau tubuh dan jiwa. Akal sehat dan ilmu-ilmu tentang organisme (tubuh) menjelaskan bahwa sebagian perilaku manusia pada dasarnya merupakan fungsi dari tubuh yang bersifat res extensa (berkeluasan), menempati ruang dan waktu; dengan demikian,  materi atau tubuh itu ada dan bersifat niscaya atau tidak bisa ditolak. Sedangkan keberadaan jiwa yang kharakteristiknya adalah res cogitans (berpikir) justru lebih jelas dan tegas dibandingkan keberadaan tubuh. Meskipun tidak bisa dibuktikan secara inderawi, tetapi bisa dibuktikan melalui rasio (pikiran).

4.           Vitalisme

Seluruh aktivitas atau perilaku manusia pada dasarnya merupakan perwujudkan dari energi-energi atau kekuatan-kekuatan yang tidak rasional dan instingtif. Acuan Vitalisme adalah ilmu Biologi dan Sejarah. Biologi mengajarkan bahwa kehidupan tidak ditentukan oleh rasio, melainkan oleh kekuatan untuk bertahan hidup (survive) yang sifatnya irasional dan liar (instingtif ). Sejarah mencatat bahwa peristiwa-peristiwa penting yang menentukan jalannya sejarah dan peradaban manusia seperti revolusi– hampir semuanya digerakkan oleh dorongan atau energi yang sangat tidak rasional dan liar.

5.            Eksistensialisme

Eksistensialisme tidak membahas esensi manusia secara abstrak, melainkan secara spesifik meneliti kenyataan konkret yang dialami oleh manusia di dunia ini, seperti kebebasan, kematian, kehidupan yang otentik, dan ketiadaan, dan lain-lain. Hanya manusia yang bereksistensi, karena hanya manusia yang sanggup keluar dari dirinya; melampaui keterbatasan biologis dan lingkungan fisiknya, serta berusaha untuk tidak terkungkung oleh segala keterbatasan yang dimilikinya. Para eksistensialis menyebut manusia sebagai suatu proses “menjadi”, gerak yang aktif dan dinamis. Jadi, manusia adalah makhluk bebas; kebebasan adalah modal dasar untuk hidup sebagai individu yang otentik dan bertanggung-jawab.

6.           Strukturalisme

Pada dasarnya, manusia merupakan makhluk yang tidak bebas, yang terstruktur oleh sistem bahasa dan budaya yang mengungkungnya. Aliran ini secara tegas menolak Humanisme, menolak pandangan tentang kebebasan dan keluhuran manusia; tidak mengakui “ego”, “aku” (individu) atau “kesadaran”.

7.            Postmodernisme

Pandangan Postmodernisme tentang manusia hampir sama dengan Strukturalisme, namun diskusi-diskusi Postmodernisme masuk ke dalam aspek-aspek kehidupan manusia yang lebih beragam dan faktual. Para Postmodernis menantang dominasi “aku”, sekaligus menafikan dominasi sistem sosial, budaya, politik, kesenian, ekonomi, arsitektur, dan bahkan gender yang timpang dan menyeragamkan manusia. Menurut mereka, telah terjadi dominasi (kolonialisasi) sistem-sistem besar yang bersifat tunggal (the One; Barat), terhadap sistem-sistem kecil yang bersifat jamak (the plurals; Timur).

Kendati aliran-aliran filsafat di atas tampak saling bertolak-belakang, sebenarnya masing-masing pandangan dapat dipadukan menjadi satu-kesatuan yang relatif komprehensif untuk menilai manusia dari perspektif filsafat.

Benang merah yang dapat penulis ajukan adalah manusia memiliki dimensi jasmani dan ruhani. Kedua dimensi ini bersifat dinamis, yaitu berkembang secara kontinu akibat interaksi antara aspek internal manusia (nurture, bawaan) dengan aspek eksternal manusia (nature, lingkungan). Perbedaan perkembangan dimensi jasmani dan ruhani manusia itulah yang akhirnya menimbulkan perbedaan kualitas aktual antar manusia, yakni ada yang ‘sukses’ (Ahsan Taqwim) dan ada yang ‘gagal’ (Asfal al-Safilin).

Manusia dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam 16

1.             Makhluk Termulia

Allah SWT memberikan berbagai karunia dan keistimewaan kepada manusia, sehingga menjadikan manusia sebagai makhluk termulia yang berhak mendapat penghormatan dari seluruh makhluk di jagat raya. Keutamaan manusia dinilai berdasarkan iman, takwa, kualitas akal dan imannya.

2.           ‘Abdullah dan Khalifatullah di bumi

Tugas utama manusia adalah menyembah kepada Allah SWT (yakni sebagai ‘Abdullah, hamba Allah) sekaligus menjalankan fungsinya sebagai Khalifatullah (wakil Allah) yang bertugas memakmurkan bumi. Dalam posisinya sebagai Khalifatullah, manusia dibekali berbagai elemen penunjang untuk mengelola bumi, baik berupa faktor internal (akal, kekuatan fisik, dan sebagainya), maupun faktor eksternal (keberadaan binatang dan tumbuhan, turunnya hujan, dan sebagainya).

