Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Metode Penyusunan Naskah Materi Dakwah

METODE PENYUSUNAN NASKAH MATERI DAKWAH

Dr. Rosidin, M.Pd.I
Metode Penyusunan Naskah Materi Dakwah
Kontekstualisasi Nilai Islam dalam Dakwah Global

Muqaddimah

Almaghfurlah Abah Hasyim Muzadi pernah menyatakan bahwa para santri alumni pesantren itu umumnya sudah memiliki “air” (ilmu pengetahuan) yang melimpah, akan tetapi belum memiliki “kran” yang menyalurkan “air” tersebut. Akibatnya banyak orang pandai, tapi belum bisa memandaikan orang lain; atau menjadi orang shalih (dirinya sendiri yang baik), tapi belum menjadi mushlih (memperbaiki orang lain). 

Fenomena ini dapat dicermati dari banyaknya orang pandai yang kesulitan untuk berbagi kepandaiannya kepada masyarakat umum. Dalam konteks dakwah, fenomena ini mengisyaratkan bahwa para santri alumni pesantren tersebut kuat dalam materi dakwah, namun lemah dalam metode dakwah. Sedangkan ada kaidah umum, “al-thariqah ahammu min al-maddah” (metode dakwah lebih penting dibandingkan materi dakwah).

Dapat diilustrasikan dengan sales obat kualitas nomor dua, namun sangat piawai memasarkan produknya (ahli marketing); umumnya lebih sukses dibandingkan sales obat kualitas nomor satu, namun lemah dalam hal skill marketing. Atas dasar itu, penting bagi para dai untuk melatih keterampilan di bidang metode dakwah. 

Namun demikian, tulisan ini sekedar mengulas satu segi metode dakwah, yaitu metode penyusunan materi dakwah secara sistematis. Topik ini setidaknya memiliki tiga manfaat. 
  • Pertama, melatih dai mengolah data berupa khazanah ilmu pengetahuan yang melimpah di otak, agar menjadi informasi berupa materi dakwah yang siap saji. 
  • Kedua, melatih dai untuk memilah dan memilih materi dakwah yang relevan (terkait) dengan topik bahasan, dan menyisihkan materi dakwah yang tidak relevan, sekalipun signifikan (penting). 
  • Ketiga, materi dakwah yang sistematis, mempermudah mitra dakwah untuk memahami materi dakwah yang disampaikan; karena disajikan dengan logika runtut (A, B, C, D, dst.), bukan dengan logika acak dan meloncat-loncat (A, C, B, D, dst.).    

Pembahasan

Langkah-langkah praktis penyusunan materi dakwah yang sistematis, setidaknya membutuhkan lima langkah.

Pertama, Pemilihan Topik Dakwah

Secara garis besar, materi dakwah dapat dipilah menjadi dua topik besar. Pertama, topik yang bersifat aktual yang rutin dialami oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, tauhid, shalat, halal-haram, takwa, dan sebagainya. Kedua, topik yang bersifat tematik yang secara insidental dialami oleh masyarakat. Misalnya, pilkada, pilpres, PHBI (Peringatan Hari Besar Islam), hari besar nasional, dan sebagainya.

Kedua materi dakwah ini sama-sama bisa digunakan sesuai situasi dan kondisi. Misalnya, jika mengisi dakwah pada awal-awal bulan Muharram, sebaiknya memilih materi dakwah tematik yang berhubungan dengan momen tahun baru Hijriyah. Antara lain spirit hijrah, tradisi suro di Indonesia, peristiwa historis bulan Muharram. Jika mengisi dakwah di pertengahan hingga akhir bulan Muharram, sebaiknya memilih materi dakwah tematik yang berhubungan dengan isu-isu yang sedang hangat diperbincangkan masyarakat (viral), sehingga masyarakat memiliki pemahaman Islami terkait isu tersebut. Antara lain, maraknya hoax, hate speech, Islam Nusantara, khilafah, dan sebagainya. 

Apabila mengisi dakwah pada saat sedang tidak ada momen khusus, seperti PHBI maupun topik yang sedang viral, dai dapat memilih materi dakwah aktual yang secara rutin dialami mitra dakwah. Antara lain, hubungan takdir dan ikhtiar, fikih jual beli, tips istiqamah, dan sebagainya.   

Kedua, Penghimpunan Referensi Topik Dakwah

Setelah menentukan topik dakwah yang akan disampaikan, langkah yang perlu ditempuh adalah menghimpun referensi yang relevan dengan topik dakwah. Agar lebih maksimal, setidaknya dibutuhkan lima jenis referensi.

