Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tafsir Tarbawi Surat al-Mulk (Tabarak)

TAFSIR TARBAWI SURAT AL-MULK

Dr. Rosidin, M.Pd.I
www.dialogilmu.com
al-mulk tabarak
Burung Terbang atas Kuasa Allah SWT
Salah satu problem spiritual yang mendera manusia zaman digital adalah besarnya kepercayaan kepada hal-hal yang bersifat material (terlihat), sehingga minim kepercayaan pada hal-hal yang bersifat immaterial (gaib). Padahal percaya kepada hal-hal yang gaib merupakan bagian dari tanda ketakwaan seseorang (Q.S. al-Baqarah [2]: 3).

تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (1) 

Surat al-Mulk [67]: 1 menegaskan bahwa kekuasaan mutlak hanya berada di bawah kekuasaan Allah SWT. Misalnya, Allah SWT Maha Berkuasa menjadikan lulusan dengan IPK terendah, sebagai majikan atau bos bagi rekannya yang memiliki IPK tertinggi. Seperti halnya, Allah SWT Maha Berkuasa melengserkan seseorang dari jabatannya, sekalipun dia didukung mayoritas rakyatnya, sebagaimana yang dialami Raja Namrudz; sedangkan orang yang tidak dikehendaki mayoritas rakyatnya, justru diangkat menjadi raja, sebagaimana yang dialami Raja Thalut. Oleh sebab itu, al-Qur’an mengingatkan bahwa Allah SWT Maha Berkuasa memberikan kekuasaan kepada siapapun yang Dia kehendaki; dan melengserkan kekuasaan dari siapapun yang Dia kehendaki (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 26). Implikasinya, Allah SWT harus diposisikan sebagai satu-satunya tempat bergantung atas segala kebutuhan manusia (Q.S. al-Ikhlas [112]: 2).

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ (2)

Namun demikian, Surat al-Mulk [67]: 2 memberikan panduan hidup agar manusia selalu menampilkan sikap yang terbaik (berkualitas), sesuai dengan problematika yang dihadapi. Jika masih kesulitan ekonomi, bersabar; dan jika meraih kesuksesan ekonomi, bersyukur. Jika belum memahami pelajaran, bersabar; dan jika meraih prestasi akademik, bersyukur. Jika sedang sakit, bersabar; dan jika sehat-bugar, bersyukur. Inilah panduan yang direkomendasikan oleh Rasulullah SAW (H.R. Muslim).

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ (3) ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ (4)

Melalui Surat al-Mulk [67]: 3-4, Allah SWT memberikan contoh kinerja yang berkualitas. Yaitu penciptaan langit yang berlapis-lapis, tanpa ada cela sedikit pun. Siapapun yang mencari-cari cela ciptaan Allah SWT, entah berstatus orang awam ataupun orang elit yang gelarnya selangit, niscaya akan mengalami kekecewaan, karena tidak akan pernah menemukan cela tersebut, sekalipun melakukan observasi berulang-ulang hingga mata penglihatan kelelahan. 

Di sisi lain, dua ayat ini memberikan inspirasi terkait tata cara melakukan kinerja yang berkualitas. Yaitu selalu berusaha mengoreksi dan menelaah kembali, setiap kinerja yang telah dilakukan. Hal ini dikarenakan ayat sebelumnya lebih mengutamakan “kualitas” (ahsanu ‘amala), bukan “kuantitas” amalan (aktsaru ‘amala). Ibaratnya, makalah lima halaman yang berkualitas, nilainya lebih bagus daripada makalah lima puluh halaman yang sekedar copy-paste dan asal-asalan.


وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ (5) 

Ciptaan Allah SWT juga penuh estetika. Langit dunia dihias oleh berbagai bintang yang sungguh mempesona bagi siapapun yang memandang. Pada saat yang sama, memberi beragam kemanfaatan, terutama bagi orang-orang yang sedang membutuhkan panduan. Semisal navigasi saat mengarungi perjalanan di laut atau padang pasir.
Secara ringkas, Surat al-Mulk [67]: 3-5 memberikan inspirasi agar manusia selalu berusaha meniru “Maha Karya” Allah SWT yang memenuhi standar kualitas (anti cela), estetika (indah) dan etika (bermanfaat). Untuk itu, setiap insan dituntut untuk melakukan sejumlah kewajiban.

