Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Konstruksi Fikih Haji Lintas Mazhab yang Ramah Bagi Jamaah Lansia

Artikel Bina’ Fiqh al-Hajj al-Muyassar lil-Musinnin ini dipublikasikan dalam AJMIE: Alhikam Journal of Multidisciplinary Islamic Education, Vol. 1, No 1, 2020: pp. 1-20. Artikel dalam bentuk full paper, dapat diakses pada link berikut:

https://e-journal.staima-alhikam.ac.id/ajmie/article/view/538

https://e-journal.staima-alhikam.ac.id/ajmie/article/view/538/pdf

Agar keterbacaan artikel ini lebih luas, maka penting pula untuk mempublikasikannya dalam versi bahasa Indonesia. Semoga menjadi lebih berkah dan manfaat bagi segenap pihak yang berkenan untuk mengaksesnya.



Tulisan lain karya penulis, dapat diakses pada website https://www.dialogilmu.com/.

selamat-idul-adha
 

KONSTRUKSI FIKIH HAJI LINTAS MAZHAB YANG RAMAH BAGI JAMAAH LANSIA

Abstrak

Jamaah haji Indonesia didominasi lansia, mencapai 60% untuk tahun 2018. Ironisnya, lansia diperlakukan sama dengan jamaah haji yang masih sehat bugar, padahal mereka memiliki sejumlah kelemahan secara fisik maupun psikis. Oleh karena itu, penulis menawarkan konstruksi fikih haji yang ramah bagi lansia berdasarkan analisis literatur fikih muqaranah empat mazhab dengan pendekatan epistemologi hukum Islam kontemporer gagasan Jasser Auda yang mengedepankan tiga prinsip utama: mashlahat (kebaikan), taisir (kemudahan) dan ta’abbud (ibadah). Praktiknya, penulis memilah materi fikih haji menjadi dua objek kajian: waqi’iyyah (realistis) yang cenderung statis dari zaman ke zaman; dan maudhu’i (tematis) yang cenderung dinamis sesuai konteks zaman. Kemudian penulis memilahnya menjadi dua konteks: ta’abbudi (supra-rasional) yang menutup ruang ijtihad dan ta’aqquli (rasional) yang membuka ruang ijtihad. Terhadap materi yang bersifat ta’abbudi, penulis tinggal memilih pendapat yang ringan di antara empat mazhab. Terhadap materi yang bersifat ta’aqquli, penulis mengonstruksinya sesuai maqashid syariah agar memberi maslahat sekaligus kemudahan bagi jamaah lansia.  

Keywords: Lansia, Fikih Haji, Muqaranah, Mazhab, Epistemologi.

PENDAHULUAN

Sejak awal, al-Qur’an memproklamir-kan bahwa agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW bertujuan menebar kasih sayang (rahmat) bagi alam semesta (Q.S. al-Anbiya’: 107). Hal ini dibuktikan melalui syariat Islam yang penuh kemudahan, sesuai karakteristik manusia yang serba lemah (Q.S. al-Nisa’: 28), berbeda halnya dengan syariat agama samawi lain yang cenderung berat. 

Alwi al-Maliki mengidentifikasi contoh syariat agama Yahudi yang tergolong berat: Shalat harus dilaksanakan di tempat tertentu; bersuci harus memakai air; bertaubat dengan cara bunuh diri; tidak boleh makan bersama wanita yang haid (al-Hasani, 2007: 7-13).  

Kemudahan dalam syariat Islam dapat dijumpai pada ‘azimah dan rukhshah (al-Zuhaili, 1986: 108-111). ‘Azimah adalah hukum asal yang berlaku umum bagi seluruh mukallaf dalam segala kondisi. Contoh: shalat zhuhur empat rakaat. Rukhshah adalah hukum yang berubah menjadi mudah, disebabkan uzur. Contoh: shalat zhuhur diqashar dua rakaat saat bepergian jauh. 

Dengan kata lain, syariat Islam memberikan kemudahan ganda bagi umat muslim: intrinsik dan ekstrinsik. Pertama, secara intrinsik, syariat Islam itu memang mudah. Contoh: zakat fitrah hanya 1 sha’ (H.R. Bukhari-Muslim) atau sekitar 2.75 kilogram beras. Kedua, secara ekstrinsik, syariat Islam memberi rukhshah jika seorang muslim mengalami kesulitan. Contoh: tayammum bagi orang yang tidak bisa menggunakan air (Q.S. al-Nisa’: 43).

Rasulullah SAW kerap menyeru pada kemudahan. Beliau bersabda: “Permudahlah, jangan persulit” (H.R. al-Bukhari). Sayyidah ‘Aisyah RA memberi testimoni: “Rasulullah SAW tidak diminta untuk memilih antara dua hal, kecuali beliau akan memilih yang paling mudah; selama tidak tergolong dosa” (H.R. al-Bukhari). Hadis ini mengisyaratkan jika seseorang memilih antara dua hal yang sama-sama tidak mengandung dosa, maka yang diprioritaskan adalah yang lebih mudah. Jika salah satunya mengandung dosa, maka tidak lagi menjadi prioritas (Auda, 2015: 20).

Salah satu faktor yang mendatangkan kemudahan dalam syariat Islam adalah adanya kesulitan (masyaqqah), sesuai Kaidah Fikih pokok: “al-masyaqqah tajlib al-taisir” (kesulitan itu mendatangkan kemudahan). Sedangkan masyaqqah itu meliputi: (1) bepergian; (2) sakit; (3) dipaksa; (4) lupa; (5) tidak tahu (jahl); (6) kesulitan yang tak terhindarkan (‘umum al-balwa); (7) lemah. Adapun bentuk kemudahan dapat dipilah menjadi tujuh kategori: (1) pengguguran, contoh: gugurnya kewajiban haji bagi orang yang tidak mampu; (2) pengurangan, contoh: shalat qashar; (3) pergantian, contoh: tayamum; (4) mendahulukan, contoh: jamak taqdim; (5) mengakhirkan, contoh: jamak ta’khir; (6) perubahan, contoh: shalat khauf; (7) dispensasi, contoh: makan bangkai demi menyambung nyawa (Hakim, ttt.: 23).

