Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pesan Persatuan Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari

Dr. Rosidin, M.Pd.I

http://www.dialogilmu.com


Pesan Persatuan
Pesan Persatuan Haldratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari
اَلتِّبْيَانُ فِي النَّهْيِ عَنْ مُقَاطَعَةِ الأَرْحَامِ وَالأَقَارِبِ وَالإِخْوَانِ
Penjelasan tentang Larangan Memutus Silaturrahim; Sanak Kerabat dan Sanak Saudara

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Segala puji bagi Allah SWT yang telah menjadikan [kegiatan] silaturrahim termasuk ibadah yang paling utama; dan memutus silaturrahim termasuk dosa yang paling jelek dan keburukan yang paling hina. Hal ini telah disebutkan oleh ayat-ayat yang jelas dan hadits-hadits shahih dari sang pembawa syariat, Nabi Muhammad SAW, semoga Shalawat yang paling utama dan Salam yang paling paripurna diberikan kepada beliau, keluarga dan para shahabat beliau, (yakni) para pemimpin umat.

Ayat pertama, Surat al-Nisa’ [4]: 1

وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (1)

Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya, kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.

Maksud Ayat di atas adalah: “Takutlah kalian untuk memutus silaturrahim”.

Sesungguhnya jika engkau mengetahui bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Mengawasi, Yang Menjaga dan Yang Membalas perbuatan-perbuatanmu, niscaya engkau akan bertaubat kepada Allah SWT; mengikuti perintah-Nya; engkau berada pada puncak ketakutan (khauf) terhadap kepedihan siksa-Nya dan keagungan penutup-Nya; serta engkau akan berusaha maksimal memelihara silaturrahim dan takut memutuskannya.

Ayat kedua, Surat Muhammad [47]: 22-24

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ (22) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ (23) أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا (24)

Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah, ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka. Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?

Ayat ketiga, Surat al-Ra’du [13]: 25

وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ (25)

Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).

       Barangsiapa mempunyai batas minimal kesadaran, pemahaman dan tadabbur, niscaya dia akan menjauhi perbuatan memutus silaturrahim, dengan batas minimal petunjuk yang termuat dalam tiga ayat di atas. Seandainya engkau membuka mata hatimu dan menyucikan hatimu dari kekurangan-kekurangan, niscaya engkau akan memahami ayat-ayat di atas dengan pemahaman yang mengarahkanmu untuk mengerahkan segenap kemampuan dalam menjalin tali silaturrahim semaksimal mungkin.

       Ayat keempat, Surat al-Baqarah [2]: 26-27

وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلَّا الْفَاسِقِينَ (26) الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (27)

Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik,  (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.

Diriwayatkan dari Muhammad al-Baqir RA bahwa ayah beliau, yaitu ‘Ali Zainal Abidin RA berkata: “Janganlah engkau berteman dengan orang yang memutus silaturrahim, karena sesungguhnya saya mendapati pelakunya telah dilaknat al-Qur’an dalam tiga tempat. Lalu ‘Ali Zainal Abidin RA membaca ayat di atas, yaitu Surat Muhammad [47]: 22-24, pelaknatan dalam ayat ini [terhadap pemutus silaturrahim] begitu jelas. Surat al-Ra’du [13]: 25,  pelaknatan dalam ayat ini bersifat umum, karena apa yang diperintahkan oleh Allah SWT agar disambung, mencakup silaturrahim dengan sanak saudara dan yang lain. Surat al-Baqarah [2]: 26-27, pelaknatan dalam ayat ini bersifat implikatif (iltizam), karena pemutusan silaturrahim termasuk hal-hal yang dapat mengakibatkan kerugian.

Adapun Hadits-hadits yang berkaitan dengan silaturrahim adalah:

Hadits pertama, Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari sanad Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:

اِنَّ الله تَعَالَى خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتِ الرَّحِمُ، فَقَالَتْ: هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنَ الْقَطِيْعَةِ؟ قَالَ: نَعَمْ، اَمَّا تَرْضِيْنَ اَنْ اَصِلَ مَنْ وَصَلَكَ، وَاَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكَ. قَالَتْ: بَلَى. قَالَ: فَذَاكَ لَكِ.

Sesungguhnya Allah SWT menciptakan makhluk hingga ketika sudah selesai, maka rahim (kekerabatan) berkata: “Apakah ini adalah maqam (posisi) orang yang meminta perlindungan kepada-Mu dari memutus (rahim)?”. Allah menjawab: “Ya, apakah kamu ridha, jika Aku menyambung orang yang menyambungmu (yakni silaturrahim), dan memutus orang yang memutusmu?”. Rahim menjawab: “Tentu”. Allah berfirman: “Yang demikian itu adalah bagianmu”.

       Hadits shahih lain adalah sabda Nabi SAW:

مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُهُ لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ، وَالْخِيَانَةِ، وَالْكَذِبِ. وَإِنَّ أَعْجَلَ الطَّاعَةِ ثَوَابًا لَصِلَةُ الرَّحِمِ، وَإِنَّ أَهْلَ الْبَيْتِ لَيَكُوْنُوْا فَجْرَةً فَتَنْمُوْ أَمْوَالُهُمْ وَيَكْثِرُ عَدَدُهُمْ إِذَا تَوَاصَلُوْا. وَمَا مِنْ اَهْلِ بَيْتٍ يَتَوَاصَلُوْنَ فَيَحْتَاجُوْنَ، وَإِنَّ اَعْمَالَ بَنِيْ اَدَمَ تُعْرَضُ كُلَّ خَمِيْسٍ وَلَيْلَةِ جُمْعَةٍ، فَلاَ يُقْبَلُ مِنْهَا عَمَلُ قَاطِعِ رَحِمٍ.

