Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Amaliah Sya'ban Pengubah Takdir

SEMARAK SYA’BAN: 

IBADAH MENGUBAH TAKDIR


 
Nishfu Sya'ban
Sya'ban sebagai Persiapan Menuju Ramadhan

Dr. Rosidin, M.Pd.I
www.dialogilmu.com  

Pengertian Sya'ban

 
Sebagai pembuka, Rasulullah SAW bersabda: “Sya’ban adalah bulanku. Barangsiapa mengagungkan Sya’ban, berarti mengagungkanku. Barangsiapa mengagungkanku, maka aku akan menjadi penebus dan simpanan baginya pada hari kiamat” (H.R. al-Baihaqi). Sedangkan cara mengagungkan Sya’ban tercermin dalam pengertian Sya’ban menurut para ulama.
 
Sayyid Alwi Al-Maliki, dalam Madza fi Sya’ban, menguraikan empat makna Sya’ban. Pertama, cabang-cabang kebaikan. Kedua, penyebar-luasan kebaikan. Ketiga, jalan kebaikan. Keempat, menambal (menyembuhkan) luka hati. Simpulan seluruh makna ini mengisyaratkan bahwa Sya’ban merupakan bulan yang seharusnya diisi berbagai kebaikan (amal shalih) dalam rangka meningkatkan kualitas hati.
 
Dalam al-Qur’an, kualitas hati yang tertinggi adalah hati yang selamat atau qalbun salim (Q.S. al-Syu’ara’ [26]: 88-89). Menurut Tafsir al-Jalalayn, qalbun salim adalah hati yang selamat dari kemusyrikan dan kemunafikan. Dengan demikian, qalbun salim merupakan satu-satunya “karcis” masuk surga, sesuai Hadis: “Barangsiapa akhir perkataannya adalah Laa Ilaaha illa Allah (tiada tuhan yang berhak disembah, selain Allah), maka dia masuk surga” (H.R. Abu Dawud). Sebaliknya, apabila manusia tidak memiliki qalbun salim, maka seluruh amal baiknya di dunia, akan ditolak di akhirat kelak.
 

Amaliah Sya'ban dan Nishfu Sya'ban

Lalu, apa saja amal shalih yang sebaiknya digalakkan pada bulan Sya’ban?. Yaitu amal-amal shalih yang diteladankan Allah SWT, Rasulullah SAW dan salafush shalih. Misalnya, Allah SWT menurunkan ayat perintah bershalawat pada bulan Sya’ban (Q.S. al-Ahzab [33]: 56). Rasulullah SAW menganjurkan berpuasa Sya’ban (H.R. al-Nasa’i), bahkan Sayyidah ‘Aisyah RA bercerita bahwa Rasulullah SAW sering berpuasa Sya’ban (H.R. al-Bukhari). Sedangkan salafush shalih menganjurkan agar menyemarakkan malam pertengahan Sya’ban (Nishfu Sya’ban).
 
Banyak amaliah yang dapat dilaksanakan pada malam Nishfu Sya’ban. Misalnya, membaca Surat Yasin setelah shalat Maghrib sebanyak tiga kali dengan tiga niat yang berbeda. Pertama, niat memohon panjang umur. Kedua, niat memohon keselamatan dari bencana. Ketiga, niat memohon tidak bergantung pada manusia. Amaliah ini bukan didasarkan Hadis, melainkan kebiasaan salafush shalih (Lihat dalam Asna al-Mathalib karya al-Hut dan Fath al-Malik al-Majid karya al-Dairabi). Kebiasaan salafush shalih lainnya adalah shalat sunah mutlak atau hajat pada malam Nishfu Sya’ban, baik sendirian maupun berjamaah. Bahkan Ibn Tamiyyah, dalam Majmu’ Fatawa, menilainya bagus (ahsan), bukan bid’ah yang sesat.
 