Paparan di atas menunjukkan bahwa al-Qur’an, Hadis, Ushul Fikih dan Kaidah Fikih sama-sama menggemakan kemudahan dalam syariat Islam. Sayangnya, dalam tataran Fikih praktis, banyak tokoh yang menekankan prinsip “kehati-hatian” (ihtiyath) yang cenderung berat; bukan prinsip “kemudahan” (taisir) yang cenderung ringan. 

Ada dua kecenderungan ulama dalam konteks Fikih praktis. Pertama, mengambil pendapat yang lebih berat. Kedua, mengambil pendapat yang lebih ringan. Menurut Bayyah, shahabat yang mengambil pendapat yang lebih berat (semisal Ibn ‘Umar), karena memaksakan diri dan berhati-hati untuk kepentingan diri sendiri dan agamanya. Sedangkan Nabi SAW sebagai pembawa syariat yang memberi keleluasaan, agar umat beliau tidak merasa berat. Oleh sebab itu, Bayyah lebih mengunggulkan kecenderungan kedua yang mengutamakan prinsip kemudahan daripada kehati-hatian (Bayyah, 2007: 181-183).

Penulis sepakat dengan pendapat Bayyah di atas, karena faktanya banyak umat muslim yang lebih membutuhkan fikih yang “mudah”, daripada fikih yang “hati-hati”. Misalnya, orang yang berusia lanjut (lansia).

Prinsip “kemudahan” ini didukung oleh banyak ulama, antara lain: al-Zarkasyi, al-Muzani, al-Syaukani. Al-Muzani menyatakan bahwa di antara kaidah syariat adalah menilai pendapat yang lebih ringan dari dua pendapat yang bertentangan sebagai pendapat yang benar (Bayyah, 2007: 181-182).

Al-Qur’an sendiri sudah memberi contoh syariat yang memudahkan lansia. Contoh: Lansia yang mampu berpuasa, namun dengan memaksakan diri, boleh tidak berpuasa Ramadhan dan diganti dengan membayar fidyah (Q.S. al-Baqarah [2]: 84).

Syariat yang memudahkan lansia ini, sesuai dengan kondisi lansia yang dinilai lemah secara fisik dan psikis. Contoh kelemahan fisik lansia adalah Nabi Syu’aib AS yang sudah tidak mampu mencarikan air minum untuk binatang ternaknya, sehingga kedua putrinya yang melaksanakan tugas tersebut (Q.S. al-Qashash: 23). Contoh kelemahan psikis lansia adalah pikun atau mudah melupakan sesuatu (Q.S. al-Hajj: 5). Walhasil, lansia membutuhkan Fikih yang mengedepankan prinsip “kemudahan” (taisir), daripada “kehati-hatian” (ihtiyath).  

Sebagai rintisan Fikih yang mudah dan memudahkan (fiqh al-muyassar), tulisan ini bertujuan memformulasikan fikih haji yang ramah bagi jamaah haji lansia. Hal ini dilatar-belakangi beberapa argumentasi: 

Pertama, jumlah jamaah haji lansia tergolong signifikan. Pada tahun 2018, jamaah haji lansia asal Indonesia mencapai 60%. Menurut Kasubdit Pendaftaran Haji Direktorat Pelayanan Haji Dalam Negeri, calon jamaah haji lansia tahun 2018 mencapai 50 ribuan lebih; sedangkan calon haji khusus berusia 80 tahun, mencapai 20 ribuan (https://www.republika.co.id).

Kedua, sesuai dengan isyarat Q.S. al-Hajj [22]: 27, haji merupakan rukun Islam yang paling berat dilaksanakan umat muslim. Mengacu pada kewajiban thawaf dan sa’i saja, sudah mengharuskan seseorang untuk menempuh perjalanan bermil-mil. Hal ini merupakan tantangan bagi orang yang sehat, terlebih bagi lansia, orang sakit dan difabel. Belum lagi wukuf dan melempar jumrah yang semakin menguras emosi dan fisik. Oleh sebab itu, para mufti yang memberikan banyak fatwa hukum yang membolehkan, sehingga memungkinkan jamaah haji yang sakit kronis dan lemah untuk melaksanakan ibadah hajinya secara mandiri (Rispler-Chaim, 2007: 34-37).

Ketiga, hingga saat ini, fikih haji masih bersifat general. Tidak ada pemilahan antara fikih haji yang relevan bagi jamaah haji secara umum; dengan jamaah haji yang berkebutuhan khusus, seperti lansia.  

Ringkasnya, lansia itu mengalami dua kesulitan sekaligus saat melaksanakan ibadah haji. Secara intrinsik, kondisi fisik dan psikis lansia itu lemah. Secara ekstrinsik, perjalanan haji itu sangat melelahkan. Oleh sebab itu, jamaah haji lansia sangat membutuhkan fikih haji yang ramah, sesuai dengan segala keterbatasan mereka.

KAJIAN PUSTAKA

Topik haji lansia sudah diulas dalam beberapa riset. Pertama, Widyarini mengulas kebijakan khusus Kemenag Indonesia terkait penyelenggaraan haji yang ramah bagi lansia. Antara lain memprioritaskan keberangkatan jamaah haji lansia dan mempersingkat waktu pelaksanaan haji bagi lansia, agar mereka tidak berlama-lama di tanah suci (Widyarini: 2016). Kedua,  Thirafi memaparkan adanya kecemasan lansia saat melaksanakan haji, terutama saat mabit di Muzdalifah dan Mina, serta melempar Jumrah. 