3.           Makhluk Berpikir

Melalui akal pikirannya, manusia dapat menjadikan alam sebagai arena perenungan (tafakkur), pengamatan (observasi) serta eksplorasi alam sesuai dengan idealismenya. Sebagai hewan yang berpikir, manusia memiliki empat ciri utama. Pertama, Daya untuk bertutur-kata (makhluk berbahasa). Kedua, Kecenderungan untuk beragama (makhluk religius). Ketiga, Kecenderungan untuk berakhlak (makhluk moralis). Keempat, Kecenderungan bermasyarakat (makhluk sosial).

4.           Makhluk Tiga Dimensi

Manusia terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu badan, akal dan ruh; yang sifatnya saling melengkapi. Komposisi kepribadian manusia saling kait-mengait, melalui jalinan tiga faktor: ‘Aqliyah (akal), Qalbiyah (hati), dan Nuzu’iyyah (emosi).

5.            Makhluk yang Tumbuh

Pertumbuhan manusia adalah hasil pencapaian faktor warisan budaya dan lingkungan. Faktor warisan meliputi ciri dan sifat yang diwarisi dari orang tua; sedangkan faktor lingkungan meliputi lingkungan alam, seperti air, udara, tanah, langit, dan lain-lain, serta lingkungan sosial seperti masyarakat, institusi, sistem, undang-undang, dan sebagainya.

6.           Makhluk yang Memiliki Motivasi dan Kebutuhan

Setiap perilaku manusia tidak lepas dari arahan motivasi (dorongan-dorongan). Manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan psikologis dan sosial, seperti kebutuhan pada kedamaian, kasih sayang, penghargaan, kebebasan, rasa kepemilikan (sense of belonging), dan sebagainya.

7.            Makhluk yang Memiliki Identitas yang Berbeda-Beda

Tidak ada manusia yang sama persis, karena manusia bisa berbeda dalam hal tenaga, perawakan, kesediaan, sikap, dorongan, tujuan dan jalan-jalan yang dilaluinya untuk mencapai tujuan. Manusia bukanlah sekumpulan binatang yang tunduk kepada satu corak perilaku, serta terkungkung dalam satu bentuk acuan umum seperti halnya makhluk-makhluk lain; karena setiap manusia merupakan satu “alam” yang tersendiri.

8.           Makhluk yang Luwes dan Dinamis

Watak manusia itu luwes, sehingga kelakuan, kebisaaan, keahlian bahkan pemikiran manusia dapat diubah. Dinamika tingkah laku manusia merupakan hasil dari proses pengajaran yang dilalui oleh manusia; hasil interaksi yang bebas antara unsur internal manusia dengan faktor eksternal.

Simpulan yang penulis peroleh dari paparan al-Syaibani di atas adalah: Manusia merupakan makhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT melalui pemberian amanat sebagai ‘Abdullah dan Khalifatullah. Oleh sebab itu, manusia dituntut (taklif, mukallaf) untuk mengemban amanat tersebut dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, manusia harus terus-menerus berusaha keras mengembangkan segenap potensinya –baik jasmani maupun ruhani– sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya, terutama melalui pendidikan seumur hidup (lifelong education), demi meraih predikat ‘Abdullah dan Khalifatullah yang terbaik.

Manusia dalam Perspektif Ilmu Pendidikan Islam

Asal usul manusia itu ada dua. Pertama, asal usul yang jauh, yaitu manusia diciptakan dari tanah kemudian ditiupi dengan ruh Allah SWT. Kedua, asal usul yang dekat, yaitu manusia diciptakan dari air mani (nuthfah). Kedua asal usul ini ditegaskan dalam Surat al-Sajdah [32]: 7-9 17

Allah SWT menganugerahkan kemampuan kepada manusia untuk menguasai alam sekitar dan Allah SWT menundukkan (taskhir) alam sekitar untuk manusia. Ini adalah pendidikan Rabbani yang membuat manusia dapat merasakan kemuliaan dirinya, namun pada saat yang sama merasakan bahwa itu semua merupakan anugerah Allah SWT 18.

Di antara bentuk pemuliaan Allah SWT kepada manusia adalah menjadikan manusia mampu untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan. Allah SWT telah menganugerahkan potensi ketakwaan (taqwa) dan kedurhakaan (fujur); serta menjadikan manusia memiliki kehendak (iradah) yang membuat-nya dapat memilih jalan yang dapat mengantarkan pada kebaikan dan kebahagiaan 19.