#Referensi Pertama, al-Qur’an

Mengingat al-Qur’an merupakan sumber utama ajaran Islam, sudah seharusnya al-Qur’an selalu dilibatkan dalam dakwah; apalagi ada fenomena yang menunjukkan antusiasme umat muslim kontemporer terhadap al-Qur’an. Untuk itu, dai perlu mengutip ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan topik dakwah, baik secara tersurat (manthuq), maupun secara tersirat (mafhum). 

Untuk memilih ayat al-Qur’an yang relevan dengan topik dakwah, dai dapat memanfaatkan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an karya al-Baqi yang memuat ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan kata kuncinya. Jika ingin lebih efektif dan efisien, dapat pula memanfaatkan software zekr dengan cara mengetik kata kunci, lalu diperoleh data ayat-ayat al-Qur’an yang diurutkan sesuai: (a) mushhaf al-Qur’an; (b) waktu turunnya al-Qur’an; (c) panjang-pendeknya ayat al-Qur’an; (d) kesesuaian redaksi ayat al-Qur’an. Syaratnya, para dai harus mengetahui akar kata dari kata kunci yang ingin dicari. Contoh: untuk mencari ayat al-Qur’an tentang topik hijrah, kata yang dilacak adalah pola ha’-jim’-ra’.

#Referensi Kedua, Hadits

Hadits memberikan penjelasan dan uraian yang lebih praktis dan detail menyangkut topik dakwah. Mengingat umat muslim kontemporer cenderung kritis terhadap status Hadits; para dai perlu mengetahui status Hadits, minimal perawi atau mukharrij Hadits, kitab Hadits yang dirujuk, plus validitasnya (shahih, hasan, dha’if). Tentu lebih istimewa apabila para dai membekali diri dengan Ulumul Hadits yang memadai. 

Untuk memilih Hadits yang relevan dengan topik dakwah, dai dapat memanfaatkan daftar isi pada kitab Hadits yang dirujuk. Jika ingin lebih efektif dan efisien, dapat pula memanfaatkan software al-maktabah al-syamilah dengan cara memilih kitab Hadits yang ingin dirujuk, lalu mengetik kata kunci yang ingin dicari. Contoh: memilih kitab Shahih Bukhari dan Muslim, lalu mengetik kata hijratuhu untuk mencari Hadits tentang hijrah.

#Referensi Ketiga, kitab-kitab klasik yang terpercaya (mu’tabar)

Demi mendapat pemahaman yang lebih orisinil, dibutuhkan akses pada kitab-kitab klasik karya para ulama yang hidup pada kurun waktu yang lebih dekat dengan era kenabian. Umumnya label kitab klasik disematkan pada karya-karya yang ditulis sebelum masa kolonialisme Barat. Contoh: Tafsir al-Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli dan al-Suyuthi.

#Referensi Keempat, kitab-kitab modern yang terpercaya (mu’tabar)

Demi meraih pemahaman yang lebih aktual, dibutuhkan akses pada kitab-kitab modern karya para ulama yang hidup pada masa kolonialisme Barat hingga zaman now. Contoh: Tafsir al-Munir karya Wahbah al-Zuhaili.

#Referensi Kelima, literatur sekunder yang terpercaya

Bentuknya bisa berupa jurnal ilmiah, karya tulis ilmiah (disertasi, tesis, skripsi), ensiklopedia, kamus, buku referensi, laporan, berita, opini, makalah, blog, media sosial, dan sebagainya. Contoh: Ensiklopedia Tematis Dunia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve.   

Referensi pertama dan kedua mencerminkan aspek Ilahi (naqli) yang statis (tsawabit) dan permanen-absolut, sedangkan referensi ketiga, keempat dan kelima mencerminkan aspek insani (‘aqli) yang dinamis (mutaghayyirat) dan temporer-relatif.

Ketiga, Sistematika Materi Dakwah 

Ketika bahan-bahan referensi sudah siap, langkah berikutnya adalah menyusun materi dakwah secara sistematis. Secara umum, sistematika materi dakwah dapat dipilah menjadi tiga kategori: Muqaddimah, Pembahasan dan Simpulan.

Muqaddimah

Muqaddimah (Pendahuluan) memuat jawaban atas pertanyaan “mengapa” (why?) topik dakwah tersebut disampaikan? Ada dua jenis jawaban:
  • Pertama, Sebab (‘illat) yang melatar-belakangi topik dakwah. Sebagaimana Asbab al-Nuzul sebagai cerminan sebab yang melatar-belakangi turunnya ayat al-Qur’an. Contoh: Mengingat banyaknya kasus ujaran kebencian (hate speech) yang beredar di tengah masyarakat, terutama melalui media sosial; maka penting bagi kita untuk memahami etika Islami dalam berkomunikasi.  
  • Kedua, Tujuan (hikmah) yang disasar oleh topik dakwah. Sebagaimana Hikmah al-Tasyri’ sebagai cerminan manfaat yang terkandung dalam setiap ajaran Islam. Contoh: Jika menelaah kisah perjalanan hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah, niscaya kita akan memperoleh keteladanan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Poin penting dari Muqaddimah adalah bagaimana caranya agar mitra dakwah tertarik sekaligus termotivasi untuk mendengarkan lebih jauh tentang materi dakwah yang akan disampaikan. Mirip seperti yang dilakukan Rasulullah SAW saat memberi pertanyaan yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban, namun dapat menimbulkan perhatian dan antusiasme para shahabat. Contoh: “Maukah kalian saya beritahu tentang…”. 

