Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Peduli Fakir Miskin


KEPEDULIAN KEPADA FAKIR MISKIN
Almaghfurlah KH. Hasyim Muzadi
 
 
Negara kita ini semakin hari, semakin miskin dan semakin bertengkar. Negeri kita berpenduduk mayoritas miskin, sekalipun alamnya kaya. Ekonomi kita pada sektor riil sebenarnya menyedihkan, tapi kalau di koran terlihat menyenangkan. Politik kita masih saling mensiasati, antara yang satu dengan yang lain. Wakil rakyat kita sedang sibuk mengurusi rapelannya sendiri-sendiri. Hukum kita masih belum sepenuhnya menuju keadilan, karena masih banyak bisnis hukum dan banyak sarjana hukum yang menjadi orang hukuman. Budaya kita hampir kehilangan kepribadian. Sementara kesenangan didahulukan, kesengsaraan justru diabaikan.
 
Hari ini kita khusus membicarakan tentang fenomena orang miskin. Kita hendaknya berpikir ke sana, karena kita masih cukup makan, pakaian, kesehatan, dan cukup mampu menyekolahkan anak. Oleh karena itu, saya mendorong sekaligus menyokong Pak Ridho Hakim sebagai Pimpinan BI Malang yang saya tahu masih mempunyai hati nurani, agar memikirkan mereka yang sudah kerja keras, tapi masih kurang makan.
 
Orang-orang miskin ini tidak bisa diterapkan regulasi normal, karena mereka tidak bisa diminta syarat-syarat bank pada umumnya. Mereka tidak bisa dimintai sertifikat, karena memang tidak mempunyai rumah. Mereka juga tidak mempunyai agunan apa-apa, kecuali diri mereka sendiri. Hari ini mereka bisa makan, namun belum tentu mereka besok bisa makan, akan tetapi mereka sudah berusaha sekuat tenaga.
 
Pada tataran ekonomi makro, biarlah menjadi urusan birokrasi, teori dan berita. Sedangkan pada tataran kehidupan nyata (riil), kita yang masih kenyang makan ini, berpikir untuk membantu mereka yang kurang kenyang makannya. Oleh karena itu, tolonglah orang-orang melijo maupun pedagang kaki lima yang menjadi korban lintah darat. Jumlah pedagang kaki lima di Indonesia ini berada pada kisaran antara 40 Juta orang. Kalau saja para pedagang kaki lima itu bisa ditolong, kemudian masing-masing dari mereka bisa menambah satu ”karyawan” lagi untuk membantu mereka berjualan, maka akan ada 40 juta tenaga kerja yang tertampung.
 
Untuk memulai Program BI membantu orang miskin tersebut, pada mulanya tidak usah menggunakan uang yang terlalu banyak; yang penting adalah memulai Program BI itu dengan niat yang benar, uang yang halal, sistem, manajemen, kontabilitas dan transparansi yang sehat. Kalau semua ini sudah terpenuhi, maka Program BI itu akan gampang untuk direplikasi, dikloning atau ditularkan, karena fenomena banyaknya orang miskin hampir terjadi di seluruh penjuru Indonesia.
 
Ketepatan, di mana-mana ada pesantren yang mempunyai santri-santri. Para santri itu karena belum kawin, mereka relatif belum banyak kebutuhan dan relatif belum biasa nonton bioskop, sehingga mereka diduga hidup enak. Selanjutnya bagaimana kalau para santri itu dilatih menjadi bagian pelaku Program BI ini. Program BI ini menggunakan uang dari siapa-siapa saja yang mau membantu. Saya kira bank-bank bisa menyisihkan uangnya untuk keperluan ini. Perusahaan juga sudah mempunyai peraturan mengenai dana sosial ini, namun yang belum adalah menyisihkannya. Biasanya uang disisihkan justru diberikan kepada orang yang lebih kaya dari bank itu sendiri, karena mereka lebih menakutkan dari pada orang-orang miskin. Akhirnya, kita hanya memperkaya orang kaya yang tidak pernah merasa kaya.
 
Hari ini, orang miskin kurang makan dan orang kaya kurang yang dimakan. Bedanya adalah kalau kurang dimakan berarti ada unsur penggragasan (kerakusan) di situ. Berapapun tidak akan membuat mereka kenyang. Dunia ini cukup untuk semua kita, tapi tidak cukup untuk satu orang yang rakus. Hari ini orang miskin dan orang kaya juga sama-sama gelisah.
 
