Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Konsep Pernikahan dalam al-Qur'an

TAFSIR TARBAWI AYAT-AYAT PERNIKAHAN 

Al-Qur’an menyebut kata “nikah” dan derivasinya sebanyak 23 kali dalam 19 ayat. Dari data ini, penulis berupaya memformulasikan konsep pernikahan dalam al-Qur’an, dalam bingkai Maqashid Syariah.

Dari segi pemeliharaan agama (hifzh al-din), Rasulullah SAW bersabda: “Jika seorang hamba menikah, maka sempurnalah separuh agamanya; lalu bertakwalah untuk separuh lagi yang tersisa” (H.R. al-Baihaqi). Relevansi pernikahan dengan aspek agama, dipertegas al-Qur’an melalui larangan menikah dengan non-muslim (Q.S. al-Baqarah [2]: 221).

Lebih jauh, Rasulullah SAW merekomendasikan agar umat muslim memilih pasangan yang unggul dalam aspek keagamaan, dibandingkan unggul dalam aspek harta, rupa maupun nasab keluarga (H.R. Bukhari-Muslim).

Dari segi pemeliharaan jiwa-raga (hifzh al-nafs), pernikahan merupakan solusi Islami atas kebutuhan biologis manusia. Sedari awal al-Qur’an menyatakan bahwa manusia dianugerahi rasa cinta kepada lawan jenis (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 14).

Islam mengatur agar rasa cinta tersebut diekspresikan melalui cara yang manusiawi, yaitu pernikahan; bukan melalui cara yang hewani, seperti perzinahan. Itulah mengapa al-Qur’an melarang umat muslim untuk mendekati area perzinahan, semisal pacaran (Q.S. al-Isra’ [17]: 32); sebagai upaya preventif agar umat muslim tidak sampai terjerumus ke dalam perzinahan.

Jika terjadi perzinahan, hampir pasti pelakunya memang sudah sama-sama “terbiasa” berzina, sehingga muncul ayat al-Qur’an, “Pezina laki-laki tidak menikah, kecuali dengan pezina wanita atu wanita musyrik; dan pezina wanita, tidak menikah, kecuali dengan pezina laki-laki atau laki-laki musyrik” (Q.S. al-Nur [24]: 3). Sebagai alternatif solusi, al-Qur’an menyarankan agar orangtua atau wali, bergegas menikahkan anak laki-laki maupun wanita yang masih lajang (Q.S. al-Nur [24]: 32).

Dari segi pemeliharaan akal (hifzh al-‘aql), pernikahan menuntut penguasaan ilmu pengetahuan terkait seluk-beluk rumah-tangga. Misalnya, mempelajari Fikih Munakahat untuk mengetahui apa saja yang harus dilakukan seorang muslim pada tahap pra nikah –semisal proses pencarian jodoh dan peminangan (khithbah)–; tahap proses akad nikah –semisal syarat dan rukun nikah–; hingga pasca akad nikah –semisal hak dan kewajiban sebagai suami atau istri dalam rumah tangga–.

Dari segi pemeliharaan anak-keturunan (hifzh al-nasl), sudah jelas bahwa salah satu hikmah pernikahan adalah mendapat keturunan sebagai penerus nasab keluarga.

Sejalan dengan itu, ada sebuah Hadis yang menceritakan seorang laki-laki mendatangi Rasulullah SAW. Laki-laki itu berkata: “Sesungguhnya aku mendapati seorang wanita yang terhormat lagi rupawan; namun dia tidak bisa melahirkan (mandul), apakah aku (boleh) menikahinya?”. Rasulullah SAW menjawab: “Jangan”. Lalu laki-laki itu mendatangi Rasulullah SAW kali kedua, kemudian kali ketiga. Pada saat itulah, Rasulullah SAW bersabda: “Menikahlah dengan wanita yang penuh cinta lagi subur, karena sesungguhnya aku berlomba-lomba memperbanyak umat melalui kalian” (H.R. Abu Dawud).

Hanya saja, jikalau ada pasangan suami-istri yang belum dianugerahi anak hingga lanjut usia; tidak perlu berkecil hati. Baik kiranya jika pasangan tersebut meneladani akhlak Nabi Zakaria AS yang terus menerus berdoa hingga lanjut usia, agar dianugerahi anak, kendati sang istri –Elizabeth– adalah wanita yang mandul. Akhirnya beliau berdua dianugerahi anak shalih yang juga menjadi rasul, yaitu Nabi Yahya AS. Salah satu doa yang dibaca oleh Nabi Zakaria AS adalah:

 رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ

 “Tuhanku, mohon jangan Engkau biarkan aku sendirian (tanpa keturunan); sedangkan Engkau adalah Pewaris Yang Maha Baik” (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 89).

