Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hubungan Mutu Shalat dengan Peluang Maksiat

Maksiat
Pertanyaan Mainstream Seputar Relasi Shalat dengan Maksiat

 

 HUBUNGAN MUTU SHALAT DENGAN PELUANG MAKSIAT


Dr. Rosidin, M.Pd.I 
www.dialogilmu.com

Dalil Relasi Shalat dengan Maksiat


Hubungan shalat dengan maksiat tertera dalam Surat al-‘Ankabut [29]: 45, “Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar”. Faktanya, masih banyak orang muslim yang mendirikan shalat, namun rajin maksiat. Ikut shalat Jum’at, namun setelah itu mencuri sandal atau sepatu. Istilah populernya, STMJ (Shalat Terus Maksiat Jalan). Mengapa hal itu bisa terjadi?
 
Jika ada pernyataan, “Imunisasi bisa mencegah penyakit berbahaya”; lalu ada bayi yang sudah diimunisasi, namun terserang penyakit berbahaya; maka jangan salahkan pernyataannya, melainkan salahkan penerapannya. Bisa jadi imunisasinya telat, atau dosisnya tidak tepat. Demikian halnya dengan ayat di atas. Ketika ada orang muslim yang mendirikan shalat, namun dia tetap rajin bermaksiat; maka jangan salahkan pernyataan ayatnya, melainkan salahkan penerapannya. Bisa jadi shalatnya masih pada taraf gerakan fisik, belum mencapai pemahaman makna shalat, apalagi peresapan hakikat shalat. 

Sesungguhnya redaksi ayat di atas menggunakan bentuk fi’il mudhari’, yaitu kata kerja yang menunjukkan waktu sekarang (hal) dan nanti (mustaqbal). Dalam ilmu tafsir, bentuk fi’il mudhari’ bermakna “suatu proses yang berjalan terus-menerus”. Artinya, hampir tidak mungkin terjadi, satu atau dua kali shalat, langsung membuat seseorang tercegah dari perbuatan maksiat. Dibutuhkan proses panjang untuk memperbaiki mutu shalat hingga mencapai tingkatan yang dapat mencegah seseorang dari berbuat aneka kemaksiatan.
 

Tingkatan Mutu Shalat dalam al-Qur'an

Setidaknya ada lima tingkatan shalat orang muslim menurut keterangan al-Qur’an. 

Pertama, Orang muslim yang tidak mendirikan shalat (lam naku min al-mushallin). Mereka ini diancam akan dijerumuskan ke dalam neraka saqar (Q.S. al-Muddatstsir [74]: 42-43). 

Kedua, orang muslim yang sembrono atau lalai terhadap shalatnya (‘an shalatihim sahun). Mereka ini tergolong pendusta agama (Q.S. al-Ma’un [107]: 1-5). 

Ketiga, orang muslim yang rajin mendirikan shalat (wal-muqimi al-shalat) (Q.S. al-Hajj [22]: 35). 

Keempat, orang muslim yang ajeg (istiqamah) dalam mendirikan shalat (‘ala shalatihim da’imun). Mereka ini “dijamin” terjaga dari akhlak tercela yang menjadi bawaan manusia, seperti suka mengeluh ketika terkena musibah dan sangat kikir ketika mendapat anugerah (Q.S. al-Ma’arij [70]: 19-23). 

Kelima, orang muslim yang khusyu’ dalam shalatnya (Q.S. al-Mu’minun [23]: 1-2). Mereka ini sudah menghayati hakikat shalat, sehingga shalat bukan lagi kebutuhan, apalagi kewajiban, melainkan kenikmatan. Sebagaimana sabda Nabi Rasulullah SAW, “Dan ketentraman jiwaku diletakkan dalam shalat” (H.R. Ahmad).

Tingkatan Mutu Shalat Ke-1

Orang muslim yang tidak mendirikan shalat, bagaikan orang yang tidak memiliki benteng sama sekali, sehingga mudah digoda setan untuk selalu berbuat maksiat. Bahkan meninggalkan shalat merupakan suatu kemaksiatan tersendiri. Dalam Hadis dinyatakan, “Barangsiapa meninggalkan shalat, maka tiada agama baginya. Karena shalat adalah tiang agama” (H.R. al-Baihaqi). “Batas antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat” (H.R. Muslim).

Tingkatan Mutu Shalat Ke-2

Orang muslim yang sembrono terhadap shalatnya, bagaikan orang yang memiliki benteng, namun lemah; sehingga sering terjerumus dalam godaan setan untuk berbuat maksiat. Dia ibarat pengendara motor yang ugal-ugalan, namun masih memakai helm. Sehingga sekalipun mengalami kecelakaan, tidak sampai tewas; mungkin hanya luka parah. Termasuk dalam kategori ini, orang muslim yang shalatnya “musiman”. Misalnya, ketika Ramadhan pro shalat, di luar Ramadhan anti shalat; ketika susah pro shalat, ketika senang anti shalat; ketika miskin pro shalat, ketika kaya anti shalat; ketika lengang pro shalat, ketika sibuk anti shalat.
 