Allah SWT juga menganugerahkan kemampuan belajar dan melengkapinya dengan sarana-sarana belajar. Kemampuan belajar manusia ditegaskan dalam Surat al-‘Alaq [96]: 3-5 dan Surat al-Baqarah [2]: 31-33; sedangkan sarana-sarana belajar manusia dapat dijumpai dalam Surat al-Nahl [16]: 78 yang menyebutkan tiga sarana belajar manusia yang utama, yaitu pendengaran, penglihatan serta fungsi akal dan hati (fu’ad). Sarana belajar lainnya adalah lisan dan kemampuan untuk menjelaskan, serta al-qalam (pena) dan kemampuan menulis 20.

Sedangkan tujuan terpenting dari kegiatan penalaran dan pembelajaran manusia adalah manusia mempelajari Syariat Allah SWT. Dalam rangka itu, manusia dituntut pula untuk menalar penciptaan langit dan bumi, serta diri manusia sendiri (Q.S. al-Dzariyat [51]: 21, al-Thariq [86]: 5, al-Ghasyiyah [88]: 17 dan al-An’am [6]: 50). Seluruh ayat ini juga menunjukkan bahwa sesungguhnya Allah SWT menciptakan pendengaran, penglihatan dan fungsi akal atau hati (fu’ad) agar digunakan untuk penalaran dan perenungan, memperhatikan dengan pandangan yang jernih, memahami alam sekitar, kemudian menyeleksi berdasarkan akal dan hati agar dapat memberdayakan apa yang telah ditundukkan (taskhir) oleh Allah SWT kepada manusia 21.

Lebih dari itu, manusia bukanlah seperti meja lilin yang dapat dibentuk dengan berbagai pengaruh dan stimulus, atau seseorang bukanlah semata makhluk pasif yang menerima bentukan dari lingkungan sebagaimana yang diperkirakan oleh teori tabula rasa, tetapi ia mempunyai kreativitas yang memungkinkan mengubah lingkungan sesuai dengan kehendaknya, dan bahkan mencapai sesuatu yang berada di luar kehendaknya 22.

Kehidupan umat manusia mempunyai peran besar dalam kehidupan di bumi ini, yaitu dengan mengelola, memanfaatkan dan melestarikan alam. Peran itu diwujudkan pula untuk mengembangkan diri dan lingkungannya supaya mempunyai dukungan positif terhadap kehidupannya. Peran-peran itu kemudian ditransformasikan kepada generasi berikutnya melalui pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan tidak pernah lepas dari manusia dan selalu berpusat kepada manusia dan kehidupannya, baik sebagai subyek maupun sebagai objek. Tiada pendidikan tanpa manusia dan tiada manusia tanpa pendidikan. Hubungan manusia dnegan pendidikan ini bersifat simbiosis, manusia mengembangkan pendidikan dan pendidikan mengembangkan manusia dan kehidupannya 23.

Catatan Kaki

[1] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 129.

[2] Term (بَشَر) disebutkan 26 kali; term (بَشَرًا) disebutkan 10 kali; dan term (بَشَرَيْنِ) disebutkan 1 kali.

[3] Term (إنْسٌ) disebutkan 18 kali; term (الإنسَان) disebutkan 65 kali; term (أُنَاس) disebutkan 5 kali; term (أناسِيَّ) disebutkan 1 kali; term (إنْسِيًّا) disebutkan 1 kali.

[4] Samih ‘Athif al-Zain, Mu’jam Tafsir Mufradat Alfazh al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-Lubanani, 2001), h. 111-112.

[5] Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 65-69.

[6] Samih ‘Athif al-Zain, Mu’jam Tafsir Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 76.

[7] Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, h. 70-74.

[8] M. Quraish Shihab, Lentera al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2008), h. 102-103.

[9] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 131.

[10]  Rosidin, Konsep Andragogi dalam al-Qur’an: Sentuhan Islami pada Teori dan Praktik Pendidikan Orang Dewasa (Malang: Litera Ulul Albab, 2013), h. 72.

[11] Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, h. 88.

[12] Ibid., h. 74-76.

[13] Ibid., h. 88-90.

[14] Ibid., h. 411.

[15] Seluruh materi ini disadur dari Zainal Abidin, Filsafat Manusia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006).

[16] Seluruh materi ini disadur dari Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam (Penerjemah Hasan Langgulung) (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).

[17] ‘Abd al-Rahman al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa Asalibuha: Fi al-Bait, wa al-Madrasah wa al-Mujtama’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), h. 31-32.

[18] Ibid., h. 33.

[19] Ibid., h. 3.

[20] Abu al-A’la al-Maududi menyimpulkan bahwa orang-orang yang tidak memanfaatkan sarana-sarana belajar ini [alat pendengaran, alat penglihatan maupun fungsi akal dan hati (fu’ad)] ditakdirkan menjadi generasi yang terbelakang dan terpuruk; sedangkan orang-orang yang memaksimalkan sarana-sarana belajar ini memperoleh kepemimpinan dan kekuasaan. Ibid., h. 35.

[21] Ibid., h. 35-36.

[22] Abdul Kadir, dkk., Dasar-dasar Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2012), h. 43.

[23] Ibid., h. 8.