Pembahasan

Sementara ini, penulis mengusulkan tiga langkah praktis yang dapat ditempuh para dai untuk mengulas topik dakwah.

Pertama, Menentukan Sudut Pandang (Perspektif)

Banyak jenis sudut pandang yang dapat digunakan oleh para dai untuk kepentingan ulasan topik dakwah. Antara lain:  

1. Teks referensi

Misalnya, mengulas topik hijrah sesuai dengan teks ayat al-Qur’an, Hadits maupun kitab yang dirujuk.  

2. 5W1H

Misalnya, What? Apakah hakikat hijrah. Why? Mengapa  hijrah dilakukan. Who? Siapa yang terlibat dalam hijrah. When? Kapan hijrah dilakukan. Where? Di mana saja lokasi yang disinggahi Rasulullah SAW selama hijrah. How? Bagaimana cara atau metode hijrah yang dipraktikkan oleh Rasulullah SAW.

3. Klasifikasi

Misalnya, menurut al-Ashfahani, ada tiga jenis hijrah. Hijrah melalui hati, lisan dan anggota badan. Lalu dijelaskan ketiga jenis hijrah tersebut.

4. Maqashid Syariah (tujuan pokok syariat Islam)

  • (i) Hifzh al-din (melestarikan agama). Misalnya, berhijrah menghindari berbagai kemaksiatan yang mendatangkan dosa (Q.S. al-Muddatstsir [74]: 5); 
  • (ii) Hifzh al-nafs (melestarikan jiwa-raga). Misalnya, memberi maaf (Q.S. al-Nur [24]: 22) dan tidak sampai mendiamkan orang lain (nyatru) lebih dari tiga hari (H.R. Muslim), apalagi hanya sekedar disebabkan konflik politik, harta, atau asmara; 
  • (iii) Hifzh al-‘aql (melestarikan akal). Misalnya, tidak lagi mengabaikan al-Qur’an (Q.S. al-Furqan [25]: 30), melainkan aktif membaca, menghafal, mempelajari, mengajarkan dan mengamalkan al-Qur’an; agar menjadi insan yang terbaik di sisi Rasulullah SAW (H.R. al-Bukhari); 
  • (iv) Hifzh al-nasl (melestarikan keluarga). Misalnya, menjalin hubungan keluarga harmonis yang ditandai dengan terpenuhinya hak-hak dan kewajiban suami-istri, sehingga minim konflik rumah tangga (Q.S. al-Nisa’ [4]: 34). 
  • (v) Hifzh al-mal (melestarikan harta). Misalnya, meningkatkan kualitas kerja, bahkan bisa jadi beralih profesi atau tempat kerja, demi meningkatkan kesejahteraan hidup (Q.S. al-Nisa’ [4]: 100). 
  • (vi) Hifzh al-‘irdh (melestarikan harga diri). Misalnya, meneladani Assabiqun al-Awwalun yang senantiasa bergegas dalam beramal shalih, sehingga dicintai dan diridhai oleh Allah SWT (Q.S. al-Taubah [9]: 100). 
Sudut pandang ini dibutuhkan untuk mempermudah dai dalam menyampaikan dakwah, sekaligus memudahkan mitra dakwah untuk memahaminya. Ibarat pegawai minimarket yang menata barang-barang dagangannya dengan “sudut pandang” tertentu, seperti stand minuman, makanan ringan, peralatan mandi, sembako, dan sebagainya; sehingga memudahkan pegawai maupun konsumen minimarket tersebut. 

Kedua, Memaparkan Topik Dakwah Multi-Perspektif

Apabila dai menggunakan lima jenis referensi di atas, secara otomatis paparan yang disampaikan sudah bersifat multi-perspektif. Ibarat televisi, tentu lebih menarik menonton televisi berwarna (multi-perspektif), dibandingkan menonton televisi hitam putih (biner; mono-perspektif). Misalnya, mengutip Surat al-Nisa’ [4]: 100 (al-Qur’an) sebagai motivasi berhijrah; lalu menjelaskannya berdasarkan Tafsir al-Mawardi (kitab klasik) bahwa hijrah memiliki tiga manfaat: kesejahteraan ekonomi, pencerahan nurani dan penyebaran Islam; menguraikan bentuk hijrah menurut Rasulullah SAW (Hadits) adalah jihad dan niat (H.R. al-Bukhari); menyitir Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab (kitab modern) bahwa jihad dapat dilakukan melalui totalitas diri. 
 