Kecemasan lansia ini dikarenakan kondisi fisik yang melemah, psikologis yang mudah marah, cuaca panas yang ekstrem hingga ramainya jamaah haji (Thirafi: 2015). Ketiga, Kholilurrohman menganalisis pengalaman para jamaah haji lansia yang didampingi saat berperan sebagai Tim Petugas Pendamping Ibadah Haji (TPPIH). Hasil riset menunjukkan bahwa lansia mengalami gangguan kesehatan fisik dan psikis; kelemahan kognisi, sehingga sering tersesat jalan dan tidak paham fikih haji; hingga problem pengalaman pertama naik pesawat terbang yang berdampak pada problem kesehatan (Kholilurrohman: 2017).

Mayoritas riset tentang jamaah haji lansia dikaitkan dengan problem dan solusi penyelenggaraan ibadah haji lansia. Penulis belum menemukan riset yang mengulas fikih haji lansia. Oleh sebab itu, distingsi riset ini adalah fikih haji yang ramah bagi lansia.

METODE

Langkah-langkah praktis-metodologis yang penulis tempuh dalam memformulasi-kan fikih haji yang ramah bagi lansia adalah:

Pertama, menelaah literatur fikih haji lintas mazhab (fiqh muqaranah). Menurut al-Qardhawi, saat ini studi perbandingan fikih merupakan hal yang sangat urgen (dharury) dan signifikan, untuk mengetahui luasnya spektrum fikih dan mengurangi fanatisme mazhab. Apalagi para ulama fikih memiliki semboyan, “Barangsiapa tidak mengetahui perbedaan pendapat (ikhtilaf) para ahli fikih, maka dia bukanlah seorang ahli fikih” (al-Qardhawi, 1999: 34).

Kedua, secara eksplisit, memilah materi fikih haji menjadi dua kategori: waqi’iyyah (realistis) dan maudhu’i (tematis). Klasifikasi ini mengacu pada dua jenis masalah agama: (a) al-masa’il al-diniyyah al-waqi’iyyah, yaitu masalah keagamaan yang bersifat realistis dan aktual, sebagaimana sistematika bahasan literatur fikih. (b) al-masa’il al-diniyyah al-maudhu’iyyah, yaitu masalah keagamaan yang bersifat tematis, misalnya demokrasi, civil society, HAM (Arifi, 2010: 188-190).

Ketiga, secara implisit, memilah materi fikih haji menjadi dua konteks ijtihad: ta’abbudi (supra-rasional) yang menutup ruang ijtihad dan ta’aqquli (rasional) yang membuka ruang ijtihad. 

Tiga langkah di depan menghasilkan data riset yang kemudian penulis olah untuk memformulasikan fikih haji yang ramah bagi lansia. Sebagai perspektif teoretis, penulis menerapkan pendekatan epistemologi hukum Islam kontemporer gagasan Jasser Auda yang mengedepankan tiga prinsip: 

  • (a) mashlahat (kebaikan); 
  • (b) taisir (kemudahan); 
  • (c) ta’abbud (ibadah). 
Prinsip mashlahat terkait realisasi maqashid syariah dalam hukum Islam. Prinsip taisir terkait prioritas pendapat yang lebih mudah, asal tidak mengandung dosa. Prinsip ta’abbud terkait sikap taat sepenuhnya pada hukum Islam yang tidak dapat dijangkau nalar (Auda, 2015: 9-27).

TEMUAN DAN PEMBAHASAN KONSTRUKSI FIKIH HAJI REALITAS (WAQI’IYYAH)

Bahasan ini mengacu pada fase pra, proses dan pasca pelaksanaan ibadah haji.

Kewajiban Haji bagi Lansia

Surat Ali ‘Imran: 97 menegaskan bahwa haji hanya wajib bagi umat muslim yang memiliki kemampuan (istitha’ah).

Secara garis besar, istitha’ah ada dua kategori: (a) mampu menjalankan sendiri ibadah haji (istitha’ah bi al-nafs); (b) mampu menjalankan ibadah haji melalui bantuan orang lain (istitha’ah bi al-ghair), semisal membayar orang lain agar menggantikannya dalam ibadah haji (al-Kaf, 2003: 473-474; al-Muzani, 1998: 90).  

Bagi jamaah haji lansia, istitha’ah yang terpenting adalah istitha’ah badan. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa istitha’ah badan berarti fisiknya sehat. Oleh sebab itu, lansia yang tidak mampu bertahan di atas kendaraan, tidak wajib berhaji. Mazhab Maliki menilai bahwa istitha’ah badan berhubungan dengan ketahanan melakukan perjalanan haji yang melelahkan. Mazhab Syafi’i mengaitkan istitha’ah badan dengan kemampuan bertahan di atas kendaraan, tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Jika tidak mampu, berarti dia tidak memenuhi syarat istitha’ah badan (al-Zuhaili, 1985, 3: 25-29). Dengan kata lain, dia sudah putus asa untuk melaksanakan sendiri amalan-amalan haji, karena kelemahannya sebagai lansia (Asy’ari, 2013: 10). 

Untuk menilai apakah lansia itu mampu atau tidak melaksanakan sendiri ibadah haji, landasannya adalah bertanya kepada spesialis di bidang medis dan psikologis. Paling tidak, dokter diminta untuk memutuskan ada atau tidaknya istitha’ah secara medis (Rispler-Chaim, 2007: 37). Dalam konteks ini, data empiris harus dipandang memiliki otoritas (hujah), meskipun dinilai ‘tidak pasti’ menurut logika tradisional (Auda, 2015: 266-268). Artinya, penilaian spesialis di bidang medis dan psikologis, dijadikan sebagai landasan apakah lansia dinilai mampu atau tidak melaksanakan sendiri ibadah haji.  

Apabila secara medis dan psikologis, lansia dinilai tidak mampu melaksanakan sendiri ibadah haji, maka diberi dua alternatif pendapat. Pertama, gugur kewajiban berhaji karena tidak memenuhi syarat istitha’ah. Ini adalah pendapat mazhab Maliki yang menilai bahwa kewajiban haji hanya berlaku bagi orang yang mampu melaksanakan sendiri ibadah hajinya. Kedua, membayar orang lain agar melaksanakan haji untuknya. Jika tidak mampu, maka kewajiban haji tetap menjadi tanggung-jawabnya. Ini pendapat mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali (al-Utsmani, 1987: 99-100).