Tidak ada dosa yang lebih patut untuk dipercepat siksanya oleh Allah SWT terhadap pelakunya ketika di dunia; serta masih disimpan siksa untuknya di akhirat kelak, selain (dosa dari) sifat sewenang-wenang, memutus silaturrahim, khianat dan berdusta. Sesungguhnya ketaatan yang paling cepat (mendapat) pahalanya adalah menjalin silaturrahim. Sesungguhnya sebuah keluarga yang seluruh anggota keluarganya bejat sekalipun, harta mereka akan tumbuh-berkembang dan jumlah mereka semakin banyak, jika mereka menjalin silaturrahim. Tidak ada sebuah keluarga pun yang menjalin silaturrahim, lalu mereka dalam kondisi membutuhkan [yakni kekurangan rezeki]. Sesungguhnya amalan-amalan manusia dilaporkan pada setiap hari kamis dan malam Jum’at, lalu tidak diterima amalan orang yang memutus silaturrahim.

Hadits shahih lain berupa sabda Nabi SAW:

ثَلاَثَةٌ لاَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّة َ: مُدْمِنُ الْخَمْرِ، وَقَاطِعُ الرَّحِمِ، وَمُصَدِّقٌ بِالسِّحْرِ.

Tiga orang yang tidak akan masuk surga, yaitu: orang yang terus-menerus minum khamr; orang yang memutus silaturrahim; dan orang yang membenarkan (mempercayai) sihir.

Nabi SAW juga bersabda:

اَلرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ، تَقُوْلُ: مَنْ وَصَلَنِيْ وَصَلَهُ الله، وَمَنْ قَطَعَنِيْ قَطَعَهُ الله.

Rahim (silaturrahim) digantung di ‘Arsy dan berkata: “Barangsiapa menyambungku, maka Allah akan menyambungnya; barangsiapa memutusku, maka Allah akan memutusnya”.

Nabi SAW meriwayatkan sebuah Hadits Qudsi:

يَقُوْلُ الله تَعَالَى: اَنَا الله، اَنَا الرّْحْمنُ، خَلَقْتُ الرَّحِمَ وَشَقَقْتُ لَهَا إِسْمًا مِنْ إِسْمِيْ. فَمَنْ وَصَلَهَا، وَصَلْتُهُ. وَمَنْ قَطَعَهَا، قَطَعْتُهُ.

Allah SWT berfirman: “Aku adalah Allah. Aku adalah al-Rahman. Aku menciptakan Rahim; dan Aku memberinya nama dari sebagian nama-Ku. Maka barangsiapa menyambung Rahim, maka Aku akan menyambungnya; dan barangsiapa memutus Rahim, maka Aku akan memutusnya.

Nabi SAW bersabda:

أرْبَى الرِّبَا الإِسْتِطالَةُ في عِرْضِ المُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ، وَإِنَّ هَذِهِ الرَّحِمَ لَشُجْنَةٌ مِنَ الرَّحْمنِ – يَعْنِي قَرَابَةً مَشْتَبِكَّةً كَاشْتِبَاكِ الْعُرُوْقِ، وَفِيْهَا لُغَتَانِ، كَسْرُ الشِّيْنِ وَضَمُّهَا مَعَ إِسْكَانِ الْجِيْمِ – تَقُوْلُ: يَارَبِّ إِنِّيْ قُطِعَتُ، إِنِّي اُوْسِئُ إِلَيَّ يَارَبِّ، إِنِّي ظُلِمْتُ يَارَبِّ، فَيُجِيْبُهَا: اَلاَ تَرْضِيْن اَنْ اَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَاَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ.

Perkara yang paling riba adalah merusak kehormatan orang muslim tanpa haq [alasan yang dibenarkan syariat]. Sesungguhnya Rahim ini adalah cabang dari al-Rahman. –Yang dimaksud Rahim oleh Nabi SAW di sini adalah kekerabatan yang terjalin layaknya jalinan otot-otot. Rahim berkata: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku diputus; dan sesungguhnya aku diperlakukan dengan buruk, wahai Tuhanku; dan sesungguhnya aku dizhalimi, wahai Tuhanku. Lalu Allah SWT menjawab: “Apakah engkau ridha jika Aku menyambung orang yang menyambungmu dan memutus orang yang memutusmu?.

Sa’id bin Zaid RA meriwayatkan dari Nabi SAW yang bersabda:

إِنَّ مِنْ أرْبَى الرِّبَا الإِسْتِطالَةُ في عِرْضِ المُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ، وَإِنَّ هَذِهِ الرَّحِمَ شُجْنَةٌ مِنَ الرَّحْمنِ عَزَّ وَجَلَّ، فَمَنْ قَطَعَهَا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ. (رواه الإمام احمد والبزار)

Sesungguhnya perkara yang paling riba adalah merusak kehormatan orang muslim tanpa haq. Sesungguhnya Rahim adalah cabang dari Ar-Rahman ‘Azza wa Jalla. Barangsiapa memutus Rahim, maka Allah mengharamkan surga baginya. (H.R. Imam Ahmad dan al-Bazzar)

Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA secara marfu’ bahwa Nabi SAW bersabda:

اَلطَّابِعُ مُعَلَّقٌ بِقَائِمَةِ الْعَرْشِ، فَإِذَا اشْتَكَتِ الرَّحِمُ، وَعُمِلَ بِالْمَعَاصِيْ، وَاجْتُرِئَ عَلَى اللهِ، بَعَثَ اللهُ الطَّابِعَ فَيَطْبَعُ عَلَى قَلْبِهِ، فَلاَ يَعْقِلُ بَعْدَ ذَلِكَ شَيْئًا.