 
وَلِلَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (6) إِذَا أُلْقُوا فِيهَا سَمِعُوا لَهَا شَهِيقًا وَهِيَ تَفُورُ (7) تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِ كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ (8) قَالُوا بَلَى قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا فِي ضَلَالٍ كَبِيرٍ (9) وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ (10) فَاعْتَرَفُوا بِذَنْبِهِمْ فَسُحْقًا لِأَصْحَابِ السَّعِيرِ (11) إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ (12)

Pertama, taat beragama

Pada dasarnya, Allah SWT sudah bermurah hati dengan mengutus para nabi dan rasul untuk mengingatkan manusia agar tidak sampai terjerumus ke dalam neraka. Hanya saja, disfungsi pancaindra dan akal, menyebabkan banyak manusia yang mendustakan ajaran Ilahi, demi memuaskan nafsu syahwat hewaninya. Di sisi lain, kualitas keagamaan seseorang dapat dinilai oleh dirinya sendiri saat sedang sendiri. Hal ini dikarenakan masih banyak manusia yang menjadikan agama sebagai kedok sekaligus alat untuk meraih citra positif di hadapan publik. Inilah yang disebut dengan riya’, yaitu beragama demi meraih simpati manusia; yang tergolong sebagai salah satu sikap mendustakan agama (Q.S. al-Ma’un [107]: 6).    

وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (13) أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (14) 

Kedua, berakhlak terpuji

Sebagai Dzat Pencipta manusia, sudah pasti Allah SWT Maha Mengetahui seluk-beluk manusia. Setiap ucapan yang terlontar dari lisan, atau setiap kalimat yang terukir dalam tulisan, akan dimintai pertanggung-jawaban. Misalnya, menggunjing keburukan orang lain secara sembunyi-sembunyi (ghibah) maupun mengungkap keburukan orang lain di depan publik melalui media sosial, sama-sama tergolong akhlak tercela. Sebaliknya, berdoa secara lirih saat sendirian, maupun dengan bersuara keras saat berjamaah, sama-sama tergolong akhlak terpuji.

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ (15)

Ketiga, memanfaatkan SDA

Ayat ini mengisyaratkan bahwa bumi ini telah “jinak”, sehingga manusia dapat berjalan, sekalipun di tempat-tempat yang terjal dan curam. Manusia pun diberi berbagai anugerah rezeki yang seharusnya dimanfaatkan. Akan tetapi, pemanfaatan SDA harus dilandasi oleh keyakinan adanya hari kebangkitan, sehingga manusia tidak gegabah mengeksploitasi kekayaan alam; karena setiap rezeki akan dimintai pertanggung-jawaban di akhirat kelak. Terutama menyangkut asal-usul dan penggunaan rezeki tersebut.

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ (16) أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ (17) وَلَقَدْ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَكَيْفَ كَانَ نَكِيرِ (18)

Keempat, mengantisipasi bencana alam 

Bumi itu ibarat “binatang liar” yang sudah dijinakkan oleh Allah SWT untuk manusia; namun sewaktu-waktu dapat menjadi “liar”, sehingga mengancam keselamatan manusia. Misalnya, manusia tidak mungkin bisa menghentikan tsunami, gempa bumi, letusan gunung berapi, angin puting beliung, dan sebagainya. Akan tetapi, manusia dapat mempelajari fenomena alam, sehingga dapat mendeteksi gejala terjadinya bencana alam. Manusia juga dapat menciptakan sejumlah teknologi yang berpotensi mengurangi jumlah korban bencana alam.