Kedua pendapat ini sama-sama ramah bagi lansia. Pendapat mazhab Maliki lebih ringan, karena menempatkan lansia sebagai salah satu sebab yang mencegah kewajiban haji; sebagaimana kasus lansia yang tidak wajib melaksanakan puasa Ramadhan dan diganti dengan membayar fidyah. Sedangkan bagi lansia yang secara fisik dan psikis dinilai tidak istitha’ah, namun secara finansial dinilai istitha’ah, lebih baik membayar orang lain agar melaksanakan haji untuknya (niyabah) sebagaimana pendapat mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali.

Haji Pengganti bagi Lansia

Jumhur ulama selain mazhab Maliki, membolehkan niyabah (ganti) dalam haji, ketika dalam keadaan lemah atau mengalami kondisi darurat. Secara rinci, mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang tidak wajib berhaji secara mandiri, karena uzur seperti sakit dan sejenisnya, sedangkan dia memiliki harta; maka dia diperbolehkan haji niyabah, asalkan uzur tersebut berlangsung hingga wafat. Mazhab Syafi’i dan Hambali sepakat bahwa orang yang tidak mampu berhaji secara mandiri, entah karena faktor lansia atau sakit kronis, wajib melakukan niyabah jika mampu membayar atau ada orang lain yang sukarela berhaji untuknya secara gratis. Hanya mazhab Maliki yang melarang haji niyabah, karena menilai bahwa istitha’ah itu dilakukan secara mandiri, bukan atas bantuan orang lain (al-Zuhaili, 1985, 3: 38-43; Sabiq, ttt., 1: 444-445).   

Sebagaimana ulasan sebelumnya, haji niyabah berlaku bagi lansia yang istitha’ah secara finansial; baik masih hidup maupun sudah wafat. Pendapat ini didasarkan pada Hadis tentang seorang wanita dari Khats’am yang bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, kewajiban dari Allah atas para hamba-Nya adalah berhaji. Saya melihat ayah saya sudah sangat tua (lansia), beliau tidak mampu bertahan di atas kendaraan. Apakah saya boleh berhaji (untuk menggantikan) beliau?”. Rasulullah SAW menjawab: “Tentu”. Kasus ini terjadi pada Haji Wada’ (H.R. al-Bukhari; Muslim; Abu Dawud; al-Nasa’i; Ibn Majah; Ahmad). Hadis ini terkait haji niyabah untuk orang yang masih hidup.

Sedangkan landasan haji niyabah untuk orang yang sudah wafat adalah Hadis riwayat Ibn ‘Abbas RA tentang seorang wanita dari Juhainah yang mendatangi Nabi SAW. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibu saya pernah nadzar berhaji; lalu beliau wafat. Apakah saya boleh berhaji (untuk menggantikan) beliau?”. Rasulullah SAW menjawab: “Berhajilah untuknya. Bukankah seandainya ibumu memiliki hutang, niscaya engkau akan melunasinya? Sedangkan hutang kepada Allah itu lebih berhak untuk dilunasi” (H.R. al-Bukhari; al-Thabarani).

Prioritas Haji bagi Lansia

Bagi lansia yang secara medis dan psikologis dinilai mampu berhaji secara mandiri, disarankan berhaji. Apalagi ada Hadis yang memotivasi lansia berhaji, “Jihad lansia, anak-anak, orang lemah dan wanita adalah haji dan umrah” (H.R. al-Nasa’i). 

Pemberian prioritas haji bagi jamaah lansia berhubungan erat dengan pelaksanaan haji, apakah harus disegerakan (faur) atau boleh diakhirkan (tarakhi). Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa kewajiban haji boleh diakhirkan, berdasarkan Hadis tentang haji yang diwajibkan dua tahun sebelum Nabi SAW berhaji. Seandainya harus disegerakan, tentu Nabi SAW tidak akan menundanya. Jika beliau menunda karena uzur, tentu akan ada penjelasannya. Di sisi lain, mazhab Hanafi berpendapat bahwa haji itu harus disegerakan, karena dikhawatirkan terjadi hal-hal yang dapat menghalangi seseorang untuk berhaji, semisal meninggal dunia (al-Qurthubi, 1982, 1: 321-322). 

Apalagi jika mempertimbangkan faktor masa tunggu yang sangat lama. Kemenag RI sendiri menyebut daftar tunggu calon jamaah haji Indonesia mencapai 3,7 juta per April 2018; sehingga calon jamaah haji ada yang mengalami masa tunggu antara 11 sampai 30 tahun (https://www.republika.co.id). Dalam kurun waktu tersebut, besar peluang lansia meninggal dunia. Oleh sebab itu, pendapat mazhab Hanafi lebih ramah bagi lansia, agar mendapatkan prioritas haji.

Terkait prioritas haji bagi lansia, ada beberapa kebijakan Kemenag yang ramah. Pertama, Percepatan tahun keberangkatan bagi calon jamaah haji lansia, minimal berusia 75 tahun, sehingga hanya menunggu dua tahun (http://hajiumroh.web.id). Kedua, Percepatan keberangkatan calon jamaah haji lansia ke tanah suci, khususnya yang berusia di atas 75 tahun. Jadi, mereka diprioritaskan berangkat lebih dulu dalam Gelombang I (https://www.republika.co.id). Jamaah haji Indonesia terbagi menjadi dua gelombang. Gelombang I ke Madinah dulu dan miqatnya di Bir Ali. Gelombang II langsung ke Makkah dan miqatnya di atas pesawat (kurang lebih 1 Jam sebelum pesawat mendarat di bandara).