Ada stempel yang digantung pada tiang ‘Arsy. Ketika Rahim melapor [tentang adanya pemutusan silaturrahim]; ketika dilakukan kemaksiatan-kemaksiatan; dan ketika Allah SWT didurhakai; maka Allah mengutus stempel tadi, lalu stempel itu menyetempel pada hati pelaku, sehingga orang tersebut tidak lagi mengingat apapun sesudah itu.

       Dalam riwayat hadits disebutkan:

عَنْ رَجُلٍ مِنْ خَثْعَمَ، قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم وَهُوَ فِي نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ، قَالَ: قُلْتُ: أَنْتَ الَّذِي تَزْعُمُ أَنَّكَ رَسُولُ اللهِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ الله، أَيُّ الأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ تَعَالَى؟ قَالَ: إِيمَانٌ بِاللهِ. قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ الله، ثُمَ مَهْ؟ قَالَ: ثُمَّ صِلَةُ الرَّحِمِ. قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ الله، ثُمَ مَهْ؟ قَالَ: ثُمَّ الأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ. قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ الله، أَيُّ الأَعَمَالِ أَبْغَضُ إِلَى الله؟ قَالَ: الإِشْرَاكُ بِالله. قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ الله، ثُمَ مَهْ؟ قَالَ: قَطِيعَةُ الرَّحِمِ. قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ الله، ثُمَ مَهْ؟ قَالَ: الأَمْرُ بِالْمُنْكَرِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمَعْرُوفِ.

Seorang laki-laki dari Khats’am berkata: “Saya mendatangi Nabi SAW ketika beliau sedang berada di tengah para Shahabat. Saya bertanya: “Apakah Anda yang mengaku sebagai Rasulullah?”. Nabi SAW menjawab: “Ya”. Saya bertanya: “Amalan apakah yang paling dicintai Allah Ta’ala?”. Nabi SAW menjawab: “Iman kepada Allah”. Saya bertanya: “Wahai Rasulullah, kemudian apa?”. Nabi SAW menjawab: “Menyambung silaturrahim”. Saya bertanya: “Wahai Rasulullah, lalu apa lagi?”. Nabi SAW menjawab: “Amar ma'ruf nahy munkar”. Saya bertanya: “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling dibenci Allah?”. Nabi SAW menjawab: “Syirik kepada Allah”. Saya bertanya: “Wahai Rasulullah, kemudian apa?”. Nabi SAW menjawab: “Memutus silaturrahim”. Saya bertanya: “Wahai Rasulullah, lalu apa lagi?”. Nabi SAW menjawab: “Memerintahkan yang munkar dan mencegah yang ma'ruf”.

       Dari riwayat Abu Ayyub RA disebutkan:

أَنّ أَعْرَابِيا عَرَضَ لِرَسُولِ اللّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي سَفَرٍ، فَأَخَذَ بِخِطَامِ نَاقَتِهِ أَوْ بِزِمَامِهَا، ثُمّ قَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ أَوْ يَا مُحَمّدُ، أَخْبِرْنِي بِمَا يُقَرّبُنِي مِنَ الْجَنّةِ، وَمَا يُبَاعِدُنِي مِنَ النّارِ. قَالَ: فَكَفَّ النّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ نَظَرَ فِيْ أَصْحَابِهِ، ثُمّ قَالَ: لَقَدْ وُفّقَ أَوْ لَقَدْ هُدِيَ. قَالَ: كَيْفَ قُلْتَ؟ قَالَ: فَأَعَادَهَا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَعْبُدُ اللهَ وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئا، وَتُقِيمُ الصّلاَةَ، وَتُؤْتِي الزّكَاةَ، وَتَصِلُ الرّحِمَ، دَعِ النّاقَةَ. وَفِيْ رِوَايَةٍ: وَتَصِلُ ذَا رَحِمَكَ. وَلَمَّا اَدْبَرَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ تَمَسَّكَ بِمَا اَمَرْتُهُ، دَخَلَ الْجَنَّةَ. (رواه الشيخان، واللفظ لمسلم).

Sesungguhnya ada seorang badui terlihat oleh Rasulullah SAW ketika beliau dalam suatu perjalanan. Kemudian si badui memegang kendali unta Rasulullah SAW, dan dia bertanya: “Wahai Rasulullah atau Wahai Muhammad, beritahukan kepadaku, apa yang dapat mendekatkanku pada surga dan menjauhkanku dari neraka?”. Abu Ayyub berkata: Lalu Nabi SAW menghentikan unta beliau dan memandangi para Shahabat, kemudian beliau bersabda: “Sungguh dia telah diberi Taufiq atau sungguh dia telah diberi Hidayah”. Nabi SAW bersabda lagi: “Apa yang engkau tanyakan tadi?”. Abu Ayyub berkata: Laki-laki itupun mengulangi pertanyaan sebelumnya. Setelah itu Nabi SAW menjawab: “Sembahlah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan apapun; dirikanlah shalat; tunaikanlah zakat; jalinlah silaturrahim; dan lepaskanlah unta (yang engkau pegangi) ini”. Menurut riwayat lain: “Sambunglah orang yang memiliki ikatan kekerabatan denganmu”. Dan ketika laki-laki itu pergi, Nabi SAW bersabda: “Jika orang itu melakukan apa yang aku perintahkan, maka dia akan masuk surga”. (H.R. Imam Bukhari dan Muslim, namun redaksi hadits ini adalah dari Imam Muslim).