Jika Program BI ini menggunakan uang sebanyak 120 juta; yang 20 juta digunakan untuk biaya operasional dan yang 100 juta diberikan kepada yang membutuhkan; maka apabila masing-masing orang melijo diberi pinjaman sejumlah Rp. 500.000, berarti jumlah penerimanya sudah 200 orang. Betapa banyaknya jumlah itu. Mereka bisa hidup, makan dan menyekolahkan anak mereka sekalian. Mereka ini jangan dibebani bunga, baik itu bunga murni maupun bunga yang disyariatkan. Bunga yang disyariatkan berarti bunga yang halal menurut syariat tambahan ini, akan tapi kalau dihitung-hitung jumlah setorannya hampir sama dengan bunga konvensional. Jadi, jangan sekedar menggeser formalitas, tapi tidak menggeser substansi berupa kesejahteraan orang miskin.
 
Pelaksanaanya kita memberikan uang sejumlah Rp. 500.000 kepada satu orang dan menunggunya sampai dia bisa menelorkan uang sejumlah Rp. 500.000 di luar modal yang kita berikan. Jadi, bisa diibaratkan kita ini memberikan ayam kepada orang miskin sampai ayam itu bertelur dan telur tadi menetaskan ayam; setelah itu, baru ayam yang lama dikembalikan kepada kita.
 
Saya memakai bahasa kampung, karena bahasa orang perbankan sulit dimengerti. Misalnya, ada kata ”neraca”. Bagi orang-orang melijo, kata ”neraca” ini dikira bermakna timbangan yang biasa mereka lihat. Jadi, perlu ada pembahasaan yang sesuai dengan orang-orang miskin. Hal ini juga belum dilakukan oleh bank, karena bank biasanya menggunakan bahasa ilmu, bukan bahasa orang miskin. Bahkan di bidang pertanian pun, kadang-kadang orang macul (mencangkul) didongengi oleh Insinyur Pertanian, akan tetapi mereka tidak paham karena faktor bahasa yang digunakan. Misalnya: ”Bapak-bapak diminta partisipasinya”. Orang yang macul itu menjawab: ”Kulo mboten nggadah partisipasi” (saya tidak punya partisipasi), ”Pundi griyane partisipasi?” (di mana rumah partisipasi?). Di sini ada gap karena faktor bahasa dan budaya. Oleh karenanya, gap itu harus dijebol. Selanjutnya kalau uang Rp. 500.000 itu sudah balik, maka uang itu digelindingkan (digulirkan) kepada 200 orang lagi.
 
Untuk mencari uang 100 Juta tidaklah sulit buat mereka yang bisa, apalagi kalau berkumpul 10-20 orang. Di sini perlu ada saling tolong-menolong dan saling memberi makan, bukan saling makan-memakan antara yang satu dengan yang lain. Sekarang ini uangnya sudah ada, begitu juga dengan para ahli manajemen yang menggunakan bahasa ilmu tadi, akan tetapi untuk sampai kepada para melijo, tentu Pak Ridho Hakim tidak mungkin turun sendiri, akhirnya dicarilah anak-anak Al-Hikam.
 
Anak-anak Al-Hikam ini biasa meminta uang, bukan biasa menjaga uang, maka mereka harus diproses dari pikiran yang konsumtif menjadi manajerial. Hal ini tentu memerlukan latihan dan tidak mungkin sekali jadi. Setelah mereka dilatih, baru kemudian dititipi uang untuk disampaikan kepada orang yang membutuhkan. Mereka juga perlu dilatih tentang bagaimana cara menagih kepada peminjam dengan penuh kesopanan, tapi uangnya bisa kembali.
 
Niat pemerintah untuk membantu pesantren sudah banyak. Akan tetapi, karena bantuan itu diberikan kepada sang kiai, sedangkan kiai itu biasanya ahli menerima shadaqah, maka dana bantuan itu dianggap sang kiai sebagai shadaqah yang ikhlas lillahi ta’ala. Besok paginya, sepeda motor sang kiai sudah baru lagi, untung bukan istrinya yang baru; karena sudah terkenal kalau kiai-kiai itu mempunyai istri banyak, cuma jarang yang berani ngomong. Sehingga dengan demikian, pesantren belum dengan sendirinya menjadi potensi manajerial.
 