Kebijakan Kemenag memprioritaskan jamaah haji lansia, selaras dengan nilai-nilai al-Qur’an yang menyeru umat muslim agar mengalah demi menghormati lansia. Contoh, kedua putri Nabi Syu’aib AS yang rela menggantikan tugas ayah mereka untuk mencarikan air minum bagi binatang ternak, karena sang ayah sudah lansia (syaikhun kabir) (Q.S. al-Qashash [28]: 23); atau saudara-saudara Nabi Yusuf AS yang rela menyerahkan diri sebagai jaminan agar Bunyamin tidak jadi ditahan oleh Nabi Yusuf AS yang berstatus sebagai penguasa Mesir, mengingat sang ayah (Nabi Ya’qub AS) sudah lansia (syaikhun kabir) (Q.S. Yusuf [12]: 78). Serta nilai-nilai Hadis Nabi SAW. Misalnya: “Bukan golongan kami, siapapun yang tidak menghormati orang yang lebih tua atau senior” (H.R. Ahmad). 

Ihram Haji

Berbeda dengan pakaian ihram wanita, pakaian ihram laki-laki relatif lebih sulit dipakai. Oleh sebab itu, lansia perlu dilatih memakai pakaian ihram yang nyaman dan sah menurut fikih. Misalnya, menggunakan sabuk di atas pusar, lalu digulung kain ihram hingga sabuk tidak terlihat. Menggunakan kain ihram yang menyerap keringat dan tidak panas. Kain ihram tidak sampai mengekang gerakan kaki dan tangan. Memakai salep di sekitar paha jika khawatir mengalami lecet (https://m.detik.com). 

Di sisi lain, lansia mudah melupakan hal-hal yang diharamkan saat memakai baju ihram. Contoh: mengganti baju ihram dengan baju biasa. Dalam konteks ini, jika lansia lupa sedang berihram atau tidak mengetahui hal-hal yang diharamkan saat berihram, maka tidak wajib membayar fidyah (Sabiq, ttt., 1: 472). Ini pendapat mazhab Syafi’i dan Hambali. Lain halnya dengan mazhab Hanafi yang mengharuskan membayar kifarat, baik pelanggaran tersebut dilakukan karena lupa atau disengaja (al-Marwazi, 1985: 94-95).

Ihram dari Miqat

Menurut mazhab Syafi’i, jika jamaah haji melewati miqat makani dan belum berihram hingga memasuki tanah haram, maka dia telah meninggalkan wajib haji. Jika dia sudah berihram sebelum mencapai tanah haram, maka hukumnya tidak apa-apa (al-Khin & al-Bugha, 1992: 137). 

Mazhab Syafi’i juga membolehkan ihram sebelum miqat. Niat ihram dilakukan pada waktu pesawat terbang memasuki daerah Qarnul Munazil atau daerah Yalamlam atau miqat-miqat yang lain (setelah mendapatkan penjelasan dari petugas pesawat). Untuk memudahkan pelaksanaan-nya, dianjurkan agar para jamaah memakai pakaian ihram sejak dari bandara Indonesia tanpa niat terlebih dahulu. Tetapi kalau para jamaah haji ingin sekaligus niat ihram dari Indonesia, itupun diperbolehkan (Bahtsul Masa’il NU Jawa Timur).

Wukuf di Arafah

Problem krusial bagi lansia saat wukuf adalah suhu udara di tempat wukuf yang bisa mencapai 50 hingga 60 derajat Celcius. Cuaca panas ini sangat berisiko bagi jamaah haji Indonesia yang terbiasa dengan cuaca tropis di kisaran 32 hingga 38 derajat Celcius. Jika terkena panas ekstrem, jamaah haji bisa terkena heartstroke yang mengancam jiwa. Agar terhindar dari heartstroke, dr. Yanuar memberi sejumlah tips: (a) minum air putih yang banyak; (b) makan yang teratur; (c) istirahat yang cukup; (d) membaca alat pelindung, seperti sandal, payung dan tabung penyemprot air (https://haji.okezone.com).

Jika jamaah yang sehat bugar saja berisiko terkena heartstroke, tentu lansia lebih besar risikonya. Oleh sebab itu, lansia diseru agar berwukuf di tempat teduh, sekalipun ada kesunahan berwukuf pada posisi yang terkena sinar matahari secara langsung, kecuali bagi yang uzur (al-Zuhaili, 1985, 3: 182). Sedangkan lansia tergolong memiliki uzur, seperti risiko heartstroke. 

Agar semakin mengurangi risiko, lansia disarankan tidak berwukuf dalam waktu yang lama. Hal ini didasarkan pada mazhab Syafi’i. Ada dua pendapat terkait durasi wukuf. Pertama, Mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali mewajibkan wukuf hingga tenggelamnya matahari, agar menghimpun siang dan malam dalam wukuf. Kedua, Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa menghimpun siang dan malam adalah sunah. Oleh sebab itu, jamaah haji boleh meninggalkan ‘Arafah sebelum matahari tenggelam dan tidak harus kembali lagi setelah itu (al-Zuhaili, 1985, 3: 177). Jadi, wukuf boleh dilaksanakan sebentar saja, asalkan waktunya tepat, yaitu sejak Zhuhur 9 Dzulhijjah hingga fajar Hari Raya Idul Adha. Bahkan wukuf dinilai sah sekalipun diisi dengan berjalan atau tidur di Arafah (al-Khin & al-Bugha, 1992: 140; al-Bugha, 1998: 52; al-Hadhrami, 2011: 190).

Mabit di Muzdalifah

Pada waktu menuju Muzdalifah, jika kondisi sedang ramai, disunahkan berjalan wajar seperti biasa; dan disunahkan berjalan cepat jika kondisi sedang sepi (al-Yamani, 2000, 4: 322). Bagi lansia, tentu lebih mudah berjalan wajar, daripada berjalan cepat.   

Pada malam Idul Adha, jamaah haji wajib mabit di Muzdalifah hingga setelah tengah malam; namun tidak wajib mabit hingga terbit fajar (al-Khin & al-Bugha, 1992: 137).

Melempar Jumrah

Setelah mabit di Muzdalifah, jamaah haji melakukan pelemparan jumrah. Menurut mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali, tidak boleh melempar jumrah sebelum terbit fajar. Menurut mazhab Syafi’i, boleh melempar jumrah sebelum terbit fajar. Di sisi lain, para ulama sepakat bahwa waktu yang disunahkan adalah setelah terbitnya matahari hingga tergelincirnya matahari (al-Qurthubi, 1982, 1: 350-351). 