Sikap sembrono tersebut semakin liar, mengingat Imam al-Ghazali pernah berkata bahwa “meninggalkan shalat merupakan perkara yang paling ringan di dunia”. Artinya, orang muslim yang sembrono, akan memiliki begitu banyak alasan (alibi) yang seolah-olah membenarkan tindakannya untuk meninggalkan shalat. Misalnya, sibuk kerja, tidak shalat; macet di jalanan, tidak shalat; nonton sepakbola, tidak shalat; resepsi pernikahan, tidak shalat. Jika terhadap shalat yang merupakan rukun Islam saja, dia bersikap sembrono; besar kemungkinan dia juga sembrono terhadap syariat Islam lain, semisal mudah berbuat maksiat. Ibaratnya, jika siswa sudah sembrono dengan tidak masuk kelas, besar kemungkinan dia menghabiskan waktu bolosnya untuk bermain internet atau game.

Tingkatan Mutu Shalat Ke-3

Orang muslim yang rajin mendirikan shalat, belum terjamin dari kemaksiatan yang berhubungan dengan watak manusiawi. Misalnya, rajin shalat, namun gemar bergosip atau menggunjing orang lain; rajin shalat, namun kikirnya tidak terkira; rajin shalat, namun berbuat kasar (KDRT) terhadap istri dan anak; rajin shalat, namun selingkuh. Artinya, kebaikannya baru sebatas ibadah ritual (hablum min Allah), belum dilengkapi ibadah sosial (hablum min al-Nas). Bandingannya, ada orang yang bagus ibadah sosialnya, namun jelek ibadah ritualnya. Misalnya, sopan, namun malas shalat; dermawan, namun malas shalat; ramah, namun malas shalat. Mereka ini layak disebut sebagai orang yang memiliki kepribadian terbelah (split personality) yang banyak menjangkiti umat muslim.

Tingkatan Mutu Shalat Ke4

Orang muslim yang ajeg (istiqamah) dalam shalat, sudah mampu mengendalikan watak manusiawi yang tercela, seperti kikir, marah, sombong, riya’, ‘ujub, dan sejenisnya. Keistiqamahannya bukan hanya berlaku pada shalat lima waktu, melainkan juga shalat-shalat sunah dan kesunahan-kesunahan shalat. Mereka inilah yang dalam Hadis Qudsi disebut sebagai orang yang dicintai Allah SWT, sehingga Allah SWT “menjadi mata, telinga, tangan dan kakinya” (H.R. al-Bukhari). Seolah-olah ada lentera di depan dan sisi kanannya (Q.S. al-Tahrim [66]: 8), sehingga membuat sikap, perkataan dan perbuatannya selalu berada di jalan kebenaran (shirat al-mustaqim), sesuai syariat Islam. Seandainya berbuat maksiat, hanya berupa dosa kecil dan jarang terjadi. Itu pun semata-mata dikarenakan faktor “iman itu terkadang naik dan terkadang turun” (H.R. Muslim).

Tingkatan Mutu Shalat Ke-5

Orang muslim yang khusyu’ dalam shalat, sudah terlindungi dari berbagai jenis kemaksiatan. Nabi Zakariya AS dan Nabi Yahya AS adalah contoh figur yang diberi gelar khusyu’ oleh Allah SWT (Q.S. al-Anbiya’ [21: 90). Contoh lain adalah Abdullah ibn al-Zubair RA, seorang sahabat besar yang tidak merasakan runtuhnya salah satu tembok rumahnya ketika beliau sedang mengerjakan salat. Ketika mengerjakan salat, burung-burung hinggap di atas kepala beliau seakan-akan burung-burung itu hinggap di atas sebuah pohon! Setelah selesai salat, Abdullah ibn al-Zubair RA ditanya, mengapa beliau tidak membatalkan salatnya dan menghindari bahaya. Lalu Abdullah ibn al-Zubair RA menjawab bahwa beliau tidak mendengar suara sama sekali!.
 
Orang muslim yang khusyu’ dalam shalatnya terlindungi dari peluang berbuat maksiat, karena Allah SWT telah melemahkan segala tipu-daya setan terhadapnya (Q.S. al-Nisa’ [4]: 76) dan rahmat Allah SWT telah meredam pengaruh gejolak nafsu amarah terhadapnya (Q.S. Yusuf [12]: 53). Seperti kisah Nabi Yusuf AS yang selamat dari godaan Zalikha yang merayu sedemikian rupa, menutup semua pintu rumah dan menyerahkan diri sepenuhnya. Di tengah besarnya peluang terjerumus dalam kemaksiatan, Nabi Yusuf AS diselamatkan oleh Allah SWT dari perbuatan buruk dan keji (Q.S. Yusuf [12]: 23-24).
 

Simpulan

Walhasil, apabila orang muslim meninggalkan shalat ataupun sembrono terhadap shalatnya, maka dia berpeluang besar melakukan kemaksiatan. Apabila orang muslim rajin mendirikan shalat, semata menggugurkan kewajiban, maka dia berpeluang berbuat maksiat, terutama dalam konteks hubungan sosial (hablum min al-Nas). Apabila orang muslim istiqamah mendirikan shalat, baik fardhu maupun sunnah, serta sesuai aturan fikih dan akhlak shalat, maka dia terjaga dari peluang berbuat kemaksiatan. Namun, terkadang dia masih melakukan dosa kecil, karena faktor turunnya iman. Apabila orang muslim khusyu’ dalam shalat, maka dia mendapat perlindungan dari Allah SWT, sehingga terjaga dari peluang berbuat kemaksiatan, baik yang disebabkan tipu daya setan maupun pengaruh gejolak nafsunya. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
   

   

Posting Komentar untuk "Hubungan Mutu Shalat dengan Peluang Maksiat"