Dari segi pemeliharaan harta (hifzh al-mal), pernikahan berimplikasi pada sejumlah kewajiban yang berhubungan erat dengan kebutuhan ekonomi. Misalnya, seorang ayah wajib memberi nafkah anak dan istrinya dengan cara yang baik menurut agama maupun budaya masyarakat (Q.S. al-Baqarah [2]: 233).

Jika mengacu pada ketentuan fikih klasik, nilai nafkah keluarga yang menjadi tanggung jawab suami adalah satu mud jika berstatus miskin; satu setengah mud jika berstatus sedang; dan dua mud jika berstatus kaya. Tentu tidak harus dimaknai tekstual, melainkan kontekstual. Prinsipnya adalah nafkah keluarga itu bertingkat-tingkat sesuai dengan kondisi perekonomian sang suami.

Oleh sebab itu, al-Qur’an melarang istri maupun anak, menuntut nafkah keluarga di atas kemampuan sang suami (Q.S. al-Baqarah [2]: 233). Sederhananya, jika gaji suami adalah 5 Juta per bulan, istri maupun anak, jangan minta nafkah 500 ribu per hari.

 Mengingat kondisi ekonomi merupakan salah satu faktor penting dalam rumah tangga, maka al-Qur’an mewanti-wanti umat muslim agar tidak terburu-buru menikah, jika masih belum yakin mampu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga (Q.S. al-Nur [24]: 33).

Lagi-lagi, ayat ini tidak harus dimaknai sebagai “penghalang” pernikahan. Bisa jadi seorang pemuda yang belum bekerja, namun dia siap bekerja dan yakin mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi nafkah keluarga; maka sah-sah saja jika dia menikah. Apalagi ada potongan ayat yang menumbuhkan angin optimisme bagi para pemuda lajang yang ekonominya masih belum mapan, “Jika mereka fakir; maka Allah akan mencukupi mereka dari anugerah-Nya; dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui” (Q.S. al-Nur [24]: 32).

Dari segi pemeliharaan harta diri (hifzh al-‘irdh), Allah SWT menghargai pernikahan dengan penghargaan yang sangat tinggi, sehingga melabelinya dengan sebutan “mitsaqan ghalizhan” atau ikatan yang sangat kokoh (Q.S. al-Nisa’ [4]: 21).

Menurut Quraish Shihab, pernikahan diikat oleh tiga elemen dasar: mawaddah, rahmah dan amanah. Mawaddah berarti rasa saling mencintai antar suami dan istri, dengan mengabaikan segenap kelemahan atau kekurangan yang dimiliki pasangannya.

Ketika mawaddah mulai pudar, suami-istri tidak boleh begitu saja memutuskan ikatan pernikahan. Keduanya perlu mempertimbangkan aspek rahmah. Artinya, ketika rasa cinta sudah tidak sehangat saat pengantin baru; suami-istri harus tetap mempertahankan ikatan pernikahan, sebagai bentuk kasih sayang kepada pihak yang membutuhkan. Apalagi jika mereka memiliki anak yang masih membutuhkan perhatian kedua orangtuanya.

Kalaupun rahmah sudah lenyap dari lubuk hati, suami dan istri tetap harus menjaga amanah. Misalnya, jangan sampai suami melakukan KDRT pada istri; karena dia mengemban amanah dalam akad pernikahan, yaitu memperlakukan istri dengan baik atau ma’ruf (Q.S. al-Nisa’ [4]: 19). Bahkan potongan ayat tersebut tertulis dalam surat nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Termasuk perilaku yang menodai prinsip mawaddah, rahmah dan amanah adalah perselingkuhan atau perzinahan yang tergolong dosa besar dan pelakunya pantas diberi hukuman rajam (H.R. al-Darimi); apalagi sampai menggadaikan atau menjual istri, seperti yang baru-baru ini terjadi di bumi pertiwi. Na’udzu billahi min dzalik.

Kamis, 4 Juli 2019
Rosidin
www.dialogilmu.com