Demi menghindari desak-desakan saat melempar jumrah, lansia sebaiknya memilih pendapat mazhab Syafi’i yang membolehkan pelemparan jumrah sebelum waktu shubuh.

Adapun pelemparan jumrah pada hari Tasyriq, yaitu Jumrah Ula, Wustha dan ‘Aqabah. Para ulama sepakat bahwa sunah melempar jumrah setelah tergelincirnya matahari pada hari Tasyriq. Jika melempar jumrah sebelum tergelincirnya matahari, jumhur ulama menilai tidak sah, sehingga harus diulangi setelah tergelincirnya matahari. Namun, Abu Ja’far Muhammad ibn ‘Ali berpendapat bahwa waktu pelemparan jumrah adalah setelah terbitnya matahari hingga tenggelamnya matahari (al-Qurthubi, 1982, 1: 353). 

Ibn Qudamah merinci tiga pendapat: (a) Mazhab Syafi’i, waktu jumrah dimulai setelah tengah malam sebelum terbit fajar. (b) Mazhab Hambali dan Maliki, boleh melempar jumrah setelah terbit fajar, sebelum terbitnya matahari. (c) Mazhab Hanafi, melempar jumrah hanya boleh dilakukan setelah terbitnya matahari (Qudamah, 1997, 5: 295).

Menurut mazhab Hambali, melempar jumrah boleh dilakukan dengan berjalan kaki maupun naik kendaraan (Qudamah, 1997, 5: 293). Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, boleh mencari ganti untuk melempar jumrah bagi orang yang tidak mampu melempar jumrah sendiri, karena sakit, lansia atau hamil (al-Zuhaili, 1985, 3: 193). Dari sini lansia dapat memilih cara melempar jumrah. Misalnya memakai kursi roda, atau mencari orang lain yang sehat-bugar agar berjumrah untuknya. Prinsipnya adalah menyesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat jumrah. 

Penyembelihan Kurban

Dari tiga jenis haji, Kemenag lebih mengutamakan haji tamattu’, dibandingkan haji qiran atau ifrad. Haji tamattu’ yang arti aslinya “bersenang-senang”, dinilai paling sesuai dengan kondisi jamaah haji Indonesia (https://www.republika.co.id). Konsekuensi-nya, jamaah harus membayar dam dengan menyembelih binatang kambing atau domba (al-hadyu). Jika tidak mampu, maka harus berpuasa sepuluh hari, dengan rincian tiga hari saat haji dan tujuh hari saat di tanah air (Q.S. al-Baqarah: 196).    

Mengingat lansia sulit sekali berpuasa, maka pilihannya adalah menyembelih al-hadyu. Menurut mazhab Maliki, al-hadyu harus disembelih jamaah haji sendiri dan makruh disembelihkan orang lain, namun sah (al-Ashbahi, 1994, 1: 481).

Terkait tempat penyembelihan. Mazhab Hanafi berpendapat lokasinya di tanah haram. Mazhab Maliki berpendapat bahwa lokasinya harus di Mina. Mazhab Syafi’i berpendapat boleh di tanah haram, namun yang lebih utama di Mina. Mazhab Hambali juga berpendapat boleh di seluruh tanah haram (al-Jawzi, 1998, 6: 293-294).

Thawaf Ifadhah

Thawaf yang menjadi rukun haji adalah thawaf ifadhah. Mengingat area thawaf penuh sesak pada musim haji, lansia perlu memilih waktu yang strategis dan kondusif. 

Ada dua pendapat terkait waktu thawaf ifadhah. Pertama, Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa thawaf ifadhah harus dilaksanakan setelah fajar hari raya Idul Adha. Kedua, Mazhab Syafi’i dan Hambali membolehkan thawaf ifadhah setelah tengah malam hari raya Idul Adha (al-Zuhaili, 1985, 3: 162). 

Pendapat mazhab Syafi’i dan Hambali dapat digunakan, sehingga lansia sudah boleh menjalankan thawaf ifadhah setelah tengah malam sebelum Shubuh yang relatif lebih sepi dibandingkan setelah Shubuh.

Pelaksanaan thawaf tidak harus berjalan kaki. Boleh juga dengan naik kursi roda atau digendong. Menurut mazhab Syafi’i, memang lebih utama thawaf dengan jalan kaki, karena mayoritas thawaf Nabi SAW dengan berjalan kaki. Akan tetapi, diperkenankan berthawaf dengan naik kendaraan (semisal kursi roda), baik ada uzur maupun tanpa uzur. Menurut mazhab Maliki dan Abu Hanifah, orang yang thawaf dengan naik kendaraan, padahal tidak ada uzur; maka wajib membayar dam (al-Yamani, 2000, 4: 281-282).

Sa’i

Sa’i dilaksanakan di antara bukit Shafa (start) dan Marwah (finish) yang berjarak sekitar 450 meter. Jadi, total perjalanan bolak-balik Shafa dan Marwah tujuh kali adalah 3.150 meter (Muhammad, 1999: 37). Ini adalah jarak yang relatif berat bagi lansia, jika harus dilakukan dengan jalan kaki. 

Sa’i harus dilaksanakan setelah thawaf. Disunahkan mengerjakannya secara berturut-turut, namun boleh memisahkan waktu thawaf dan sa’i, asalkan tidak diselingi oleh rukun haji yang lain, semisal wukuf (al-Yamani, 2000, 4: 304). Pendapat ini bisa digunakan oleh lansia yang merasa tidak mampu untuk melaksanakan thawaf dan sa’i secara berturut-turut. 