Latihan kepada para santri ini nantinya akan multifungsi, yaitu ketika santri-santri sudah terbiasa, maka mereka akan berpikir bagaimana caranya memproses kekuatan budaya yang mereka miliki untuk dikembangkan menjadi sebuah kekuatan ekonomi.
 
Kenapa kita miskin?, karena kita tidak mampu mengeksploitasi dan mengeksplorasi Sumber Daya Alam (SDA) kita yang maha kaya. Kita terbiasa hidup hedonis dan konsumtif. Gaya nomor satu, sombong didahulukan, mergo sugih ora mesti (karena belum pasti kaya). Misalnya, anak santri membeli handphone hanya untuk keperluan miscall, karena di atasnya miscall sudah tidak kuat membiayai. Artinya, di sini terjadi disefektifitas potensi manusia terhadap SDA. Anehnya, fenomena ini tidak hanya terjadi pada kalangan orang bodoh, namun juga kalangan orang pandai termasuk para sarjana pertanian. Para sarjana pertanian tidak suka pergi ke sawah, akan tetapi lebih suka menjadi pegawai kantor pertanian. Fenomena ini harus dikikis. Kalau tidak, dengan potensi alam yang kaya ini, penduduk mesih tetap dalam keadaan miskin. Kalau SDA itu kemudian dieksplorasi oleh ”orang lain”, maka kita akan berada dalam kolonialisme.
 
Kalau Program BI ini sudah berhasil, maka pola ini ditulis dan dibakukan, sehinga bisa ditiru oleh yang lain. Setiap pesantren mempunyai santri, umat, dan kenalan orang yang punya uang. Semua itu mubadzir karena tidak dimanage (diatur) dengan baik. Kita tidak bisa mengharapkan siapapun, kecuali pada diri kita sendiri, melalui pertolongan Allah SWT. Orang sudah enggan menanam uangnya di Indonesia. Pabrik-pabrik asing di sini sudah senang pindah. Di samping faktor market (pasar) yang tidak menguntungkan, juga disebabkan faktor pembiayaan yang tidak terhitung kalau seseorang membuat usaha di Indonesia ini.
 
Pertanian-pertanian sudah dikuasai oleh Malaysia dan negara ASEAN lainnya. Sementara hutan-hutan kita dibabat oleh orang lain, penduduk setempat menjadi buruh pemotong kayu yang sehari-hari diberi gaji Rp. 20.000. Hutan kita telah hilang sebanyak 59.000.000 hektare. Yang kita gambarkan ini adalah kesalahan kolektif bangsa, dan tidak perlu menyalahkan sana-sini, karena sudah menjadi kesalahan semua orang. Saya ini tidak ahli di bidang menyalahkan, karena semua ini adalah kesalahan berjamaah. Dari 59.000.000 hektare, hutan yang dibabat dengan illegal logging (penebangan ilegal), tidak ada satupun yang menjadi tersangka. Ada tiga orang yang ditangkap di Papua, namun mereka bisa bebas dengan murni, semurni-murninya, seakan-akan itu sudah menjadi kesalahan kayu-kayu itu, kenapa kok mau ditebang. Itulah keputusan ”maha bijak” dari hakim-hakim di Indonesia.
 
Dalam menghadapi keadaan ini, kita mau sambat (mengeluh) sama siapa?, satu-satunya jalan adalah kita harus berbuat baik. Kita semua ini miskin menurut negara. Akan tetapi, yang lebih miskin dari kita, harus ditolong. Berbagai macam kesalahan kolektif di atas telah membuat bangsa kita loyo, karena tidak ada pihak yang mempunyai kapasitas moral untuk memberesi, bahkan sekedar mengingatkan sekalipun.
 
Hampir semua yang berurusan dengan uang itu adalah korupsi, karena ”hampir”, berarti masih tersisa sedikit orang yang baik. Kalau mau mencari koruptor, merem (mata terpejam) pun sudah bisa menemukan koruptor. Orang mau menindak korupsi, karena korupsinya belum ketahuan, bahkan kadang-kadang mengurus korupsi itu lebih mahal dari jumlah uang yang dikorupsi. Bangsa yang begini kok tidak mau dikasih bencana oleh Allah SWT; ini kan salah yang tidak mau diberi bencana. Kepalsuan, saling memakan, caci maki, mentolo (tega) kepada orang lain, dan sebagainya. Semuanya sudah lengkap di Indonesia ini.
 