       Dari riwayat Ibnu Abbas RA, bahwa Nabi SAW bersabda:

إنّ الله لَيُعَمِّرُ بِالْقَوْمِ الدِّيارَ، وَيُثْمِرُ لَهُمُ الأَمْوالَ، وَمَايَنْظَرُ إِلَيْهِمْ مُنْذُ خَلَقَهُمْ بُغْضاً لَهُمْ. قِيْلَ: وَكَيْفَ ذَاكَ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟، قَالَ: بصِلَتِهِمْ أرْحامَهُمْ. (رواه الطبراني)

“Sesungguhnya Allah telah meramaikan daerah-daerah suatu kaum; memperbanyak harta-harta mereka dan Allah tidak lagi melihat mereka sejak penciptaan mereka, karena benci kepada mereka”. Kemudian ada yang bertanya: “Bagaimana yang demikian itu bisa terjadi, wahai Rasulullah?”. Nabi SAW menjawab: “Disebabkan jalinan silaturrahim mereka [yang mereka putuskan]”. (H.R. al-Thabarani)

PERINGATAN (التنبية)

Yang dimaksud dengan rahim (kekerabatan) yang wajib dijalin adalah kekerabatan yang bersifat ke-mahram-an, yaitu kekerabatan yang seandainya ada dua orang, yang satu laki-laki, sedangkan yang lain wanita, maka keduanya tidak diperkenankan menikah. Misalnya: Ayah, ibu, saudara, saudari, kakek, nenek, dan seterusnya; paman dan bibi dari jalur ayah; serta paman dan bibi dari jalur ibu. Adapun anak-anak paman dan bibi (sepupu), maka menjalin silaturrahim dengan mereka sifatnya tidak wajib, sebagaimana diperkenankan adanya pernikahan dengan mereka. (Tahdzib al-Furauq)

Diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah RA bahwa Nabi SAW bersabda:

إِنَّهُ مَنْ اُعْطِيَ الرِّفْقَ فَقَدْ اُعْطِيَ حَظَّهُ مِنَ الدُّنْيَا وَالأَخِرَةِ. وَصِلَةُ الرَّحِمِ، وَحُسْنُ الْجِوَارِ، وَحُسْنُ الخُلُقِ، يُعَمِّرَانِ الدِّيَارَ، وَيَزِدَانِ فِي الأَعْمَارِ. (رواه الإمام أحمد)

Sesungguhnya orang yang diberi sifat belas kasih, sungguh telah memperoleh kebaikan dunia dan akhirat. Menjalin silaturrahim; berbuat baik kepada tetangga; dan berakhlak terpuji; semua itu dapat meramaikan daerah-daerah dan menambah usia-usia. (H.R. Imam Ahmad).

Diriwayatkan dari Durrah binti Abi Lahab RA yang berkata: “Saya bertanya kepada Rasulullah SAW, siapakah manusia yang terbaik?”. Nabi SAW menjawab:
اَتْقَاهُمْ لِلرَّبِّ وَاَوْصَلُهُمْ لِلرَّحِمِ وَأمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَاَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ. (رواه ابو الشيخ)
Orang yang paling bertaqwa kepada Allah SWT di antara mereka; yang paling (banyak) menjalin silaturrahim; yang paling (banyak) melakukan amar ma'ruf nahy munkar. (H.R. Abu al-Syaikh)

       Diriwayatkan dari Anas RA yang berkata: Rasulullah SAW bersabda:

لاَ تَقَاطَعُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلا تَحَاسَدُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا، وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ. (رواه البخاري وابو داود والنسائي ومسلم والطبراني). وَزَادَ فِيْهِ: يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرَضُ هَذَا وَيُعْرَضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِيْ يَبْدَاءُ بِالسَّلاَمِ يَسْبِقُ إِلَى الْجَنَّةِ.

Janganlah kalian saling memutus (silaturrahim); saling berpaling; saling benci; saling iri hati; dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Orang muslim tidak halal mendiamkan (nyatru, bahasa Jawa) saudaranya di atas tiga hari. (HR. Imam Bukhari, Abu Dawud, al-Nasa’i, Muslim dan al-Thabarani). Dalam riwayat lain ada tambahan: Ketika ada dua orang muslim bertemu, yang satu berpaling dan yang lain juga berpaling. Maka yang terbaik di antara keduanya adalah orang yang memulai salam, di mana dia akan lebih dahulu masuk surga.

Imam Malik RA berkata: “Saya tidak menilai sebagai tindakan saling berpaling, kecuali jika seseorang berpaling dari saudaranya dengan memalingkan mukanya”.

       Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوقَ ثَلاَثٍ، فَمَنْ هَجَرَ فَوْقَ ثَلاَثٍ فَمَاتَ دَخَلَ النَّارَ. (رواه ابو داود)، وَفِي رِوَايَةٍ لأَبِيْ دَاوُدَ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ يَحِلُّ لِمُؤْمِنٍ أنْ يَهْجُرَ مُؤْمِناً فَوقَ ثَلاَثٍ، فَإِنْ مَرَّتْ بِهِ ثَلاَثٌ، فَلْيَقُلْهُ وَلْيُسَلِّمْ عَلَيْهِ، فَإنْ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلامَ فَقَدِ اشْتَرَكَا فِي الأجْرِ، وَإنْ لَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ فَقَدْ بَاءَ بِالإثْمِ، وَخَرَجَ المُسَلِّمُ مِنَ الْهُجْرَةِ.