Misalnya, jihad dengan mengorbankan waktu demi kepentingan umat; menyebarluaskan ilmu melalui dakwah dan tarbiyah; menguras tenaga untuk membantu korban bencana alam; hingga mengorbankan nyawa jika dibutuhkan dan dalam kondisi yang relevan, seperti di Palestina sekarang. Kemudian mengulas contoh jihad yang salah, yaitu aksi terorisme di Indonesia yang menurut laman idntimes.com, pada bulan Mei 2018 saja, sudah terjadi 5 kali kasus terorisme di Indonesia, yaitu Mako Brimob di Depok; Tiga Gereja di Surabaya;  Rusunawa di Sidoarjo; Polrestabes Surabaya; dan Mapolda Riau (literatur sekunder). 

Ketiga, Memberi Contoh atau Tips Praktis

Agar materi dakwah dapat ditindak-lanjuti, maka dai perlu mengetengahkan contoh-contoh atau tips praktis. 

Contoh dapat disampaikan melalui penerapan metode kisah (al-Qishshah). Misalnya, mengenang kembali peran serta wanita dalam peristiwa hijrah, yaitu Asma’ binti Abi Bakar RA yang diberi gelar terhormat Dzatu al-Nithaqain (pemilik dua ikat pinggang), karena telah berjasa membantu menyiapkan bekal konsumsi bagi Nabi SAW dan Abu Bakar RA saat hijrah.

Tips praktis dapat disampaikan melalui penerapan metode berbagi pengalaman, baik pengalaman diri sendiri maupun orang lain. Misalnya, tips membentengi diri agar tidak terjebak dan terseret ke dalam paham-paham radikal ala Khawarij yang gemar melakukan aksi terorisme atas nama jihad. Jika dai pernah memiliki pengalaman terkait hal itu, dia bisa menceritakan pengalamannya secara langsung. Jika tidak pernah memiliki pengalaman terkait hal itu, dia bisa menceritakan pengalaman mantan pelaku terorisme yang sudah insaf. Paling tidak, dai memberikan alternatif solusi sesuai kapasitasnya, yang berpotensi untuk ditindak-lanjuti oleh mitra dakwah pada tataran praktis.

Sebagai pelengkap pembahasan topik dakwah, dai dapat memanfaatkan sejumlah metode dakwah. Antara lain, metafora (amtsal) untuk memperjelas topik dakwah agar semakin mudah dipahami mitra dakwah. Misalnya, mengilustrasikan hijrah sebagai titik balik atau belokan (u-turn) bagi pengendara yang salah jalur. Jika sebelumnya tidak menutup aurat, sekarang berhijrah dengan menutup aurat. Jika sebelumnya tidak shalat, sekarang berhijrah dengan mendirikan shalat. Demikian seterusnya.

Dalam momen semi-formal (seperti perkuliahan) atau informal (seperti pengajian), dai dapat memanfaatkan metode humor yang mendidik (edutainment). Misalnya, humor sarkastik yang menertawakan diri sendiri, sebagaimana yang marak diterapkan oleh para sufi. Seperti kisah Abah Hasyim saat ditanya polemik shalat Tarawih oleh para pemuda NU dan Muhammadiyah, beliau menjawab: “Tarawih 8 rakaat, boleh; 20 rakaat boleh. Enggak tarawih pun juga boleh”.      

Simpulan

Mengingat tidak semua mitra dakwah hadir bersamaan atau dalam satu waktu, maka dibutuhkan penutup yang merangkai keseluruhan topik dakwah dalam bahasa yang ringkas, lugas dan praktis. Mirip seperti ayat-ayat al-Qur’an pada akhir surat yang seolah menjadi “simpulan” atau “garis-garis besar” dari keseluruhan ayat yang termaktub dalam surat tersebut. Misalnya, akhir Surat Yusuf menegaskan bahwa dalam seluruh kisah Nabi Yusuf AS yang terurai dalam surat tersebut, dapat dipetik pelajaran (‘ibrah) yang berguna bagi kehidupan umat muslim. 

Penutup

Tulisan ini layaknya manual book sederhana yang bersifat teoretis. Agar lebih praktis, maka dibutuhkan latihan berkelanjutan, sehingga para dai memiliki keterampilan mandiri untuk menyusun teks dakwah secara sistematis, sehingga memudahkan para dai untuk menyampaikannya; sekaligus memudahkan mitra dakwah saat menerimanya. Wallahu A’lam bi al-Shawab