Memang disunahkan sa’i dengan cara berjalan kaki, bukan dengan naik kendaraan (kursi roda). Namun, kesunahan ini hanya berlaku bagi orang yang mampu (al-Zuhaili, 1985, 3: 172). Jadi, sa’i boleh dilakukan dengan naik kendaraan, baik ada atau tidak ada uzur. Ini pendapat mazhab Syafi’i. Menurut mazhab Hanafi, jika dia berada di Makkah, maka sa’i harus diulang dengan berjalan kaki. Jika sudah pulang ke tanah airnya, maka hukumnya sah, namun harus membayar dam (al-Yamani, 2000, 4: 307-308). 

Berdasarkan pendapat mazhab Syafi’i tersebut, lansia boleh memilih bersa’i dengan jalan kaki; atau naik kursi roda, sesuai situasi dan kondisinya saat itu.

Lansia juga perlu mempertimbangkan tips Imam al-Nawawi yang menyatakan bahwa yang lebih utama adalah mencari waktu yang sepi untuk bersa’i. Jika suasana sangat ramai dan berdesak-desakan, lebih baik menjaga diri agar tidak sampai terdesak atau tersakiti oleh orang lain. Jika tidak mampu berjalan cepat karena kondisi sangat ramai, disunahkan bergerak-gerak layaknya orang yang berjalan cepat (al-Zuhaili, 1985, 3: 173).

Tahallul

Para ulama sepakat bahwa ada dua tahallul haji, yaitu tahallul awwal (ashghar) dan tahallul tsani (akbar). Tahallul awwal berlaku apabila jamaah sudah melaksanakan dua dari tiga amaliah haji: melempar jumrah aqabah, memangkas rambut dan thawaf ifadhah. Tahallul tsani berlaku apabila jamaah sudah menyelesaikan ketiga amaliah haji di atas (al-Zuhaili, 1985, 3: 228-229). 

Tahallul boleh dilakukan dengan cara memotong beberapa helai rambut (al-muqashshirin) maupun mencukur rambut hingga botak (al-muhalliqin), seperti tertera dalam Surat al-Fath [48]: 27. Hanya saja, menurut al-Hasan, wajib mencukur rambut hingga botak bagi orang yang pertama kali berhaji. Sedangkan waktu tahallul, boleh ditunda hingga akhir hari raya Idul Adha (Qudamah, 1997, 5: 303-305).

Mabit di Mina

Ulama sepakat bahwa mabit di Mina pada malam 8 Dzulhijjah adalah sunah. Mabit di Mina pada malam 11-12 Dzulhijjah dinilai sunah oleh mazhab Hanafi; namun dinilai wajib oleh mazhab Maliki dan Syafi’i. Lebih dari itu, mazhab Syafi’i berpendapat bahwa kewajiban mabit di Mina gugur bagi orang yang memiliki uzur, seperti sakit yang membuatnya sulit melaksanakan mabit (al-Zuhaili, 1985, 3: 204-205).

KONSTRUKSI FIKIH HAJI TEMATIS (MAUDHU’IYYAH)

Bahasan ini mengacu pada topik khusus yang relevan dengan haji lansia.

Wanita Berhaji tanpa Didampingi Mahram

Banyak faktor yang membuat wanita berhaji tanpa didampingi mahram. Menurut mazhab Hanafi dan Hambali, wanita tidak boleh berhaji, kecuali bersama mahram. Menurut mazhab Maliki dan Syafi’i, wanita boleh berhaji tanpa didampingi mahram, asalkan bersama para jamaah haji wanita lain yang dapat dipercaya (al-Marwazi, 1985: 100; al-Jawzi, 1998: 276).

Haji Sharurah

Bisa jadi lansia mengalami kesulitan untuk menemukan pengganti yang sudah pernah berhaji. Salah satu solusinya adalah mengikuti pendapat mazhab Hanafi dan Maliki yang membolehkan haji sharurah. Yaitu orang yang belum pernah berhaji, boleh menggantikan orang lain untuk berhaji, sekalipun statusnya makruh. Lain halnya dengan mazhab Syafi’i dan Hambali yang menyatakan haji sharurah itu tidak sah. Karena orang yang menggantikan haji untuk orang lain, harus pernah berhaji sebelumnya (al-Zuhaili, 1985, 3: 53-54).

Haji Ihshar

Mengingat kondisi lansia yang tidak begitu stabil, ada kemungkinan lansia tidak bisa melanjutkan ibadah haji hingga selesai. Inilah yang disebut ihshar.

Menurut mazhab Hanafi, ihshar adalah tercegahnya orang yang berihram dari melaksanakan dua rukun haji, wukuf dan thawaf. Menurut jumhur, ihshar adalah tercegah dari menyempurnakan ibadah haji. Salah satu sebabnya adalah sakit (al-Zuhaili, 1985, 3: 286).

KESIMPULAN

Literatur fikih haji umumnya bersifat general, belum ada fikih haji khusus lansia. Padahal lansia membutuhkan fikih haji yang ramah sesuai dengan segala keterbatasan fisik dan psikis yang dialami. Atas dasar itu, Fikih haji khusus lansia memanfaatkan luasnya khazanah pemikiran fikih lintas mazhab, dengan memilih dan memilah pendapat mazhab yang tergolong mudah dan memudahkan lansia saat berhaji. Poin pentingnya, karakteristik fikih haji lansia adalah berorientasi pada prinsip mashlahat sesuai maqashid syariat; prinsip taisir yang mudah dan memudahkan; prinsip ta'abbud yang berserah diri pada hukum fikih yang tidak dapat dijangkau ijtihad nalar. 

Sebagai implikasi dari tulisan ini, ada tiga rekomendasi aksi. Pertama, Diseminasi fikih haji lintas mazhab yang ramah bagi lansia, karena mengutamakan prinsip “kemudahan” (taisir) daripada prinsip “kehati-hatian” (ihtiyath). Kedua, Perlunya kajian serius dari pakar fikih untuk menyusun fikih haji khusus lansia yang dipublikasikan secara masif sebagai literatur referensial. Ketiga, Perluasan topik fikih haji khusus lansia, menjadi fikih ibadah dan muamalah yang ramah bagi umat muslim berkebutuhan khusus, seperti orang sakit, lansia, difabel.