Orang muslim tidak boleh mendiamkan (nyatru) saudaranya lebih dari tiga hari. Barangsiapa mendiamkan saudaranya di atas tiga hari, kemudian dia meninggal dunia, maka dia masuk neraka. (H.R. Abu Dawud). Dalam riwayat Abu Dawud yang lain disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda: Orang mukmin tidak halal mendiamkan saudaranya sesama mukmin lebih dari tiga hari. Jika telah lewat tiga hari, maka hendaknya si mukmin mengajak bicara dan memulai mengucapkan salam kepada saudaranya sesama muslim. Maka jika saudaranya itu menjawab salam, berarti keduanya sama-sama memperoleh pahala; namun jika saudaranya itu tidak menjawab salam, maka saudaranya tersebut kembali dengan membawa dosa, sedangkan si mukmin yang memulai salam terbebas dari (dosa) mendiamkan  saudaranya.

PERINGATAN

Yang dimaksud dengan mendiamkan orang lain adalah seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari tanpa ada alasan syar’i (dibenarkan oleh syariat Islam). Sedangkan yang dimaksud dengan saling berpaling adalah seorang muslim bertemu saudaranya, lalu dia memalingkan muka dari saudaranya tersebut. Yang dimaksud dengan saling membenci adalah perubahan suasana hati yang menyebabkan salah satu dari perilaku mendiamkan orang lain dan/atau saling berpaling serta menyakiti hati. Dari sini benar jika dikatakan bahwa sikap-sikap di atas tergolong perilaku memutus silaturrahim. Demikian pendapat Ibnu Hajar RA dalam al-Zawajir.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA yang berkata: Rasulullah SAW bersabda:

لاَ يَحِلُّ الْهُجْرُ فَوْقَ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ، فَاِنِ الْتَقَيَا فَسَلَّمَ اَحَدُهُمَا اشْتَرَكَا فِي الأَجْرِ، وَاِنْ لَمْ يُرَدْ بَرِئَ هَذَا مِنَ الاِثْمِ وَبَاءَ بِهِ الأَخَرُ، وَاْحْسِبُهُ قَالَ: وَاِنْ مَاتَا وَهُمَا مُتَهَاجِرَانِ لاَ يَجْتَمِعَانِ فِي الْجَنَّةِ. (رواه الطبراني في الأوسط).
Tidak halal mendiamkan orang lain (nyatru) lebih dari tiga hari. Jika kedua orang yang nyatru itu bertemu, kemudian salah satunya mengucapkan salam dan yang lain menjawabnya, maka keduanya sama-sama memperoleh pahala. Jika salamnya tidak dijawab, maka orang yang mengucapkan salam terbebas dari dosa; sedangkan orang yang menolak menjawab salam, kembali dengan membawa dosa. Ibnu Abbas RA berkata: Saya mengira Rasulullah SAW bersabda: Jika kedua orang itu meninggal dunia dalam status saling mendiamkan diri (nyatru), maka keduanya tidak akan berkumpul di surga. (H.R. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud RA secara mauquf dengan sanad bagus:

لاَ يَتَهَاجَرُ الرَّجُلاَنِ قَدْ دَخَلاَ فِي الإِسْلاَمِ، إِلاَّ خَرَجَ اَحَدُهُمَا مِنْهُ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى مَا خَرَجَ مِنْهُ، وَرُجُوْعُهُ بِأَنْ يَأْتِيَهُ فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ.

Tidak nyatru antara dua orang yang telah masuk dalam Islam, kecuali salah satunya telah keluar dari Islam, sampai dia kembali kepada apa yang menyebabkan dia keluar dari Islam. Kembalinya kepada Islam adalah dengan cara dia mendatangi saudaranya (yang didiamkan) dan mengucapkan salam kepadanya.

       Al-Bazzar meriwayatkan dengan sanad shahih bahwa Nabi SAW bersabda:

لَوْ اَنَّ رَجُلَيْنِ دَخَلاَ فِي الإِسْلاَمِ، فَاهْتَجَرَا، لَكَانَ اَحَدُهُمَا خَارِجًا عَنِ الإِسْلاَمِ حَتَّى يَرْجِعَ، يَعْنِى الظَّالِمَ مِنْهُمَا.
Seandainya ada dua orang telah masuk Islam, lalu keduanya saling nyatru; maka salah satunya telah keluar dari Islam, sampai dia kembali [ke dalam Islam dengan cara memulai menegur salam kepada saudaranya]. Yang dimaksud dengan pihak yang keluar dari Islam di sini adalah orang yang zhalim di antara keduanya.


FAIDAH

Ibnu Hajar RA berpendapat dalam al-Zawajir: “Hal yang lebih mirip (relevan) adalah sesungguhnya mendiamkan orang muslim lain (nyatru) lebih dari tiga hari, termasuk dosa besar, karena di dalamnya terdapat sikap memutus silaturrahim, menyakiti hati dan merusak (hubungan). Dan dikecualikan dari keharaman nyatru, beberapa permasalahan yang dikemukakan oleh para imam. Intinya adalah jika nyatru dapat mendatangkan kebaikan terhadap aspek keagamaan orang yang nyatru dan orang yang di-satru, maka hukumnya nyatru boleh. Jika tidak demikian, maka hukumnya tidak boleh.

Saya [yakni penulis, Hadlratus Syaikh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari, semoga Allah SWT memaafkan beliau, kedua orang tua, guru-guru dan seluruh umat Islam] berpendapat: “Saya melihat dengan mata kepala sendiri bahwa nyatru yang terjadi di tengah-tengah kita pada masa ini tidak mendatangkan kebaikan terhadap aspek keagamaan orang yang nyatru maupun orang yang di-satru; serta tidak mendatangkan kebaikan pada aspek keduniaan kedua belah pihak. Bahkan nyatru yang terjadi saat ini, justru mendatangkan kerusakan terhadap aspek keagamaan maupun keduniaan sebagaimana yang dipahami oleh orang yang mau merenungkannya secara jeli; sehingga nyatru di sini termasuk dosa besar, karena dapat mendatangkan kerusakan pada aspek keagamaan dan keduniaan, serta mendatangkan sikap saling iri hati dan saling membenci. Wallahu A’lam.

