Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Takwa sebagai Standar Luaran Madrasah Ramadhan

Takwa sebagai Standar Luaran Madrasah Ramadhan

Ramadhan sebagai Sarana Peningkatan Ketakwaan
(foto: ramadaniat.ws)

Dr. Rosidin, M.Pd.I
(Dosen STAIMA Al-Hikam Malang)

Tujuan utama puasa menurut al-Qur'an adalah meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT, "la'allakum tattaqun" (Q.S. al-Baqarah [2]: 183).

Pada mulanya, "taqwa" berasal dari akar kata "waqa" yang artinya menjaga diri dari hal-hal yang menyakitkan. Sedangkan hal yang menyakitkan dalam pandangan agama adalah siksa api neraka. Oleh karena itu, ada beberapa ayat al-Qur'an yang menyeru agar kita terhindar dari siksa neraka. Misalnya, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka (Q.S. al-Tahrim [66]: 6). Dalam doa sehari-hari pun, kita berdoa "waqina adzab al-nar", mohon Engkau selamatkan kami dari neraka (Q.S. al-Baqarah [2]: 201).

Akan tetapi, pola yang dominan dalam al-Qur'an adalah memerintahkan takwa kepada Allah SWT. Misalnya, "wattaqu Allah", bertakwalah kepada Allah (Q.S. al-Baqarah [2]: 194) dan "wattaquni", berakwalah kepada-Ku (Q.S. al-Baqarah [2]: 197). Hal ini wajar, karena hanya Allah SWT yang berwenang untuk menyiksa manusia di dalam neraka. Sedangkan neraka sendiri tidak memiliki wewenang untuk menyiksa manusia, tanpa ada izin dari Allah SWT.

Konsekuensi dari takwa kepada Allah SWT adalah menaati-Nya. Oleh karena itu, al-Qur'an sering menyandingkan kata takwa dengan ketaatan. Misalnya, "i'dilu huwa aqrabu li al-taqwa", berbuat adillah, yang demikian itu lebih dekat dengan ketakwaan (Q.S. al-Ma'idah [5]: 8). Bahkan ada redaksi yang langsung menggabungkan ketaatan dan ketakwaan. Misalnya, "wa libasu al-taqwa dzalika khair" (Q.S. al-A'raf [7]: 26), yang maknanya: dalam menentukan busana atau pakaian, yang terpenting bukanlah modelnya maupun harganya, melainkan sejauh mana kesesuaiannya dengan nilai-nilai ketakwaan, minimal menutup aurat.

Selanjutnya, ketaatan itu punya dua wajah. Ada yang berupa perintah, ada yang berupa larangan. Dari sini muncul makna populer dari takwa, yaitu melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan Allah SWT. Di sisi lain, manusia memiliki dua potensi, "fa alhamaha fujuraha wa taqwaha", manusia itu punya potensi durhaka dan punya potensi taat (Q.S. al-Syams [91]: 8). Misalnya, pada bulan Ramadhan ini, manusia punya dua pilihan. Dia bisa memilih taat, semisal ikut menjalankan puasa; bisa juga tidak taat atau durhaka, semisal tidak berpuasa, sekalipun dia mampu dan tidak memiliki udzur.

Atas dasar itu, penentu kualitas manusia menurut al-Qur'an adalah status ketakwaannya. "Inna akramakum inda Allahi atqakum", sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa (Q.S. al-Hujurat [49]: 13). Artinya, manusia itu dinilai dari pilihan-pilihan hidupnya; apakah sesuai dengan ketakwaan atau tidak. Misalnya, ada orang kaya yang sukses, tapi melalui cara-cara yang haram. Dia dianggap kalah kelas dibandingkan orang miskin yang istiqamah mencari rezeki secara halal.

Demikian halnya, orang rupawan, cantik atau tampan, tapi tidak bertakwa. Dia kalah kelas dibandingkan orang berwajah jelek atau biasa-biasa saja, tapi ketakwaannya luar biasa. Misalnya, Luqman al-Hakim, sekalipun wajahnya dianggap buruk rupa, tapi kualitas ketakwaannya sungguh mulia, sehingga nama beliau diabadikan dalam al-Qur'an.

Akan tetapi, harus disadari bahwa ketakwaan itu tersembunyi. Tidak semua orang mengetahui apakah dia bertakwa atau tidak, sekalipun memang ada indikator-indikator ketakwaan. Oleh karena itu, al-Qur'an mewanti-wanti kita agar tidak mengklaim diri sendiri sebagai orang yang paling bertakwa. "Fa-la tuzakku anfusakum, huwa a'lamu bi-man ittaqa", janganlah kalian menganggap diri sendiri sebagai orang yang suci, hanya Allah-lah yang lebih Maha Mengetahui siapa yang bertakwa (Q.S. al-Najm [53]: 32).

Lebih daripada itu, ketika ketakwaan dilakukan secara konsisten (istiqamah), maka akan mengubah status orang tersebut menjadi al-muttaqin, yaitu orang-orang yang bertakwa. Artinya, ketakwaan sudah begitu meresap di dalam dirinya, sehingga sekalipun dia sedang tidak melakukan aksi-aksi ketakwaan, dia tetap disebut sebagai orang yang bertakwa.

Orang yang berstatus muttaqin inilah yang dipuji dan diapresiasi dalam al-Qur'an. Misalnya, "Inna Allaha yuhibbul Muttaqin", sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa (Q.S. Ali 'Imran [3]: 76). Orang muttaqin lah yang mampu memaksimalkan petunjuk-petunjuk agama, utamanya petunjuk al-Qur'an (Q.S. al-Baqarah [2]: 2). Di akhirat, orang muttaqin mendapatkan jaminan masuk surga dan posisi yang mulia di sisi Allah SWT (Q.S. al-Dukhan [44]: 51).

Walhasil, kita berharap bahwa "Madrasah Ramadhan" tahun ini dapat meningkatkan ketakwaan kita, bahkan dapat kita tingkatkan secara istiqamah sepanjang hayat, agar kita masuk kategori orang-orang bertakwa yang diapresiasi dan dicintai oleh Allah SWT.

Singosari, 4 Ramadhan 1441 H