Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menghidupkan Sunah Zaman Milenial

MENGHIDUPKAN SUNAH ZAMAN MILENIAL

Beradaptasi dengan Karakter Milenial
(foto: www.pewartanusantara.com)


Dr. Rosidin, M.Pd.I
www.dialogilmu.com

Sunah bukanlah barang usang yang hanya berlaku zaman dahulu kala. Sunah adalah panduan hidup yang berlaku sepanjang zaman, termasuk zaman milenial. Sunah menjadi panduan hidup yang memelihara umat muslim dari sesat jalan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya aku meninggalkan dua hal bagi kalian, yang membuat kalian tidak akan tersesat. Yaitu Kitabullah (al-Qur’an) dan sunahku” (H.R. al-Hakim).

Semakin hari, sunah semakin terasa asing, karena zaman milenial diserbu arus deras informasi dari berbagai belahan dunia. Tidak jarang, perilaku yang sesuai sunah, justru dinilai kuno; sedangkan perilaku yang bertentangan dengan sunah, dinilai kekinian. Kondisi ini selaras dengan sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya agama ini pada mulanya asing, dan akan kembali asing. Sungguh beruntung orang-orang yang asing, yaitu orang-orang yang memperbaiki sunahku yang dirusak oleh umat manusia sesudahku”. (H.R. al-Tirmidzi).

Misalnya, pada zaman dahulu, seorang sahabat berkata: “Aku akan shalat malam selamanya”; lalu sahabat yang lain menimpali: “Aku akan puasa selamanya”; ada lagi yang berkata: “Aku akan menjauhi wanita, sehingga aku tidak akan menikah selamanya”. Kemudian Nabi SAW bersabda kepada mereka: “Kalian berkata ini dan itu. Demi Allah. Sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan bertakwa kepada Allah di antara kalian semua. Akan tetapi, aku berpuasa dan berbuka; shalat dan tidur; serta menikahi wanita. Barangsiapa membenci sunahku, maka dia bukan golonganku” (H.R. Muttafaq ‘Alaih).  

Zaman milenial kondisinya terbalik. Banyak orang menghabiskan malam dengan dugem, balapan liar, perzinahan, dan aktivitas negatif lainnya. So, pada zaman milenial, mengisi malam dengan tidur maupun shalat, sama-sama bernilai ibadah, karena dapat menghindarkan seseorang dari berbuat maksiat.

Di sisi lain, banyak orang yang terus-menerus makan, tanpa pernah berpuasa, bahkan di bulan Ramadhan sekalipun. Lebih parah lagi, penikmat wisata kuliner zaman milenial tidak lagi memedulikan hukum halal-haram. So, pada zaman milenial, mengonsumsi makanan dan minuman yang dipastikan halal, merupakan suatu ibadah tersendiri. Apalagi rajin menjalankan puasa wajib dan sunah.

Demikian halnya, banyak orang yang mendekati lawan jenis dengan berbagai cara. Di tempat belanja, tempat nongkrong, tempat belajar, bahkan di tempat ibadah, banyak orang yang mencari-cari kesempatan untuk berdekatan dengan lawan jenis. Lebih parahnya lagi, pendekatan dengan lawan jenis hanya demi berpacaran semata, yang seringkali berakhir menjadi perzinahan (kumpul kebo) dan aborsi yang tergolong dosa besar. So, pada zaman milenial, menikah dengan lawan jenis merupakan ibadah yang penting. Terlebih, fenomena pacaran, perzinahan dan pernikahan sesama jenis, semakin membludak jumlahnya.

Paparan di atas menunjukkan bahwa masih banyak perilaku zaman milenial yang perlu diperbaiki. Berikut perilaku khas generasi milenial berdasarkan ulasan idntimes.com, yang perlu dijadikan objek perbaikan, agar sesuai dengan panduan Sunah Nabi SAW:      

Pertama, keseharian generasi zaman milenial tidak bisa dilepaskan dari gawai (gadjet). Sampai-sampai muncul slogan “no gadget, no life”. Gawai memiliki banyak fungsi, mulai dari alat kerja (seperti jual beli dan transportasi online); hiburan (seperti game dan film); komunikasi (seperti media sosial dan telepon); pembelajaran (seperti buku elektronik dan video tutorial) hingga alat ibadah (seperti mushaf al-Qur’an dan video pengajian).