CABANG

Jika kita mengacu pada pendapat penulis al-‘Uddah, yakni bahwa nyatru orang muslim lain lebih dari tiga hari termasuk dosa kecil; dan dia terus-menerus melakukan perbuatan nyatru, maka posisinya menempati perbuatan dosa besar. Batasan terus-menerus adalah dosa kecil itu berulang-ulang dilakukan oleh seseorang dengan intensitas yang mengisyaratkan minimnya perhatian si pelaku terhadap agamanya; dan sikap ‘meremehkan agamanya’ itulah yang menempatkan dosa kecil yang terus-menerus pada posisi dosa besar; sehingga hal itu menyebabkan kesaksian maupun riwayatnya (harus) ditolak. Demikian juga jika terhimpun berbagai macam dosa kecil sehingga himpunan dosa kecil itu terasa seperti dosa besar yang paling kecil. Demikian pendapat yang dikemukakan oleh Syaikh ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam RA dalam Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam.    

Jika kita merujuk pada pendapat bahwa nyatru tergolong dosa besar, maka seseorang menjadi fasiq sebab perbuatan nyatru, meskipun tidak dilakukan secara terus-menerus; dan sikap ‘adalah-nya (kualitas moralnya) maupun hak walinya terhadap wanita objek perwalian, menjadi gugur; persaksian dan riwayatnya juga tertolak. Maka renungkanlah peringatan ini!. Sesungguhnya hal itu sangat penting; dan terkadang orang-orang ‘alim (khusus) saja lalai dalam masalah ini, apalagi orang-orang awam.

Diriwayatkan dari al-A’masy RA yang berkata: Ibnu Mas’ud RA duduk pada suatu halaqah (majlis pertemuan) setelah shalat Shubuh, kemudian dia berkata: “Saya bersumpah kepada Allah SWT terkait orang yang memutus silaturrahim jika dia berada di tengah-tengah kita, bahwa sesungguhnya saya ingin kita berdoa kepada Rabb kita, namun sungguh pintu-pintu langit itu ditutup dikarenakan keberadaan orang yang memutus silaturrahim”. (H.R. al-Thabarani).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa RA yang berkata: Kami sedang duduk-duduk bersama Nabi SAW dan beliau bersabda:

لاَ يُجَالِسُنَا الْيَوْمَ قَاطِعُ رَحِمٍ. فَقَامَ فَتًى مِنَ الْحَلَقَةِ فَأَتَى خَالَةً لَهُ قَدْ كَانَ بَيْنَهُمَا بُغْضُ الشَّيْئِ، فَاسْتَغْفَرَ لَهَا وَاسْتَغْفَرَتْ لَهُ، ثُمَّ عَادَ إِلَى الْمَجْلِسِ. فَقَالَ النَّبِيّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الرَّحْمَةَ لاَ تَنْزِلُ عَلَى قَوْمٍ فِيْهِمْ قَاطِعُ رَحِمٍ. (رواه ابو نعيم الأصفهاني في الحلية)

“Jangan sampai orang yang memutus silaturrahim ikut duduk-duduk bersama kita”. Kemudian seorang pemuda bangkit meninggalkan halaqah (majlis), lalu dia menemui bibinya, karena sesungguhnya telah terjadi suatu kebencian antara si pemuda dengan bibinya tersebut; lalu pemuda itu meminta maaf kepada bibinya, dan bibinya juga meminta maaf kepada si pemuda. Selanjutnya pemuda itu kembali lagi ke majlis, kemudian Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Rahmat tidak akan turun kepada suatu kaum yang mana di antara mereka ada orang yang memutus tali silaturrahim”. (H.R. Abu al-Nu’aim al-Ashfahani dalam al-Hulyah).

NUKTAH

Yang dimaksud dengan memutus silaturrahim yang diharamkan adalah memutus suatu kebiasaan yang dilakukan terhadap sanak kerabat, yaitu mengawali silaturrahim dan berbuat baik kepada mereka; baik dalam bentuk harta, surat-menyurat (korespondensi), kunjungan, dan lain-lain. Maka memutus semua itu setelah terbiasa melakukannya, tanpa ada udzur syar’i, tergolong dosa besar, karena hal itu dapat meresahkan, menjauhkan dan menyakiti jiwa. Benar jika dikatakan bahwa orang tersebut telah memutus silaturrahim. Demikian pendapat Syaikh Ibnu Hajar RA dalam al-Zawajir.

Maka renungkanlah keterangan di atas!, semoga Allah SWT memberi Taufiq kepada Anda agar senantiasa taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya. Sesungguhnya keburukan orang yang memutus silaturrahim menjalar kepada teman-teman semajlisnya maupun masyarakatnya, yakni mereka ikut tercegah dari naungan rahmat sebagaimana si pelaku itu sendiri. Jika yang demikian ini adalah dampak buruk dari memutus silaturrahim yang diterima oleh orang-orang yang menjadi teman duduk pemutus silaturrahim, maka bagaimana pendapat Anda [tentang dampak buruk] terhadap pemutus silaturrahim itu sendiri?. Maka sadarkan diri Anda, bahwa memutus silaturrahim merupakan sesuatu yang sangat menakutkan. Saya memohon kepada Allah SWT, semoga Allah SWT memberikan Taufiq kepada Anda untuk senantiasa menjalin silaturrahim, meskipun hanya di dalam hati sekalipun. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan Dzat Yang Berhak mengabulkan doa-doa.