أَوَلَمْ يَرَوْا إِلَى الطَّيْرِ فَوْقَهُمْ صَافَّاتٍ وَيَقْبِضْنَ مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا الرَّحْمَنُ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ بَصِيرٌ (19) أَمْ مَنْ هَذَا الَّذِي هُوَ جُنْدٌ لَكُمْ يَنْصُرُكُمْ مِنْ دُونِ الرَّحْمَنِ إِنِ الْكَافِرُونَ إِلَّا فِي غُرُورٍ (20) أَمْ مَنْ هَذَا الَّذِي يَرْزُقُكُمْ إِنْ أَمْسَكَ رِزْقَهُ بَلْ لَجُّوا فِي عُتُوٍّ وَنُفُورٍ (21)

Kelima, mempelajari alam semesta 

Misalnya, manusia dapat mempelajari seluk-beluk burung yang dapat terbang. Burung itu diberi kemampuan terbang oleh Allah SWT, sekalipun tanpa mengepakkan sayap. Layaknya ikan yang mampu mengapung di atas tanpa perlu menggerakkan sirip. Akan tetapi, agar dapat terbang jauh, burung perlu mengepakkan sayapnya; sebagaimana ikan butuh menggerakkan siripnya agar dapat berenang jauh. Alhamdulillah, manusia sudah mampu menciptakan pesawat terbang yang meniru kinerja burung. Itu semua merupakan anugerah Allah SWT, sumber dari setiap rezeki yang dinikmati manusia. Oleh sebab itu, manusia dilarang bersikap sombong atau kufur nikmat.

أَفَمَنْ يَمْشِي مُكِبًّا عَلَى وَجْهِهِ أَهْدَى أَمْ مَنْ يَمْشِي سَوِيًّا عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (22) قُلْ هُوَ الَّذِي أَنْشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ (23) قُلْ هُوَ الَّذِي ذَرَأَكُمْ فِي الْأَرْضِ وَإِلَيْهِ تُحْشَرُونَ (24)

Keenam, mensyukuri rezeki

Surat al-Mulk [67]: 23 menegaskan bahwa minim sekali manusia yang mau bersyukur atas rezeki yang diterima. Padahal setiap manusia itu telah diberi rezeki oleh Allah SWT. Antara lain rezeki pancaindra, akal dan hati yang menjadi saluran ilmu pengetahuan; sehingga manusia memiliki bekal berupa solusi dalam setiap problematika kehidupan. Banyak juga manusia yang diberi anugerah berupa anak-keturunan, sehingga kehidupan manusia tetap lestari hingga kini (Q.S. al-Mulk [67]: 24). Di samping itu, Surat al-Mulk [67]: 22 memberikan ilustrasi bahwa orang yang syukur nikmat itu ibarat orang yang berjalan tegak di jalanan yang lebar; sedangkan orang yang kufur nikmat itu ibarat orang yang berjalan dengan menyeret wajahnya di atas tanah. 

وَيَقُولُونَ مَتَى هَذَا الْوَعْدُ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (25) قُلْ إِنَّمَا الْعِلْمُ عِنْدَ اللَّهِ وَإِنَّمَا أَنَا نَذِيرٌ مُبِينٌ (26) فَلَمَّا رَأَوْهُ زُلْفَةً سِيئَتْ وُجُوهُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَقِيلَ هَذَا الَّذِي كُنْتُمْ بِهِ تَدَّعُونَ (27) قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَهْلَكَنِيَ اللَّهُ وَمَنْ مَعِيَ أَوْ رَحِمَنَا فَمَنْ يُجِيرُ الْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ (28) قُلْ هُوَ الرَّحْمَنُ آَمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا فَسَتَعْلَمُونَ مَنْ هُوَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (29) قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَصْبَحَ مَاؤُكُمْ غَوْرًا فَمَنْ يَأْتِيكُمْ بِمَاءٍ مَعِينٍ (30)

Ketujuh, mempersiapkan hari akhirat

Hari kiamat pasti terjadi, namun hanya Allah SWT Yang Maha Mengetahui. Tugas Rasulullah SAW dan para penerus beliau adalah memberi peringatan dan penjelasan, agar umat manusia tidak bersikap kafir yang berisiko mendapat siksa pedih di neraka; melainkan bersikap iman dan tawakkal penuh kepada Allah SWT, Dzat Yang Maha Pengasih. Cukuplah kebutuhan manusia yang sedemikian besar terhadap air, menjadi pengingat abadi, bahwa manusia tidak mampu menciptakan air; hanya mampu mengolah air. Bagaimana kiranya jika Allah SWT tidak menurunkan hujan selama bertahun-tahun, apakah manusia masih bersikukuh pada kekafirannya?

Wallahu A'lam bi al-Shawab.