Dalam konteks ini, generasi milenial perlu memberdayakan gawainya untuk fungsi yang positif, terutama saat sedang malas dan butuh hiburan. Hal ini selaras dengan amanat Rasulullah SAW: “Sesungguhnya setiap amal itu ada (fase) semangat; dan setiap semangat, ada (fase) malas. Barangsiapa yang (fase) malasnya menuju sunahku, maka sungguh dia mendapat hidayah; dan barangsiapa yang (fase) malasnya tidak menuju sunahku, maka rusaklah dia”. (H.R. al-Baihaqi). Terbukti, banyak orang yang meraih manfaat saat menggunakan gawainya untuk hal-hal positif, seperti jual beli online dan menonton video pembelajaran. Sebaliknya, banyak orang yang akhirnya dijebloskan ke dalam penjara, karena memakai gawainya untuk hal-hal negatif, seperti ujaran kebencian dan postingan asusila.  

Kedua, generasi zaman milenial menggemari hal-hal yang serba cepat dan instan. Ada yang berkonotasi negatif, seperti plagiat karya tulis orang lain melalui copy-paste, karena banyak siswa atau mahasiswa yang malas mengerjakan karya tulis secara mandiri. Ada pula yang berkonotasi positif, seperti jual beli online melalui pembayaran non-tunai (non-cash), yang mempermudah transaksi jual beli. Dalam konteks ini, Rasulullah SAW bersabda: “Hati-hati itu dari Allah, sedangkan tergesa-gesa itu dari setan” (H.R. al-Baihaqi). Allah SWT juga mengingatkan, “Manusia diciptakan (bertabiat) tergesa-gesa” (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 37).

Tergesa-gesa berbeda dengan adu cepat. Allah SWT dan Rasulullah SAW sama-sama memerintahkan umat muslim agar berlomba adu-cepat dalam amal shalih. Misalnya, “berlarilah menuju Allah” (Q.S. al-Dzariyat [51]: 50) dan “bergegaslah beramal (shalih), sebelum datang fitnah seperti potongan malam yang gulita” (H.R. al-Bukhari). Walhasil, mentalitas serba cepat dan insan, seharusnya diarahkan pada percepatan yang menunjukkan kehati-hatian dan semangat, bukan diarahkan pada ketergesa-gesaan yang menunjukkan keteledoran dan kemalasan. Misalnya, Hatim berkata dalam Hilyah al-Auliya’, “Ketergesa-gesaan itu dari setan, kecuali dalam lima hal: a) memberikan makan, ketika tamu sudah hadir; b) merawat jenazah, ketika seseorang sudah wafat; c) menikahkan gadis, ketika sudah bertemu jodoh; d) melunasi hutang, ketika sudah jatuh tempo; e) bertaubat, ketika sudah berdosa”. Contoh dalam konteks kekinian adalah cepat tanggap memberi pertolongan orang yang terkena musibah, melalui gerakan sosial yang digalang melalui media sosial; layanan publik yang serba-cepat, bukan malah berbelit model birokrasi lawas; belajar mandiri dari berbagai media pembelajaran, tidak hanya menunggu materi pembelajaran guru atau dosen di ruang kelas; dan sebagainya.        

Ketiga, generasi milenial lebih mementingkan pengalaman dibandingkan aset. Oleh sebab itu, bisnis traveling berkembang secara luar biasa pada zaman milenial. Mereka lebih suka menghabiskan uang untuk jalan-jalan menimba pengalaman di dalam negeri maupun di luar negeri. Selanjutnya, pengalaman pribadi tersebut, dibagikan (share) kepada orang lain melalui postingan di berbagai media sosial. Selain menunjukkan eksistensi diri dan meraih simpati, berbagi kepada orang lain sudah menjadi gaya hidup generasi milenial. Istilahnya, “sharing is cool” yang berarti “berbagi itu keren”.

Kekayaan pengalaman dan kegemaran berbagi (share), perlu difungsikan sebagai media amar ma’ruf nahi munkar; karena setiap muslim bertanggung-jawab untuk menebar kebaikan dan menolak keburukan. Sejalan dengan perintah Rasulullah SAW: “Sampaikanlah dariku, walaupun hanya satu ayat” (H.R. al-Bukhari). Hadis ini mengundang setiap muslim agar berperan-serta menebarkan ajaran Islam kepada orang lain, apapun jenis medianya.    

Pada akhirnya, tulisan ini bermaksud menggemakan kembali semangat untuk menghidupkan sunah Nabi SAW pada zaman milenial yang semakin asing dari sunah Nabi SAW. Harapannya, semoga kita tergolong dalam cakupan sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa menghidupkan sunahku, maka sungguh dia mencintaiku; dan barangsiapa mencintaiku, maka dia bersamaku di surga” (H.R. al-Thabarani).