Ibnu ‘Abbas RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

ثَلاَثٌ لاَ تُرْفَعُ صَلاَتُهُمْ فَوْقَ رُؤُوْسِهِمْ شِبْرًا، رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ، وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا سَاخِطٌ، وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ. (رواه ابن ماجه وابن حبان)

Tiga orang yang (pahala) shalatnya tidak terangkat sejengkal pun dari kepalanya, yaitu: laki-laki yang mengimami shalat suatu kaum, sedangkan mereka membencinya; wanita yang tidur malam, sedangkan sang suami marah kepadanya; dan dua orang bersaudara yang saling memutus silaturrahim. (H.R. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda:

تُفْتَحُ اَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيْسِ، وَيُغْفَرُ لِكُلّ عَبْدٍ لاَ يُشْرِكَ بِاللهِ شَيْئًا اِلاَّ رَجُلٌ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اَخِيْهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ اَنْظِرُوْا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا. (رواه مسلم)

Pintu-pintu surga dibuka pada hari senin dan kamis; dan diampuni [dosa-dosa] setiap hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan apapun, kecuali orang yang memiliki permusuhan dengan saudaranya. Maka dikatakan: “Tunggulah dua orang [yang bermusuhan] ini, sampai keduanya berdamai”.  (H.R. Muslim)

Abu Dawud RA berkata: “Jika nyatru itu karena Allah, maka nyatru tersebut tidak termasuk dalam cakupan hadits di atas, karena sesungguhnya Nabi SAW pernah mendiamkan sebagian istri beliau selama 40 hari; dan Ibnu Umar RA pernah mendiamkan puteranya sampai beliau wafat”.

Saya, al-Faqir ila Allah Ta’ala (K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari, semoga Allah SWT memaafkannya, kedua orang tuanya dan seluruh umat Islam) berpendapat: “Adapun nyatru karena Allah SWT yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW, maka dapat diterima; demikian juga jika dinisbatkan kepada Ibnu ‘Umar RA. Sedangkan jika dinisbatkan kepada orang seperti kita, maka masih membutuhkan analisa yang mendalam dan melakukan penalaran. Sungguh saya pernah melihat dengan mata kepala sendiri bahwa ada seorang ahli ilmu yang sangat tekun beribadah, dia shalat di malam hari dan berpuasa di siang hari; tidak berbicara kecuali sekiranya mendesak; sudah berulang-ulang menunaikan haji; sehingga dia menjadi Syaikh Thariqah Naqsyabandiyah. Dalam sebagian hari-harinya, dia mengasingkan diri dari masyarakat dan tinggal di sebuah rumah. Dia tidak keluar kecuali untuk shalat jama’ah dan mendidik masyarakat tentang tata cara dzikir.

Pada suatu hari, dia keluar untuk shalat Jum’at, ketika tiba di masjid, dia marah terhadap orang-orang yang hadir di masjid dan mengumpat mereka dengan perkataan kotor, kemudian dia bergegas pulang ke rumahnya. Pada hari yang lain, ada seorang menteri datang ke rumah orang alim itu untuk meminta doa agar hidupnya sejahtera, lalu menteri itu memberi sejumlah uang kepadanya. Orang alim itu menerima uang itu dan mendoakan sang menteri, serta menemui menteri itu dengan sikap lemah lembut dan lapang dada.

Selang beberapa hari, saya mendatangi orang alim itu di rumahnya, saya berdiri di depan rumahnya dalam waktu yang lama. Saya memanggilnya beberapa kali, namun dia tidak menjawabnya sampai datang istrinya di balik pintu, dan berkata: “Sesungguhnya saudara Anda tidak senang keluar dari tempatnya untuk menemui siapapun”. Saya berkata kepada wanita itu: “Beritahukan kepadanya, bahwa saudaranya, yaitu Muhammad Hasyim Asy’ari ingin menemuinya, maka hendaklah dia keluar rumah. Jika tidak mau keluar, maka saya akan masuk ke rumahnya dan memaksanya keluar”.

Lalu si istri memberitahukan kepada orang alim tersebut, kemudian dia keluar  menemuiku. Saya bertanya: “Wahai saudaraku, saya mendengar bahwa engkau melakukan ini dan itu, apa yang membuat Anda berbuat demikian?”. Dia menjawab: “Sesungguhnya saya melihat orang-orang bukan dalam bentuk mereka yang sebenarnya; saya melihat mereka seperti kera-kera”. Saya menjawab: “Mungkin setan telah menyihir kedua mata Anda dan menimpakan waswas di hati Anda; dan setan itu berkata: ‘Diamlah di rumahmu dan jangan keluar darinya, agar orang-orang meyakini bahwa engkau adalah seorang waliyullah, sehingga mereka akan berdatangan kepadamu untuk bertamu, meminta barakah, dan mereka memberimu hadiah yang banyak’. Wahai saudaraku, renungkanlah dengan bijak, sungguh Rasulullah SAW pernah bersabda kepada Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash RA: “Sesungguhnya tamumu mempunyai hak atasmu”. Rasulullah SAW juga bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia menghormati tamunya”. Setelah beberapa hari, orang alim itu datang ke rumahku dan berkomentar: “Engkau benar, wahai saudaraku. Sekarang saya meninggalkan ‘uzlah-ku (yakni mengasingkan diri dari masyarakat) dan saya melakukan kegiatan seperti orang-orang pada umumnya”. Sikap tersebut berlanjut hingga orang alim tersebut wafat –semoga Allah SWT merahmatinya–.