DAFTAR PUSTAKA

Book:

  • Arifi, Ahmad. Pergulatan Pemikiran Fiqih “Tradisi” Pola Mazhab. 2010. Yogyakarta: eLSAQ Press.
  • al-Ashbahi, Imam Malik ibn Anas. 1994. al-Mudawwanah al-Kubra. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
  • Asy’ari, Muhammad Hasyim. 2013. Inti Fiqh Haji dan Umrah. Penerjemah Rosidin. Malang: Genius Media.
  • Auda, Jasser. 2015. Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah: Pendekatan Sistem. Penerjemah Rosidin dan Ali Moen’im. Bandung: Mizan.
  • Auda, Jasser. 2015. Wanita dan Masjid. Penerjemah Rosidin. Jakarta: Amzah.
  • Bayyah, Abdullah ibn al-Mahfuzh ibn. 2007.  Shina’ah Fatwa wa Fiqh al-Aqalliyat. Beirut: Dar al-Minhaj.
  • al-Hadhrami, ‘Abdullah ibn ‘Abdurrahman Bafadhal. 2011. al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah fi Fiqh al-Sadah al-Syafi’iyyah. Beirut: Dar al-Minhaj.
  • Hakim, Abdul Hamid. ttt..  al-Sullam. Jakarta: Maktabah Sa'adiyyah Putera.
  • al-Hasani, Muhammad ‘Alwi al-Maliki. 2007. Syaraf al-Ummat al-Muhammadiyyah. Kairo: Dar al-Jawami’ al-Kalim.
  • al-Jawzi, Ibn. 1998. al-Tahqiq fi Masa’il al-Khilaf. Kairo: Dar al-Wa’i al-‘Arabi.
  • al-Kaf, Hasan ibn Ahmad ibn Muhammad. 2003. Al-Taqrirat al-Sadidah fi al-Masa’il al-Mufidah. Tarim: Dar al-‘Ilm wa al-Da’wah.
  • al-Khin, Musthafa dan Musthafa al-Bugha. 1992. al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syafi’i. Beirut: Dar al-Qalam.
  • al-Khin, Musthafa Sa’id. 1998. al-Mufid fi al-‘Ibadah wa al-Mu’amalah ‘ala al-Madzhab al-Syafi’i. Beirut: Dar Ibn Katsir.
  • al-Marwazi, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Nashr. 1985. Ikhtilaf al-‘Ulama’. Beirut: ‘Alam al-Kutub.
  • Muhammad, Mamdouh Nourudhin. 1999. Hajj and Umrah: A to Z. Riyadh: Dar Eshbelia.
  • al-Muzani, Abu Ibrahim Isma’il ibn Yahya ibn Isma’il al-Mishri. 1998. Mukhtashar al-Muzani fi Furu’ al-Syafi’iyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
  • al-Qardhawi, Yusuf. al-Fiqh al-Islami: Bayn al-Ashalah wa al-Tajdid. 1999. Kairo: Mathba’ah al-Madani.
  • Qudamah, Abu Muhammad ‘Abdillah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn. 1997. al-Mughni. Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub.
  • al-Qurthubi, Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd. 1982. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
  • Rispler-Chaim, Vardit. 2007. Disability in Islamic Law. Dordrecht: Springer.
  • Sabiq, Sayyid. ttt..  Fiqh al-Sunnah. Kairo: al-Fath li al-A’lam al-‘Arabi.
  • al-Utsmani, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn ‘Abdirrahman al-Dimasyqi. 1987. Rahmat al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
  • al-Yamani, Abu al-Husain Yahya ibn Abu al-Khair ibn Salim al-‘Imrani al-Syafi’i. 2000. al-Bayan fi Madzhab al-Imam al-Syafi’i. Beirut: Dar al-Minhaj.
  • al-Zuhaili, Wahbah. 1985. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Beirut: Dar al-Fikr.
  • al-Zuhaili, Wahbah. 1986. Ushul al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar al-Fikr.

Journal Article:

  • Widyarini. 2016. Penyelenggaraan Haji bagi Lansia. Az Zarqa’: Jurnal Hukum Islam dan Bisnis. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Vol. 8, No. 2, pp. 219-235.
  • Kholilurrohman. 2017. Hajinya Lansia Ditinjau dari Perspektif Bimbingan dan Konseling Islam. Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi. IAIN Surakarta. Vol. 2, No. 2, pp. 231-241.

Thesis:

  • Thirafi, Farah Zaruna. 2015. Kecemasan Lanjut Usia dalam Proses Pelaksanaan Ibadah Haji Reguler. Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Website:

Retrived on 3 May 2018 from:

  • http://hajiumroh.web.id/info/cara-mempercepat-keberangkatan-haji-bagi-lansia.php

Retrived on 3 May 2018 from:

  • https://www.republika.co.id/berita/jurnal-haji/berita-jurnal-haji-18/05/03/p85b9y313-ini-daftar-antrian-haji-per-april-2018

Retrived on 3 May 2018 from:

  • https://www.republika.co.id/berita/jurnal-haji/berita-jurnal-haji-18/04/02/p6jydq313-jamaah-calon-haji-lansia-diprioritaskan-berangkat-lebih-dulu

Retrived on 4 May 2018 from:

  • https://m.detik.com/news/berita/3279658/tips-mudah-berpakaian-ihram

Retrived on 4 May 2018 from:

  • https://haji.okezone.com/read/2017/08/05/398/1750476/masya-allah-suhu-saat-wukuf-di-arafah-terpanas-selama-20-tahun

Retrived on 4 May 2018 from:

  • https://www.republika.co.id/berita/jurnal-haji/berita-jurnal-haji/16/07/20/oam5rv313-jamaah-disarankan-pilih-haji-bersenangsenang

Software:

  • Al-Maktabah al-Syamilah.
  • Bahtsul Masa’il NU Jawa Timur

Posting Komentar untuk "Konstruksi Fikih Haji Lintas Mazhab yang Ramah Bagi Jamaah Lansia"