Saya baru saja ke Palestina, Lebanon, Syiria dan Iran untuk urun rembug mengenai pertikaian di Timur Tengah. Di Lebanon saya bertemu orang sufi yang bernama Abdullah al-Seggaf yang dikenal sebagai waliyullah. Begitu saya datang, saya ditangisi, kok aneh? Beliau bercerita: ”Dulu, pernah ada orang Indonesia yang datang ke sini sekitar 35 tahun silam. Saya menangis di hadapannya karena bangga. Hari ini saya menangis karena ikut sedih dengan kesedihan Indonesia”. Saya bertanya: ”Kenapa Indonesia beruntun kena musibah?”, Beliau menjawab: ”Karena masyarakat Indonesia itu sudah cukup memenuhi syarat untuk datangnya musibah”. Jadi, secara sempurna, semua syarat sudah dipenuhi Indonesia untuk datangnya musibah. Akan tetapi, karena hal ini rata di kalangan kita, maka kita tidak pernah merasa. Kita merasa bisa terus, tapi tidak bisa merasakan.
 
Menolong adalah bagian dari penyelamatan umat manusia sekaligus alam. Maka saya sangat antusias dengan Program BI ini. Kalau sudah berhasil, bukan sesuatu yang sulit untuk membesarkannya, asalkan sudah benar dan ada trust (kepercayaan). Karena kuncinya terletak pada: Bisa dipercaya atau tidak?, santri bisa dipercaya atau tidak?, yang memberi uang, uangnya halal atau tidak?, yang menerima uang bisa dipercaya atau tidak?. Adapun perkara manajemen bisa dipikir bersama, tapi substansinya adalah hati kita masing-masing.
 
Di Bangladesh, ada seorang profesor bernama Muhammad Yunus. Beliau memimpin Amin Banking yang anggotanya berjumlah 26 Juta dengan omzet ratusan juta dollar. Anehnya, tidak ada satupun nasabah yang mbujuki (menipu); kalau kita, Insya Allah sulit menemukan orang yang tidak mbujuki. Ternyata beliau menggunakan pendekatan agama. Misalnya, melalui jamaah-jamaah shalat yang diduga diisi orang-orang yang jujur. Bank ini kemudian menjadi besar, bahkan akhirnya mendapatkan nobel. Namun tampaknya hal ini sulit dilakukan di sini, karena di masjid pun kita kehilangan sandal. Kalau di Gereja tidak ada yang kehilangan sepatu karena sepatunya dipakai; namun sepeda motornya yang hilang. Sekarang meningkat, ada orang kehilangan masjid. Ada orang membangun masjid, kok tiba-tiba diambil oleh orang lain tanpa izin.
 
Proses pembentukan kejujuran dan kepercayaan (trust) harus dilakukan dengan pendekatan manajemen yang memaksa jujur dan pendekatan kesadaran yang menumbuhkan kejujuran dari dalam. Mudah-mudahan, Program BI ini menjadi awal dari kesadaran kita untuk menolong orang-orang miskin. Saya berharap dana 120 Juta yang berasal dari 5 orang ini bisa diikuti oleh yang lain. Kalau Program BI ini jalan, maka saya bisa memberi sumbangan pada proyek ini dengan jumlah yang lebih besar; dengan catatan Program BI ini memang benar-benar bisa jalan. Semua ini tergantung pada faktor trust yang didekati secara nurani dan manajemen sekaligus. Hari ini, zakat sulit keluar dari kaum muslimin, apalagi sedekah biasa dan kedermawanan. Semoga Allah SWT melindungi kita sekalian dengan pertolongan amalan kita.
 
Namun, ketika di Aceh, saya berkumpul dan berdoa bersama ulama-ulama meminta agar tidak banjir, namun beledek (halilintar)-nya yang datang. Setelah saya menanyakan hal ini kepada seorang ulama, beliau menjawab: ”Perlu ada pembuktian, apakah antara yang dilakukan sama dengan yang didoakan”. Misalnya, kita minta tidak banjir, namun hutannya digunduli. Ingat, semua pemberian dan janji Allah SWT selalu mempunyai syarat; dan semua Rahmat Allah SWT menuntut tanggung jawab. Oleh karena itu, kita harus masuk istighatsah (meminta pertolongan) secara faktual dan aksi, untuk membuktikan bahwa kita sudah memenuhi syarat untuk ditolong oleh Allah SWT.

Posting Komentar untuk "Peduli Fakir Miskin"