Sudah maklum bahwa terjadi perselisihan pendapat dalam masalah furu’ [detail-detail ajaran Islam] di antara para shahabat, padahal mereka adalah umat yang terbaik. Namun masing-masing tidak saling bertengkar; tidak saling memusuhi; dan tidak saling menisbatkan kesalahan maupun keteledoran kepada pihak lain. Demikian juga terjadi perselisihan pendapat dalam masalah furu’ di antara Imam Abu Hanifah RA dan Imam Maliki RA dalam banyak hal, bahkan jumlah perselisihan pendapat di antara keduanya paling tidak mencapai 14.000 masalah dalam bab ibadah dan muamalah; dan antara Imam Ahmad bin Hanbal RA dengan gurunya, yaitu Imam Syafi’i RA dalam banyak masalah juga. Namun masing-masing tidak saling memusuhi, saling menghina, saling dendam maupun saling menisbatkan kesalahan dan keteledoran kepada pihak lain; bahkan mereka senantiasa saling mencintai dan memprioritaskan saudaran mereka, serta saling mendoakan kebaikan satu sama lain.

Disebutkan bahwa ketika Imam Syafi’i RA berziarah ke makam Imam Abu Hanifah RA, beliau tinggal di sana selama tujuh hari dengan terus-menerus membaca al-Qur’an. Setiap kali mengkhatamkan satu khataman al-Qur’an, Imam Syafi’i RA menghadiahkan pahalanya kepada Imam Abu Hanifah RA. Dan sesungguhnya Imam Syafi’i RA tidak pernah membaca qunut pada waktu shalat shubuh selama beliau tinggal di kubah Imam Abu Hanifah RA. Ketika Imam Syafi’i RA pulang, ada sebagian murid beliau yang bertanya: “Mengapa Anda tidak membaca qunut selama tinggal di kubah Imam Abu Hanifah?”. Imam Syafi’i RA menjawab: “Sesungguhnya Imam Abu Hanifah RA tidak berpendapat atas kesunahan membaca qunut dalam shalat shubuh. Oleh karena itu, saya meninggalkan bacaan qunut sebagai bentuk tata krama kepada beliau”.

Demikian juga terjadi perselisihan pendapat di antara Imam al-Rafi’i dan Imam al-Nawawi dalam banyak masalah; antara Imam Ahmad bin Hajar (Ibn Hajar) dengan Imam Muhammad al-Ramli; dan antara para pengikut mereka. Namun masing-masing tidak saling bertengkar, saling memusuhi maupun saling menisbatkan kesalahan dan keteledoran kepada pihak lain, bahkan mereka saling mencintai, saling menjaga persaudaraan dan memprioritaskan pihak lain.

Jika Anda sudah mengetahui bentuk (model) perselisihan di atas, maka Anda memahami bahwa apa yang terjadi di tengah-tengah kita, mulai dari pertengkaran, permusuhan dan pemutusan silaturrahim yang disebabkan perbedaan pendapat dalam satu atau beberapa masalah saja adalah bagian dari tipu daya syaitan; serta bagian dari persaingan dan saling bermegah-megahan di antara sesama saudara dan para pengikut hawa nafsu. Sungguh Allah SWT berfirman dalam Surat Shad [38]: 26

وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.

       Rasulullah SAW juga bersabda:

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ اُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ، بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ. (رواه الإمام أحمد والنسائي والترمذي). وقال الترمذي: حسن صحيح. وفي رواية لجابر رضي الله عنه: مَا ذِئْبَانِ ضَارِيَانِ يَأْتِيَانِ فِي غَنَمٍ غَابَ رِعَاؤُهَا بِأَفْسَدَ لِلنَّاسِ مِنْ حُبِّ الشَّرَفِ وَالْمَالِ لِدِيْنِ الْمُؤْمِنِ.
Dua serigala kelaparan yang dilepas ke tengah-tengah (kumpulan) domba tidak lebih membahayakan dibanding sikap tamak seseorang terhadap harta benda dan kemulyaan dalam agamanya. (H.R. Imam Ahmad, al-Nasa'i dan al-Tirmidzi) Imam al-Tirmidzi berkata: Status hadits ini Hasan Shahih. Dalam riwayat Jabir RA disebutkan: Dua serigala galak yang dilepas di tengah-tengah (kumpulan) domba yang ditinggal oleh penggembalanya, tidak lebih membahayakan (merusak) bagi umat manusia dibanding cinta (ketamakan) pada kemulyaan dan harta benda terhadap agama orang mukmin”.

Seorang penyair berkata:
إِلَى كُلِّ مَا فِيْهِ عَلَيْكَ مَقَالٌ   * إِذَا اَنْتَ تَابَعْتَ الْهَوَى قَادَكَ الْهَوَى
Jika engkau mengikuti hawa nafsu, maka ia akan menuntunmu * Kepada setiap hal yang engkau memiliki pendapat [untuk membenarkannya].

Kita berharap agar saudara-saudara kita sesama muslim dan para ulama yang muttaqin, agar mengikuti para shahabat, para imam, dan para ulama yang mengamalkan ilmunya lagi shalih. Demikian juga kita perlu mengikuti mereka semua.

Ini adalah akhir kitab AL-TIBYAN. Semoga Allah SWT memberikan Taufiq kepada kita dan kepada Anda untuk melakukan apa yang diridhai-Nya; semoga Allah SWT mengampuni setiap hinaan yang pernah keluar dari (mulut) kita; dan semoga Allah SWT senantiasa menjaga kita dengan penjagaan dan pemeliharaan-Nya, di manapun kita berada.

Referensi:
KH. Hasyim Asy’ari. al-Tibyan dalam al-Irsyad al-Sari. Jombang: Maktabah al-Turats. 2013.