Nishfu Sya'ban: Doa Pengubah Takdir

Tidak kalah pentingnya, keistimewaan malam Nishfu Sya’ban adalah waktu mustajab, sesuai  Hadis riwayat Ibnu ‘Umar RA: “Lima malam yang tidak akan tertolak doa di dalamnya: Malam Jum’at; awal Rajab; Nishfu Sya’ban; Malam Idul Fitri; dan Malam Idul Adha” (H.R. al-Baihaqi). Hadis ini mirip dengan pernyataan Imam Syafi’i yang dikutip dalam Faidh al-Qadir: “Telah sampai kepada kami (riwayat Hadis) bahwa doa dikabulkan dalam lima malam: awal malam bulan Rajab, malam Nishfu Sya’ban, dua malam hari raya dan malam Jum’at”.
 
Adapun doa yang utama untuk diamalkan pada malam Nishfu Sya’ban adalah doa pengubah Qadha’ (“takdir yang tertulis”); bukan Qadar (“takdir yang terlaksana”), sesuai Hadis: La Yuraddu al-Qadha’ illa al-Du’a yang artinya, “Tidak ada yang mengubah (menolak) Qadha’, kecuali doa” (H.R. al-Tirmidzi).
 
Menurut Almaghfurlah KH. Hasyim Muzadi, takdir yang tidak dapat diubah melalui doa adalah takdir yang tergolong Sunnatullah, yaitu kehendak Allah SWT yang sudah tidak dapat diubah-ubah lagi. Misalnya, kita berdoa agar tidak meninggal dunia. Pasti doanya tidak terkabul, karena menurut Sunnatullah, setiap manusia pasti akan meninggal dunia (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 185); sedangkan takdir yang dapat diubah melalui doa adalah takdir yang tergolong Masyi’atullah, yaitu kehendak Allah SWT yang masih dapat diubah-ubah. 

Misalnya, dalam salah satu bagian doa Nishfu Sya’ban dinyatakan, “Ya Allah, jika Engkau telah mencatatku di sisi-Mu dalam Umm al-Kitab (Lauh Mahfuzh) sebagai orang celaka, terhalang, tertolak dan terbatas dalam rezekiku; maka mohon Engkau tetapkan aku di sisi-Mu sebagai orang yang bahagia, terlimpahi rezeki dan tertolong menuju kebaikan-kebaikan”. Adanya takdir yang dapat diubah melalui doa ini, diperkuat dalil al-Qur’an, “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Umm al-Kitab (Lauh Mahfuzh)” (Q.S. al-Ra’d [13]: 39).
 
Paparan di atas menumbuhkan rasa optimis bagi setiap insan untuk mengubah Qadha’ (tulisan di Lauh Mahfuzh) menjadi Qadar (kenyataan dalam hidup) yang lebih baik. Misalnya, dari Qadha’ kafir, menjadi Qadar iman; dari Qadha’ sakit, menjadi Qadar sehat; dari Qadha’ bodoh, menjadi Qadar pandai; dari Qadha’ tidak menikah, menjadi Qadar menikah; dari Qadha’ miskin, menjadi Qadar kaya; dari Qadha’ orang yang memberi mudarat, menjadi Qadar orang yang memberi manfaat; dan seterusnya.
 
Tentu, mengubah takdir tidak sekedar melalui doa, melainkan harus disertai ikhtiar maksimal (sebanyak-banyaknya) sekaligus optimal (sebaik-baiknya). Misalnya, upaya sungguh-sungguh yang melibatkan perjuangan fisik (jihad), akal (ijtihad) dan hati (mujahadah).
 
Dalam bahasa al-Qur’an, ikhtiar sungguh-sungguh ini disebut ‘azm: Fa idza ‘azamta, fa tawakkal ‘ala Allah, apabila engkau sudah ber-‘azm, maka bertawakkallah kepada Allah (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 159). Sedangkan tokoh yang berhasil melaksanakan ‘azm secara sempurna adalah lima rasul Ulul ‘Azmi (Nabi Nuh AS, Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS, Nabi ‘Isa AS dan Nabi Muhammad SAW). 
 
Sebagai penutup, penulis kembali mengutip pernyataan Almaghfurlah KH. Hasyim Muzadi, “Doa adalah ikhtiar batin, sedangkan ikhtiar adalah doa lahir. Kalau hubungan antara doa dan ikhtiar ini terputus, maka doa akan sulit dikabulkan”. Wallahu A’lam bi al-Shawab.